China Yang Kuat  Bisakah Jadi Jaminan Stabilitas Kawasan

China Yang Kuat Bisakah Jadi Jaminan Stabilitas Kawasan

Kebangkitan China sebagai kekuatan utama dunia memicu dinamika pelik. Isu Laut China Selatan dan perang dagang merupakan beberapa di antaranya. Berkat kekuatan ekonomi besar dan militer digdaya, China mampu ”merealisasikan” klaim wilayah di Laut China Selatan dengan membangun pulau buatan. Di atas daratan anyar tersebut dibangun pula hanggar dan landasan pacu. Tak mudah bagi negara-negara di sekitar Laut China Selatan untuk menandingi langkah Beijing ini. Dibutuhkan biaya sangat besar dan peralatan rumit untuk membangunnya.

wilayahpertahanan dot com
wilayahpertahanan dot com

Dalam sengketa Laut China Selatan, Beijing berhadapan dengan empat anggota ASEAN: Filipina, Malaysia, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Jalur damai tengah diupayakan agar perbedaan pandangan antara keempat anggota ASEAN dan China tak sampai memicu konflik fisik.

Baca Juga : Pertahanan Kedaulatan Dan Kemandirian Industri Pertahanan

Masih dalam isu Laut China Selatan, klaim Beijing terus-menerus ditentang Amerika Serikat. Militer AS beberapa kali mengirim pesawat dan kapal perang ke dekat pulau yang diklaim China. Misi ini, menurut AS, merupakan usaha untuk memastikan kebebasan bernavigasi tetap berlaku di Laut China Selatan. Beijing mengkritik AS, menyebut pengiriman kapal serta pesawat militer sebagai provokasi.

AS dan China juga bersitegang di bidang perdagangan. Perang dagang ini sesungguhnya tak hanya berkaitan dengan defisit dan tarif, tetapi juga bagian dari urusan lebih besar, yakni persaingan teknologi, yang dapat menentukan pihak yang menjadi negara utama di dunia nantinya.

Dalam situasi itulah Indonesia dan anggota ASEAN lainnya sekarang berada. Perang dagang dan isu Laut China Selatan menjadi perhatian utama mereka. Selain mengancam pertumbuhan dunia, perang dagang di sisi lain memberikan peluang berupa pemindahan pabrik dari China ke negara Asia Tenggara. Adapun isu Laut China Selatan, beberapa tahun lalu, membuat ketidakcocokan terjadi di antara anggota ASEAN sehingga pertemuan di Kamboja gagal menghasilkan komunike terkait Laut China Selatan. Meski demikian, dalam beberapa kesempatan, China menyampaikan sikapnya mengutamakan kerja sama, perdamaian, dan tak mengintervensi.

Baca Pula : Membuka Potensi Ekonomi dan Memperkuat Pertahanan Di Natuna

Sikap lebih kurang serupa disampaikan China terkait Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). Prinsip kerja sama, plus transparansi, coba dikedepankan. China kian sering menyampaikan hal itu di tengah kritik terhadap Prakarsa Sabuk dan Jalan yang bermunculan.

Dengan latar belakang itu semua, pesan kalangan akademisi China kepada wartawan dari sejumlah negara Asia bahwa Beijing berkepentingan terhadap terciptanya kondisi stabil di negara-negara Asia dapat dipahami. Ketika itu, seperti ditulis harian ini pada Senin kemarin, China kembali menyampaikan sikapnya yang menghormati negara-negara lain. Pesan ini sudah diterima oleh Indonesia, sembari mengingat dinamika pelik kawasan, termasuk Laut China Selatan, dengan China sebagai salah satu aktor pentingnya.

China Bisakah Diharapkan?

China memang punya sumber dana yang hampir tidak terbatas. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa tahun 2013, Beijing juga memperkenalkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi. Untuk mengelola dana investasi ke luar negeri, China mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa “One Belt, One Road (OBOR)”. OBOR – juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalur Sutra Baru – adalah membangun infrastruktur lintas benua memperluas jaringan dagangnya ke Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut. OBOR ini adalah pembaharuan atas Jalur Sutra nya Tiongkok masa lalu dengan semangat baru, bersama membangun dunia yang lebih sejahtera. Termasuk di dalamnya jargon Asia untuk warga Asia Dll.

Pada tahun 2014 , Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru China ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun didsarkan pada “nilai-nilai bersama”. William A Callahan dari London School of Economics mengatakan, “Bisa disimpulkan, Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara China, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban Tiongkok,” katanya. “Jadi, gagasan, nilai-nilai bersama Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia”.Dengan bantuan OBOR, Beijing berusaha memperluas pengaruhnya tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga secara politis dan ideologis.

