Oleh Harmen Batubara[1]
Otsus harus dilihat dari kondisi Indonesia Paska Orde Baru. Orde Baru dalam sepanjang pemerintahannya juga ternyata belum mampu meng inflementasikan pembangunan Indonesia sesuai dengan UUD 1945. Orde baru juga gagal serta tidak bisa fokus untuk membangun negaranya sendiri tapi malah terjebak dengan mengkooptasi Timor Timur mejadi bagian dari NKRI. Pemerintah Orde Baru malah terlibat terlalu dalam dengan persoalan masalah dalam negera tetangga itu. Keterpurukannya Orde baru dan di awal Orde Reformasi Indonesia harus kembali melepas Timor Timur untuk menjadi Timor Leste. Nah Papua khususnya, para pendukung OPM melihat kesempatan ini sesuatu yang perlu dimanfaatkan. Kita tidak perlu melihat setting operasionalnya, tetapi hal itulah yang kemudian melahirkan OtSus dari hasil TAP MPR No,4/1999.
Isi dari TAP MPR No. 4/1999 tersebut mengamanatkan pembentukanUndang‐Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Papua(Otsus Papua), suatu lebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik berkepanjangan di Papua.Sebagaimana amanat UU No. 21 Tahun 2001, Otsus Papua pada dasarnyaadalah pemberian KEWENANGAN YANG LEBIH LUAS bagi pemerintah provinsi danrakyat Papua untuk mengatur dan mengurus diri sendiri di dalam kerangkaNKRI. Kewenangan yang lebih luas berarti tanggung jawab yang lebih besar bagi pemerintah provinsi dan rakyat Papua untuk menyelenggarakanpemerintahan dan mengatur pemanfaatan kekayaan alam untukkemakmuran rakyat Papua.
Baca Juga : Kodam di Wilayah Separatisme
Kewenangan ini berarti pula kewenangan untukmemberdayakan potensi sosial‐budaya dan perekonomian masyarakatPapua, termasuk memberikan peran yang memadai bagi orang‐orang asliPapua melalui para wakil adat, agama, dan kaum perempuan. Undang‐undang Otonomi Khusus juga memberikankeberpihakan dan perlindungan terhadap hak‐hak dasar dari penduduk asliPapua. Untuk itu perlindungan terhadap hak‐hak dasar orang asli Papuamencakup enam dimensi pokok kehidupan, yaitu: (1) Perlindungan hakhidup orang Papua di Tanah Papua, yaitu suatu kualitas kehidupan yang bebas dari rasa takut serta terpenuhi seluruh kebutuhan jasmani danrohaninya secara baik dan proporsional; (2) Perlindungan hak‐hak orangPapua atas tanah dan air dalam batas‐batas tertentu dengan sumberdayaalam yang terkandung di dalamnya; (3) Perlindungan hak‐hak orang Papuauntuk berkumpul dan mengeluarkan pendapat dan aspirasinya; (4)Perlindungan hak‐hak orang Papua untuk terlibat secara nyata dalamkelembagaan politik dan pemerintahan melalui penerapan kehidupan berdemokrasi yang sehat; (5) Perlindungan kebebasan orang Papua untuk
Otsus Papua juga mengamanatkan pembentukan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai lembaga representasi kulturaldari masyarakat asli Papua.Kedudukan MRP terdapat dalam Bab V Pasal 5 Ayat (2), Pasal 19, Pasal 20,Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24 dan Pasal 25 UU Otsus Papua,sedangkan pembentukannya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54tahun 2004 tentang Majelis Rakyat Papua. Sebagai partner kerja daripemerintah daerah, kedudukan MRP dengan segala tugas dankewenangannya dapat memberikan suatu manfaat atas pelaksanaan OtsusPapua, dan diharapkan dapat memberi masukan yang memihak padakepentingan masyarakat asli Papua. MRP sesuai [Pasal 23 ayat 1) UU 21/2001] mempunya kewajiban untuk mempertahankan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan mengabdi kepada rakyat Provinsi Papua; mengamalkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menaati segala peraturan perundang-undangan; membina pelestarian penyelenggaraan kehidupan adat dan budaya asli Papua; membina kerukunan kehidupan beragama; dan mendorong pemberdayaan perempuan.
