Oleh Harmen Batubara
Membangun Pertahanan Dengan AlutSista Sendiri. Membangun pertahanan yang kuat dengan produk industri alutsista nasional membutuhkan strategi yang menyentuh berbagai aspek pertahanan. Ini termasuk menilai kebutuhan keamanan nasional, menentukan strategi pertahanan, berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan. Mengembangkan kemampuan manufaktur lokal, meningkatkan keamanan dunia maya. Melatih dan memperlengkapi personel, dan berkolaborasi dengan sekutu. Dengan langkah-langkah tersebut, suatu negara dapat membangun pertahanan yang kuat dan melindungi warga negaranya dari potensi ancaman.
Membangun pertahanan yang kuat dengan produk industri alutsista nasional membutuhkan strategi yang komprehensif dengan melihat dari berbagai aspek pertahanan. Berikut beberapa langkah penting yang dapat dilakukan untuk membangun pertahanan yang tangguh dengan menggunakan produk-produk industri alat perang nasional.
Menilai Kebutuhan Keamanan Nasional: Langkah pertama untuk membangun pertahanan yang kuat adalah mengidentifikasi kebutuhan keamanan nasional negara. Ini melibatkan analisis potensi ancaman dan tantangan yang mungkin dihadapi negara dalam jangka pendek dan panjang. Kebutuhan keamanan nasional harus dinilai berdasarkan situasi geopolitik negara, kemampuan militer negara tetangga. Dan stabilitas ekonomi dan politik negara.
Strategi Membangun Pertahanan Dengan AlutSista Sendiri.
- Mendefinisikan Strategi Pertahanan. Setelah kebutuhan keamanan nasional diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah menentukan strategi pertahanan. Strategi pertahanan harus dikembangkan berdasarkan kemampuan militer negara, kemajuan teknologi, dan sumber daya keuangan. Strategi pertahanan harus mencakup penyebaran peralatan perang terbaru, termasuk pesawat terbang, kapal angkatan laut, kendaraan lapis baja, dan senjata lainnya.
- Berinvestasi dalam Penelitian dan Pengembangan: Industri peralatan perang nasional harus banyak berinvestasi dalam penelitian dan pengembangan. Untuk memastikan bahwa negara memiliki teknologi pertahanan terkini dan tercanggih. Ini membutuhkan kemitraan dengan lembaga penelitian terkemuka, universitas, dan perusahaan swasta. Untuk mengembangkan teknologi mutakhir yang dapat memberi negara keunggulan kompetitif dalam perlombaan senjata global.
- Mengembangkan Kemampuan Manufaktur Lokal: Industri alutsista nasional harus mengembangkan kemampuan manufaktur lokal untuk mengurangi ketergantungan pada pabrikan asing. Ini membutuhkan pembentukan rantai pasokan dan jaringan logistik yang kuat. Untuk memastikan bahwa negara tersebut memiliki akses ke bahan baku, suku cadang, dan komponen yang diperlukan. Mengembangkan kemampuan manufaktur lokal juga dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan ekonomi lokal.
- Meningkatkan Keamanan Siber: Di era modern, keamanan siber merupakan aspek penting pertahanan nasional. Industri peralatan perang nasional harus berinvestasi dalam mengembangkan dan menerapkan langkah-langkah keamanan siber. Untuk melindungi infrastruktur pertahanan kritis dan mencegah serangan siber. Ini membutuhkan penggelaran teknologi keamanan siber canggih dan melatih personel tentang praktik terbaik untuk keamanan siber.
- Pelatihan dan Pembekalan Personel: Industri peralatan perang nasional harus fokus pada pelatihan dan pembekalan personel militer dengan teknologi pertahanan terkini. Ini melibatkan pemberian pelatihan tentang penggunaan peralatan perang, taktik, dan strategi pertempuran. Peralatan perang harus dipelihara dan ditingkatkan secara teratur untuk memastikan bahwa mereka tetap beroperasi dan efektif.
