Keunggulan Udara Dengan kemampuan Sendiri
Oleh harmen batubara
Kekuatan udara bila dibandingkan dengan kekuatan darat dan laut, memiliki keunggulan tersendiri. Terutama dalam hal pertahanan sebuah negara, kekuatan udara dianggap memiliki kapabilitas yang paling unggul dibandingkan dua kekuatan lainnya. “Dahulu ada masa ketika negara disebut kuat ketika sebuah negara telah memiliki pertahanan darat yang bagus. Kemudian masa tersebut beralih menjadi masa negara yang kuat adalah negara yang memiliki pertahanan laut yang kuat, seperti pada masa ketika negara-negara di Eropa melakukan koloni atau penjajahan di negara-negara lain dengan menggunakan kapal. Sedangkan saat ini, negara yang kuat adalah negara yang memiliki pertahanan udara yang baik. Ibaratnya jika dahulu harus mengerahkan 10.000 pasukan, sekarang hanya dengan 1 pesawat pengebom saja 10.000 pasukan tersebut dapat binasa.
Kekuatan udara memiliki beberapa karakteristik unggul. “Pertama kekuatan udara dengan menggunakan pesawat tentu memiliki kecepatan lebih unggul dibandingkan kapal laut atau kendaraan darat. Kedua yakni daya jangkau yang lebih luas karena akan sangat bermanfaat dalam perang untuk membidik suatu daerah target. Sebuah pesawat juga memiliki kelebihan pada ketepatan dalam membidik dan memiliki multi peran. Multi peran yang dimaksud adalah satu pesawat yang dapat digunakan sebagai pesawat tempur, pembom dan peran lainnya. “Kalau dahulu satu pesawat hanya bisa digunakan satu peran, contohnya bila pesawat untuk dog fight maka fungsinya hanya untuk bertarung saja tidak untuk pengebom,”
Baca Juga : Membangun Pesawat Tempur: Negara Kepulauan
Dari sejarahnya TNI adalah tentara Rakyat, benar-benar berasal dari rakyat, karena itu sejarah pengabdian TNI adalah sejarah pengorbanan tanpa perhitungan untung dan rugi. Hal itu jugalah yang bisa kita lihat di jajaran TNI AU. TNI Angkatan Udara memiliki sejarah panjang pengabdian dari era Perang Kemerdekaan (1945-1949), masa keemasan pada tahun 1960-an hingga modernisasi selepas Perang Dingin berakhir tahun 1989-1990. Semasa Perang Kemerdekaan, Angkatan Udara Republik Indonesia sudah memperlihatkan bagaimana mereka melakukan perannya hanya dengan berbekal sisa-sisa pesawat militer Jepang.
Peran AURI semasa Perang Kemerdekaan penuh dengan berbagai kisah-kisah “heroik”, lihatlah apa yang mereka lakukan takkala melakukan serangan udara ke Ambarawa dan Salatiga pada pagi hari buta, tanggal 29 Juli 1947 oleh kadet Mulyono, Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutarjo Sigit. Mereka menggunakan dua pesawat Cureng dan satu Guntei peninggalan Jepang, berhasil mengebom wilayah pendudukan Belanda di Kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.
Belanda membalas pada sore harinya dengan menembak jatuh pesawat Dakota C-47 berregistrasi VT-CLA dengan piloti Alexander Constantine Noel warga Australia dengan kopilot Roy Hazlehurst warga Selandia Baru, mekanik Bhida Ram asal India, dan navigator Adi Sumarmo. Pesawat itu membawa Komodor Adi Sucipto, Komodor Abdurahman Saleh, dan sejumlah penumpang sipil berikut obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya. Peristiwa itu diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU. Suatu pembalasan yang tidak bakal terlupakan selamanya.
Hal lain yang juga membuat kita ikut bangga, adalah apa yang dilakukan bapak AURI itu sendiri, R Soeryadharma. Beliau adalah navigator, yang berpengalaman sebagai awak pesawat Angkatan Udara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda semasa pecah Perang Pasifik. PJ Nortier dalam buku Japan Aanval Te Nederlands Indie, deel Twee mencatat Soeryadharma berperang melawan satuan pesawat tempur AL Jepang dengan gagah berani dan terluka dalam satu pertempuran di udara Kalimantan Timur yang mengakibatkan pesawat bomber Glen Martin-nya mendarat darurat. Tapi sang legenda belum tamat.