Papua Adalah Milik Warga Asli Papua Pro NKRI
Para pejuang KKB atau OPM selama ini selalu berdalih bahwa kaum elit terdidikPapua telah merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw Guinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Ketua dan kawan kawan Nieuw Guinea Raad yaitu Nicolaas Jouwe membentuk komite nasional dalam rangka mempersiapkan alat‐alat dan simbol kelengkapan negara. Negara bangsaPapua yang dipersiapkan itu dinamai Papua Barat (West Papua). Pada 1Desember 1961, Bintang Kejora, bendera nasional negara Papua Baratdikibarkan sejajar dengan bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “HaiTanahku Papua”
Dalam perjalanannya yang anti Indonesia sejak 1960-an Nicolaas Jouwe[2] berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa merdeka yang dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas Jouwe, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua. Dia kembali kepangkuan NKRI.
Baca Juga : Kasus Papua Gagal Masuk Sidang Umum PBB
Masih ingat Nick Messet adalah mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982. Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru. Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.
Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an. ”Saya tinggalkan Papua untuk berjuang dari luar negeri, dan selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua,” kata Nicholas Messet.
OPM Mempermasalahkan New York Agreement
Para penggiat OPM itu sering menyebut bawa New York Agreemeny pada 15 Agustus 1962. Sebagai kesepakatan antara pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia itu berisi: (1) Belanda menyerahkan tanggung jawab administratif pemerintahan Papua Barat kepada PBB melalui UnitedNations Temporary Executive Authority (UNTEA); (2) Terhitung 1 Mei 1962 UNTEA menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia; (3) Pada akhir 1969, di bawah pengawasan PBB, dilakukan Act of Free Choice bagi rakyat Papua untuk dapat menentukan sendiri nasib atau kemerdekaannya sendiri.“The Act of self-determination will be completed before the end of 1969,” Pada 14 Juli hingga 2 Agustus 1969, Act of Free Choice bagi rakyat Irian Barat digelar lewat PEPERA (PenentuanPendapat Rakyat). PEPERA diwakili 1,025 warga Papua, menurut OPM itu Act of self-determination mengkaidahkan satu orang satu suara (One Man One Vote)
Tetapi mereka lupa bahwa pada saat itu kondisi Papua masih sangat tertutup, sarana transportasi nyaris belum ada. Semua serba terbatas Mereka juga lupa bahwa cara pemilu di Papua masih memakai sistem NOKEN artinya suara warga dopercayakan penuh pada kepala suku. Selama ini OPM selalu berdalih bahwa bagi rakyat Papua, hingga saat ini PEPERA masih dianggap sebagai bentuk manipulasi Indonesia untuk menguasai tanahPapua. Padahal para penggiat OPM itu juga melihat bahwa bentuk Pemilu hingga tahun 2021 di Papua masih dengan sistem “Noken” yang dalam pengertian budaya masih menganut asas musyawarah untuk mufakat. Dimana Noken dipakai sebagai simbol kebersamaan Suku atau keluarga besar yang diwakilakn oleh para kepala Suku. Jadi secara Hukum dan sesuai sejarahnya Papua itu adalah bagian syah dari NKRI. Jadi bagi mereka yang tidak suka NKRI ya sebaiknya jangan tinggal di wilayah itu, tetapi ke wilayah lain yang bisa menerima mereka. Menurut hemat saya, berbagai alasan untuk mengevaluasi Otsus itu ide yang baik tetapi jika dilihat dengan realitas di lapangan kita masih perlu terlebih dahulu membangun Papua yang lebih baik lagi, Khususnya perlu dana yang lebih besar dan pemekaran wilayah. Soal ada yang tidak setuju hal itu ya sah-sah saja. Nanti setelah keadaan dan sistemnya lebih baik lagi maka evaluasi bisa dilakukan kembali. Sekarang lebih baik fokus sesuai konsep NKRI dan mensukseskan acara PON Papua.