- Kolaborasi dengan Sekutu. Terakhir, industri peralatan perang nasional harus berkolaborasi dengan sekutu untuk membangun jaringan pertahanan yang lebih kuat. Ini melibatkan berbagi intelijen, kemampuan militer, dan teknologi untuk menciptakan strategi pertahanan terkoordinasi yang dapat menanggapi setiap ancaman dengan cepat dan efektif.
Memperkuat Industri Pertahanan Nasional.
Industri Pertahanan adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta. Baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya. Tujuannya untuk menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan. Kalau anda ke Klaten dan memesan katakanlah 200 lusin cangkul, maka yang kan terjadi?
Samalah kira-kira saat Kasad memesan Heli NBell-412 dari PT DI, dan berharap PT Dirgantara Indonesia dapat mendelivery, menyerahkan tepat waktu. Dan juga dapat meningkatkan kualitas produksinya. Hal ini penting untuk tertib administrasi dan peningkatan kemampuan pertahanan. Hal ini disampaikan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Johanes Suryo Prabowo saat menerima serah terima satu unit helikopter NBell 412 Extra Performance di Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Rabu (2/2/2011).
Ini artinya, konsep dagang atau industry kita sesungguhnya masih amat lemah dalam rekayasa manajemen. Kalau soal kerja tenaga kerja kita kualitasnya tidak kalah dengan tenaga kerja dari manapun. Tetapi soal bagaimana membuat mereka bekerja ? Nah disanalah terlihat lemahnya kemampuan para manajerial kita. Ini fakta dan ini ada dimana-mana. Artinya kemampuannya itu sesungguhnya baru ada pada tataran “bekerja” saja, selebihnya mereka kehilangan kreativitas.
Dalam skala kecil, seperti industri tempaan besi di Klaten misalnya, mereka lemah dalam permodalan, mereka tak mampu meyakinkan bank yang ada. Kalaupun ada dana untuk memproduksi, mereka juga tidak yakin bisa memasarkannya. Lalu apa yang bisa diharapkan dari mereka? Nah hal seperti itulah sebenarnya yang ada di industry nasional kita PT.DI. Sesederhana itukah?
Baca Juga : Menjaga Marwah Perbatasan
Kemampuan Membangun Pertahanan Dengan AlutSista Sendiri.
Seperti harapan Wakasad yang mengatakan, sesuai dengan komitmen pemerintah, TNI AD menyambut produksi dari industri pertahanan seperti PT DI. Untuk melengkapi alat utama sistem persenjataan. Diharapkan produksi industri pertahanan bisa memiliki harga bersaing dan terus meningkatkan kualitas dan tepat waktu. ”Tepat waktu karena kita juga ada hubungan dengan pemeriksaan eksternal,” kata Suryo Prabowo. Kata kunci di sini adalah “Tepat Waktu”.
Padahal dalam persepsi Tepat waktu bagi Direktur Utama PT DI Budi Santoso mengatakan, berkaitan dengan ketepatan waktu itu. Untuk pembuatan Bell 412 EP ini, PT DI baru menerima kontrak pada Oktober 2010. Saat itu mereka sudah bekerja tanpa ada kepastian kontrak. Molornya penyelesaian heli ini juga karena ada penambahan spesifikasi. ”Masalahnya, anggaran baru keluar akhir tahun. Tapi, untungnya sekarang kebijakan bisa multi-years, jadi sudah ada perencanaan jangka panjang,” kata Budi. Ini artinya PT DI yang akan kita banggakan itu, tohk tidak bisa berbuat apa-apa kalau uang “tanda jadi” dari pemerintah tidak turun.
Padahal kita tahu, dalam system anggaran kita sangat erat kaitannya dengan penerimaan pajak. Uang baru ada, ya saat-saat di akhir tahun. Secara logika sederhana hal seperti ini sungguh konyol. Sebuah Industri yang akan dikembangkan secara nasional, ternyata kemampuan manajerialnya tidak beda dengan tukang besi atai pandai besi dari Klaten sana. Mereka baru bisa produksi kalau sudah jelas ada uang dan ada yang membeli produknya. Kalau yang dua itu tidak jelas, maka tidak ada yang namanya “bisnis”. Sungguh nelangsa.