Jauh sebelum adanya pasukan gerak cepat Pas Khas AU, tetapi cara mereka melakukan perannya sudah “melebihi” paskhas itu sendiri. Meski dalam serba terbatas. TNI AU sudah menggelar operasi penerjunan di daerah operasi. Operasi Para pertama pimpinan Tjilik Riwut melakukan penerjunan pasukan para di hutan Kalimantan tengah pada tanggal 17 Oktober 1947.
AURI kemudian mulai memantaskan diri, yakni takkala AURI menata kekuatan setelah Belanda mengakui Kedaulatan RI 27 Desember 1949 dengan menerima pesawat-pesawat tempur dan bomber hibah dari AU Kerajaan Belanda. Sejak itu AURI mulai memperlihatkan tajirnya. Pada tahun 1950-an terjadi pemberontakan di sejumlah daerah, seperti Republik Maluku Selatan (RMS), PRRI-Permesta di Sumatera dan Sulawesi hingga DI-TII. Kekuatan udara AURI menjadi faktor penentu dalam menghadapi PRRI-Permesta yang secara diam-diam mendapat dukungan Amerika Serikat. Masa ini kita diingatkan tentang penerbang bomber B-26 AUREV Permesta Allen Pope yang menenggelamkan korvet ALRI RI Hang Tuah di Teluk Balikpapan. Untuk kemudian munculnya penerbang P-51 Mustang, AURI, Ignasius Dewanto, menembak jatuh pesawat Allen Pope di Ambon. Peran AURI dalam menumpas PRRI-Permesta adalah sejarah keberhasilan yang ditulis dengan tinta emas.
Era ganyang Malaysia hingga era G 30 S hingga ke awal tahun-tahun 70 an, peran AURI masih banyak yang memberikan tumbuhnya rasa nasionalisme tetapi secara keseluruhan berahirnya pemerintahan Soekarno berganti dengan pemerintahan Soeharto, kekuatan udara AURI merosot drastis. Barulah pada tahun 1970-an sisa-sisa kekuatan AURI mulai dibangun dengan pesawat bantuan Australia, F-86 Sabre buatan AS pada 1973. Selanjutnya hadir pesawat OV-10 Bronco buatan Amerika Serikat. Tetapi kemudian muncul pula Peristiwa “pendudukan” Timor Leste dengan Operasi Seroja di tahun 1976. Indonesia mendapat tekanan internasional khususnya dengan adanya embargo persenjataan, termasuk perlengkapan pesawat tempur.
Memudarnya Kekuatan TNI
Berbagai upaya terus dilakukan pemerintah untuk mengembangkan kembali kekuatan AURI, mulai dari pemerintahan Soeharto dengan membeli jet tempur F-16A dan F-16B Fighting Falcon serta pesawat jet tempur Hawk 100 dan Hawk 200. Hal yang sama juga dilakukan di era pemerintahan
Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono dengan pengadaan pesawat baru dan bekas seperti jet tempur Sukhoi SU-27 dan SU-30 yang menggantikan A4-Skyhawk di Skuadron 11 Lanud Hasanudin, Makassar. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mendatangkan pesawat latih KT-1 Wong Bee dan T50 Golden Eagle dari Korea Selatan, jet tempur F-16 C dan D hibah bekas Amerika Serikat hingga pesawat tempur anti gerilya Super Tucano buatan Brasil pengganti OV-10 Bronco. Tetapi malah yang terjadi adalah banyaknya para prajurit professional AU yang tewas bersama Alut Sista mereka.
SATU per satu prajurit TNI yang terlatih dan profesional gugur. Sayangnya mereka bukan gugur di medan tempur membela kedaulatan negara, melainkan tewas secara tragis justru karena peralatan tempur yang mereka gunakan mengalami kecelakaan. Memang sih untuk sebuah pesawat tidak ada yang namanya “pesawat bekas”, selama semua suku cadangnya terpelihara dan diganti sesuai “petunjukknya” maka dipercaya pesawat itu masih tetap “Tok Cer”. Tetapi kalau pergantian suku cadang dan “kualitas” perawatannya sudah terjamah perilaku “korupsi” maka jangankan pesawat bekas. Malah pesawat baru dan gress sekalipun, pastu ambruk.
Baca Juga : Menghadirkan Kekuatan Tri Matra di Perbatasan
Tidak dapat disangkal, TNI masih memiliki alat tempur berumur tua, di atas 30 tahun. Lebih-lebih alat utama sistem persenjataan (alutsista) matra TNI Angkatan Udara dan Angkatan Laut. Bahkan masih ada alutsista kedua angkatan itu yang merupakan warisan era Presiden Soekarno. Jatuhnya pesawat latih TNI-AU jenis Fokker 27 pada Kamis (21/6/2012) menggugah kembali persoalan alutsista TNI. Pesawat itu masuk jajaran TNI-AU pada 1977, yang berarti sudah berusia 35 tahun. Tentu publik masih ingat tragedi tank amfibi Marinir di Situbondo pada 2008 yang menewaskan enam personel kesatuan tersebut. Tank itu berumur 46 tahun. Itu membuktikan alutsista yang renta, kedaluwarsa, sangat berisiko.