Pembangunan Papua Masih Perlu Perjuangan
Papua dilihat dari segi territorial memang besar dan kaya akan sumber daya alamnya, tetapi kalau dilihat dari Sumber Daya Manusianya Papua justeru sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan daerah Indonesia lainnya. Sebagai informasi, jumlah penduduk di Tanah Papua[3] diperkirakan mencapai 4,3 juta jiwa pada 2019. Angka tersebut terdiri atas 963.600 jiwa penduduk Papua Barat dan 3,34 juta jiwa penduduk Papua dengan Perkiraan warga asli Papua tidak lebih dari 3 Juta jiwa. Jadi bisa dibayangkan seberapa besar perhatian pemerintah yang bisa diberikan ke wilayah ini, sementara Indonesia masih mempunyai 240 jutaan di daerah lainnya. Jadi secara logika pemerintah “ kedederan” dalam memperhatikan dan membangun Papua. Apalagi pembangun pemerintahan sebelum era Jokowi memang masih lebih fokus pada Pulau Jawa dan sekitarnya. Dalam kondisi seperti itulah, para penggiat warga Papua yang pro kemerdekaan kian mendapat angin dan terus berusaha untuk mendiskreditkan pemerintah. Betul kelahiran Otsus sudah pada treknya, tetapi belum sepenuhnya terkelola secara baik. Namun satu hal yang telah memberikan warna adalah telah muncul dengan semarak para Pemimpin Papua dari warga Papua Asli.
Tahun 2021 adalah tahun ahir masa berlakuknya Otsus, berbagai pihak mengutarakan harapannya agar sebelum memperpanjang Otsus perlu terlebih dahulu Evaluasi menyeluruh terkait Otsus, suatu harapan yang sebenarnya sangat baik. Tetapi dihadapkan dengan fakta di lapangan justeru banyak hal juga tengah berjalan kea rah yang lebih baik. Khususnya Gubernur dan Bupati, Pangdam dan Kapolda sudah dari warga Papua Asli. Harapan kita setelah pimpinannya dari warga asli Papua mestinya segala sesuatunya akan jauh lebih baik dan itu perlu waktu. Meski ada yang mengatakan untuk apa adanya Otsus sementara kekerasan masih terjadi? Ya kita harus realistik dan melihat bahwa kekerasan yang terjadi itu adalah atas adanya kegiatan “kekerasan” yang dilakukan oleh KKB atau OPM diberbagai daerah. Pemerintah sudah mereseponnya sesuai dengan UU yang ada, serta melakukannya secara baik dan terbatas dilakukan oleh Polri dan TNI secara terkendali. Harapan kita demikian juga terhadap ASN, Lingkungan Pendidikan Tinggi Dll agar lebih fokus memberikan kesempatan kepada warga papua Asli yang pro NKRI. Sebaliknya terus mengeliminasi warga papua yang tidak pro NKRI.
Bahwa ada juga yang mengatakan Papua bukan hanya butuh dana, Majelis Rakyat Papua misalnya merasa “dibungkam” oleh pemerintah pusat karena tidak dilibatkan dalam rencana revisi UU Otsus Papua yang kini sudah masuk ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk kemudian dilakukan pembahasan. Yang menyebut “Itu adalah langkah sepihak Jakarta, tanpa persetujuan dan tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Papua. Kami mengalami pembungkaman demokrasi hak orang asli Papua. MRP menganggap tidak ada niat baik dari Pemerintah Pusat membangun Papua sebagai satu kesatuan dalam NKRI,” kata Ketua MRP Timotius Murib. Kita bisa melihat kekecewaan dari mereka yang tidak puas atas apa yang terjadi setelah adanya Otsus, tetapi kita juga bisa melihat bahwa keberdaan Otsus saat ini masih relepan, dan bisa dilakukan lebih baik lagi di lapangan dan pemerintah Pusat justeru melihat lebih perlu untuk melakukan pemekaran wilayah untuk Papua. Karena apa? Karena hal itu akan membuka kesempatan kerja bagi warga asli papua pro NKRI. Bayangkan saja untuk satu provinsi saja ia membutuhkan kurang lebih 10 ribu prajurit Polri dan TNI belum lagi Pemdanya sendiri dan yang lebih penting lagi hal itu akan bisa mempersemput gerakan para penggiat KKB dan organisasi lainnya yang tidak pro NKRI.
[1] CEO https://www.wilayahperbatasan.com/
[2] https://www.wilayahperbatasan.com/nicolaas-jouwe-nick-messet-kembali-ke-nkri-membangun-papua/
[3] https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2019/08/22/jumlah-penduduk-di-tanah-papua-diproyeksi-mencapai-578-juta-jiwa-pada-2045