Membangun Talenta Industeri Pertahanan AlutSista Sendiri.
Kalau dari pandangan kita, sebenarnya sederhana sekali. Idealnya adalah kalau berbagai perusahaan yang ada di lingkungan industeri strategis itu “ bersatu” jadi semacam Holding. Bisa dibayangkan kalau BUMN yang bergerak di bidang industri pertahanan, yakni PT LEN Industri, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL Indonesia, dan PT Dahana jadi satu dan menggarap “kebutuhan” TNI dan Kepolisian serta Kepentingan Nasional lainnya. Kita percaya bahwa setiap Matra itu juga mempunyai keinginan serta spesifikasi yang khusus sesuai matranya. Hal seperti itu juga terjadi di Amerika. Misalnya. Angkatan Laut menginginkan pentingnya pesawat tahan lama yang bisa mendarat di dok kapal induk.
Marinir menginginkan pesawat terbang ekspedisi yang mampu melakukan lepas landas dan pendaratan cepat. Angkatan Udara menginginkan pesawat terbang yang paling canggih dan cepat. Kalau keinginan seperti itu dituruti, tentu biayanya akan mahal sekali. Sebaliknya kalau kepentingan mereka di lihat dari sisi persamaannya. Jelas akan banyak yang bisa dihemat. Hal sepeti itulah yang dilakukan Program Joint Strike Fighter (JSF) atau popular dikenal sebagai F-35. Tim JSF justru mencari kesamaan-kesamaan keinginan tiap-tiap angkatan dan membuang hal-hal yang berbiaya tinggi di peranti lunak dan mesin.
Bagaimana Negara Lain mengambil Peluang? Kalau kita cermati acara ”Global Investment Opportunities” pada Asian Financial Forum di Hongkong, (17/1/2018). Levin Zhu, Presiden China International Capital Corporation Limited, mengemukakan, catatan perdagangan China menguatkan besarnya potensi hubungan dagang antarnegara di wilayah Asia. Sekitar 15 persen dari nilai perdagangan China tercatat dengan negara di Eropa dan Amerika Serikat. Sekitar sepertiga dari total perdagangan dicapai dari hubungan dagang dengan Jepang dan Korea. ”Sisanya, dengan negara-negara Asia,” kata Levin Zhu.
Kreativitas Membangun Pertahanan Dengan AlutSista Sendiri.
Dari data yang ada Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, negara tujuan utama ekspor non-minyak dan gas Indonesia pada Januari-November 2010 adalah Jepang dengan nilai 14,719 miliar dollar AS. Disusul kemudian ke China dengan nilai 12,379 miliar dollar AS dan ke Amerika Serikat, yakni 12,026 miliar dollar AS. Sebaliknya, impor non-migas ke Indonesia terbesar dari China, dengan nilai 17,695 miliar dollar AS pada periode Januari-November 2010. Disusul dari Jepang dengan nilai 15,357 miliar dollar AS dan Amerika Serikat senilai 8,528 miliar dollar AS. Ini artinya potensi dagang di Asia atau Asean sungguh besar. Persoalannya kita tidak mampu, tidak bisa ikutan untuk mengolahnya.
Meskipun demikian, upaya Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) untuk menyiasati minimnya anggaran pertahanan tersebut bisa ditiru. Siasat ini dijadikan contoh dalam buku Blue Ocean Strategy (Strategi Samudra Biru) karya W Chan Kim dan Renee Mauborgne (PT Serambi Ilmu Semesta, 2008).