Sejak tragedi tank Marinir itu, Presiden Yudhoyono memerintahkan grounded semua alutsista yang sudah tua. Namun, rupanya perintah itu tidak bisa diterapkan di lapangan. Buktinya alusista yang sudah “uzur” itu masih terus dipakai. Untuk mengawal negara seluas Indonesia, jelas dibutuhkan alutsista udara dan laut yang tangguh. Presiden Yudhoyono pada Pidato Kenegaraan 2011 mewanti-wanti mengenai kesiapan alutsista TNI. Hanya alutsista TNI Angkatan Darat yang memiliki kesiapan 81,13%. Angkatan Laut hanya 43,25% dan Angkatan Udara hanya 42%. Bagaimana pasukan perang bisa bergegas ke palagan jika alutsista tidak memadai?
Bangga Dengan Kekuatan Alut Sista Buatan Sendiri
Sungguh dalam serba keterbatasan itu, kita tetap ikut merasa tersanjung takkala sejumlah pesawat dari Jupiter Aerobatic Team TNI AU melakukan manuver udara saat peringatan HUT Ke-71 TNI AU di Pangkalan Udara Halim Perdana-kusuma, Jakarta, Minggu (9/4/2017). Selain parade dan defile pasukan, acara juga diisi dengan demonstrasi udara dan darat yang melibatkan sekitar 1.600 personel serta 132 pesawat dan peralatan tempur.
Pesona sayap-sayap pelindung Tanah Air selalu membius pada hari ulang tahunnya, setiap 9 April. Sayap Tanah Air-Swa Bhuwana Paksa-adalah lambang, sekaligus doktrin militer TNI Angkatan Udara. Manuver-manuver di udara tidak saja membuat rakyat bangga, tetapi juga yakin bahwa negara aman dan damai. Penampilan aerobatik udara Jupiter Aerobatic Team juga menunjukkan piawainya awak mengoperasikan peralatan itu. Bagaimana perpaduan alat dan awak itu ditampilkan lewat pertempuran jarak dekat atau dog fight antara Sukhoi dan F-16, simulasi serangan udara langsung (SUL), demonstrasi SAR tempur, simulasi bantuan tembakan udara (BTU), serta terjun payung dan pengendalian pangkalan udara (OP3U).
Rangkaian acara peringatan Hari Ulang Tahun Ke-71 TNI AU yang digelar Minggu (9/4/2017) merepresentasikan rumitnya tugas pokok satuan tersebut. TNI menampilkan variasi peralatannya lewat demo udara dengan fly pass pesawat latih, pesawat helikopter, pesawat angkut, dan pesawat tempur. Sesuai dengan doktrin pertahanan defensif-aktif, tugas pokok TNI AU adalah menegakkan kedaulatan negara di udara, mempertahankan wilayah udara, serta melindungi segenap bangsa dan tanah air dari ancaman di wilayah udara. Kompleksitas tugas TNI AU bertambah berat dengan kondisi geografis Indonesia yang luas, ± 5,2 juta kilometer persegi. Tidak hanya kondisi alam yang beragam, tetapi juga infrastruktur yang menopang tugas TNI AU yang serba terbatas.
Dalam situasi seperti ini, dukungan pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia sangat diperlukan. Kepala Staf TNI AU Marsekal Hadi Tjahjanto, Jumat (7/4/2017), mengakui kalau pemenuhan kebutuhan pokok minimum (MEF) untuk TNI AU baru terpenuhi 40 persen. Tuntutan modernisasi TNI AU tidak bisa ditawar lagi. Selama ini, pembangunan kekuatan TNI AU masih bersifat jangka pendek dan menengah sebatas memantas-mantaskan. Padahal kita memerlukan pengembangan kekuatan Udara berjangka panjang dengan sepenuhnya mengandalkan kemampuan diri sendiri. Apalah artinya kekuatan Udara 100 persen MEF tetapi buatan negara lain dari generasi yang sudah tidak mereka pakai lagi. Sebagai bangsa kita harus merebut kemampuan kita sendiri menjadikan bangsa kita kuat dengan karyanya sendiri.