Tetapi kalau kita melihat pada faktanya, bisa jauh berbeda. Seperti kelakuan para Nelayan China di Laut China Selatan.  Kapal-kapal  penangkap ikan berbendera China secara bebas keluar masuk perairan negara tetangga termasuk Indonesia yang berbatasan dengan tepi Laut China Selatan. Nelayan dari Vietnam dan Filipina juga memprotes larangan penangkapan ikan sepihak oleh Beijing.Tapi Beijing Malah jadi Tuli dan Bisu. Bejing  malah memanfaatkan “Coast Guard”nya sebagai pengawal.

Kalau kita melihat cara cara penyelesaian Konflik perbatasan antara China-India kita bisa melihat fakta ini. Kedua Negara sebenarnya tidak memikirkan bagaimana agar persoalan batasnya bisa selesai. Mereka hanya fokus  memanfaatkan pengaruhnya pada Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Hasilnya  Buthon memihak India, Pakistan memilih China dan Tibet menjadi bagian dari China. Jadi. bentrok antara tentara China dan India di daerah perbatasan Lembah Galwan, Ladakh, Himalaya terjadi pada 15 Juni 2020 itu adalah contohnya, hingga menewaskan 20 tentara India. Kedua pihak saling menyalahkan atas insiden itu dan saling klaim sebagai pemilik Lembah Galwan yang sah. Bentrokan perbatasan ini sebenarnya hanya mengulang pengalaman kedua Negara pada tahun 1962. Pada perang tersebut, pasukan China masuk menyerang melalui dua jalur perbatasan yang berbeda yakni melalui Ladakh dekat Kashmir dan McMohan Line yang berada di Arunachal Pradesh yang hingga kini masih disengketakan oleh kedua negara. Perang tersebut menewaskan 1.383 tentara India dan 722 tentara China. Jumlah yang terluka mencapai 1.047 dari pihak India dan 1.697 dari pihak China.

Militer India dan China juga pernah bertempur di Nathu La sebuah jalur perdagangan kuno melalui Himalaya yang merupakan bagian dari Jalur Sutra. Wilayah itu terpaksa ditutup dan dibuka kembali pada 2006. Setelah Insiden Nathu La, China dan India juga terlibat dalam pertempuran di Cho La. Wilayah yang tak jauh dari Nathu La. Ketegangan juga mewarnai perbatasan China dan India di Arunachal Pradesh.

Boleh dikatakan masalah perbatasan mampu membuat suatu Negara jadi Buta dan Tuli. Seperti konflik perbatasan antara India dan China dipercaya masih akan berlangsung lama. Terlebih lagi kalau kita melihat cara-cara penyelesaian pertiakain perbatasan antara kedua Negara itu dengan Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Misalnya China, mereka mempunyai masalah perbatasan dengan beberapa Negara seperti Jepang, dengan Korea Selatan, bahkan dengan beberapa Negara Asean di Laut China Selatan dan belum ada yang bisa terselesaikan dengan baik. Begitu juga dengan India, mereka bersengketa dengan hampir semua Negara yang berbatasan dengan negaranya dan juga tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.

Kini kedua Negara China dan Amerika boleh dikatakan sudah sampai pada zona dimana kedua Negara “perlu” memperlihatkan Negara mana Yang Unggul, yang Kuat. Dalam hal ekonomi, kelihatan sekali Amerika sedang kedodoran. Dalam hal keunggulan pengaruh atas regional juga tengah menurun. Amerika keluar dari WHO, Dari masalah Iklim, prajuritnya ditarik dari Timur Tngah, Dari Jerman Dll. Konflik Laut China Selatan sejatinya adalah Uji terahir, apakah AS masih mampu mempertahankan supremasinya? Apakah China akan jadi monster atau jadi Sahabat yang bisa diandalkan di kawasan? Semua itu bisa saja terjadi.

Kebangkitan China sebagai kekuatan utama dunia memicu dinamika pelik. Isu Laut China Selatan dan perang dagang merupakan beberapa di antaranya. Berkat kekuatan ekonomi besar dan militer digdaya, China mampu ”merealisasikan” klaim wilayah di Laut China Selatan dengan membangun pulau buatan. Di atas daratan anyar tersebut dibangun pula hanggar dan landasan pacu. Tak mudah bagi negara-negara di sekitar Laut China Selatan untuk menandingi langkah Beijing ini. Dibutuhkan biaya sangat besar dan peralatan rumit untuk membangunnya.

Sumber : China dan Stabilitas Kawasan, kompas.id., 18 Juni 2019