Buku pemasaran ini memberikan banyak contoh di dunia bahwa untuk mengejar diferensiasi—aspek penting dalam pemasaran agar memenangkan persaingan—tidak selalu berbiaya tinggi. Dalam buku itu, Chan Kim dan Mauborgne mengajarkan bahwa diferensiasi bisa dilakukan dengan biaya rendah. Salah satu contoh yang dikemukakan kedua dosen bisnis di sekolah bisnis terkemuka di Prancis, yaitu Institut Européen d’Administration des Affaires, itu saat Pentagon mengalami minimnya anggaran pertahanan tahun 1993.
Membaca Pengalaman Strategi program F-35.
Keterbatasan dana sebenarnya adalah sesuatu hal yang sering terjadi di bidang apa saja. Termasuk dalam industry strategis sekalipun. Siasat Pembiayaan Model Strategi Samudra Biru (Kompas/16/11/2009). Persisnya, waktu itu Pentagon menghadapi masalah biaya yang membengkak untuk pemeliharaan dan penggantian pesawat terbang Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Membengkaknya biaya tersebut karena tiap-tiap angkatan punya konsep sendiri-sendiri tentang pesawat terbang.
Angkatan Laut menekankan pentingnya pesawat tahan lama yang bisa mendarat di dok kapal induk. Marinir menginginkan pesawat terbang ekspedisi yang mampu melakukan lepas landas dan pendaratan cepat. Angkatan Udara menginginkan pesawat terbang yang paling canggih dan cepat. Menurut Chan Kim dan Mauborgne, Program Joint Strike Fighter (JSF), yang juga disebut pesawat F-35, menentang praktik industri yang membagi tiga segmen tersebut. Tim JSF justru mencari kesamaan-kesamaan keinginan tiap-tiap angkatan dan membuang hal-hal yang berbiaya tinggi di peranti lunak dan mesin.
Baca Pula : Pertahanan dan Kemandirian Industeri Pertahanan
Pesawat tempur F-35 ini sekaligus dapat memenuhi tiga keinginan yang berbeda tersebut, yaitu berteknologi pengintaian dan tangkas (keinginan Angkatan Udara). Berdaya tahan dan kemudahan perawatan (keinginan Angkatan Laut). Serta memiliki kemampuan pendaratan vertikal lepas landas yang cepat dan kemampuan tindakan darurat yang cepat (keinginan Marinir). Tim JSF juga berani berjanji biaya pembuatannya jauh lebih murah. Dibandingkan dengan harga pesawat-pesawat yang biasa dipakai Angkatan Udara, Marinir, dan Angkatan Laut tersebut. Yaitu dari 190 juta dollar AS per pesawat menjadi 33 juta dollar AS per pesawat. Kinerja F-35 juga jauh lebih unggul daripada F-22 milik Angkatan Udara, Harrier AV-8B milik Marinir, dan F-18 milik Angkatan Laut.
Membangun Pertahanan Dengan AlutSista Sendiri Selalu Ada Peluang.
Pesawat F-35 ini dibuat oleh perusahaan Lockhead Martin sejak tahun 2001 dan selesai tahun 2010. Salah satu negara yang meminati pesawat F-35 di Asia adalah Singapura. Negara tetangga Indonesia tersebut telah berminat memesan 100 pesawat F-35 (Kompas, 10/7/2008). Yang menarik dari sini adalah bagaimana strategi samudra Biru bisa memecahkan keterbatasan anggaran yang ada. Strategi seperti ini sesgungguhynya bisa di “cloning” atau di modifikasi hingga munculnya berbagai ide yang bisa menjawab tantangan yang ada. Apalagi tantangan itu sebenarnya hanyalah persoalan “tenggat” waktu atau pada aliran “cash flow”nya saja. Sungguh tidak semestinya manajemen sebuah industry nasional mati langkah dalam hal-hal seperti ini. Tapi faktanya? Ternyata mereka kehilangan langkah juga.
Pada awal pemerintahan keduanya, salah satu program yang akan menjadi fokus pemerintahan SBY-Boediono dalam 100 hari pertama adalah revitalisasi industri pertahanan. Demikian dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu di Kantor Presiden, Kompleks Istana Negara, Jakarta, Kamis (5/11/2010). Kini berbagai geliat tentang kebijakan itu tengah dan akan berlanjut. Dalam persfektif seperti itulah kita melihat adanya kegiatan Expo Pertahanan, Kedirgantaraan dan Kelautan Indonesia waktu itu kian menjadi menarik.
Khususnya bagi mereka yang bisa melihat peluang dalam upaya membangun Industri pertahanan Indonesia. Suatu Expo ber skala besar yang akan memberikan inspirasi bagi mereka yang bergerak dalam bidang industri pertahanan. Expo dimaksud telah di laksanakan di International Expo Kemayoran mulai dari tanggal 10-13 November 2010. Kita belum tahu apakah ada hasil konkritnya. Sebab pada umumnya program seperti ini adalah program yang pembiayaannya juga dari APBN sehingga,( maaf ngomong) hanya penyelenggaranya saja yang senang dan jelas untung.
Fleksibilitas Pembiayaan Produksi Dengan Pola Multi Years.
Pada waktu itu Presiden sangat yakin dan mengatakan “Lima tahun mendatang akan kita lakukan revitalisasi”. Dalam program 100 hari yang lalu mestinya telah dibuat rencana induk, master plan, dan roadmap untuk revitalisasi industri strategis.” Begitulah kira-kira keinginan presiden SBY kala itu. Revitalisasi ini termasuk menentukan apa yang diproduksi, terutama untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, keperluan pemesanan dari luar negeri, dan kontrak-kontrak yang sedang berjalan. Kita optimistis dengan revitalisasi ini karena industri pertahanan sudah dikembangkan cukup lama. Indonesia telah berinvestasi dalam penguasaan teknologi dan sumber daya manusia yang andal.
Pada waktu itu, presiden SBY mengatakan, industri pertahanan strategis yang akan dijadikan target, antara lain, industri yang memproduksi senjata, peralatan, dan perlengkapan pertahanan, militer, dan kepolisian. Misalnya, PT PAL di Surabaya, PTDI, PT PINDAD di Bandung, dan industri strategis lainnya. Menurut SBY, industri-industri tersebut sempat tidak mendapat perhatian karena krisis ekonomi. Lima tahun sebelumnya hal ini belum menjadi fokus karena pertumbuhan ekonomi belum cukup baik dan anggaran tidak cukup.
Karenanya, bertitik tolak dari program 100 hari dan ke depan serta adanya expo Industri Pertahanan Nasional yang memadukan industri dirgantara dan kelautan. Dan dengan adanya kemudahan dan pleksibilitas pembiayaan, khususnya dengan menggali potensi pembiayaannya. Terserah apakah menggunakan sumber dalam negeri, multi-years budgeting. Dan atau menentukan pola fasilitas pembiayaan perbankan dalam negeri. Adanya upaya pleksibilitas dalam pembiayaan terkait dalam pembangunan industri pertahanan, maka di pastikan Expo waktu itu akan dapat tampil lebih berdaya guna.
Membangun Pertahanan Dengan Kreativitas dan Keterbatasan Anggaran.
PT DI mengatakan NBell 412 EP ini adalah varian terbaru Bell 412. Masih ada kontrak untuk 5-6 Bell lagi untuk TNI AD serta 3 buah maritime patrol untuk TNI AL. Dengan membeli produksi PT DI, banyak keuntungan yang diperoleh TNI. Misalnya, kalau membeli di luar negeri, seperti AS, pasti banyak pembatasan. Sementara dengan PT DI, minta apa saja akan dikasih. ”TNI juga dapat dukungan purnajual dan bisa tingkatkan kemampuan Indonesia, baik dalam pertahanan maupun lapangan kerja,” kata Budi.
Komandan Pusat Penerbangan TNI AD Brigjen N Wachju Rianto mengatakan, heli NBell 412 EP akan dipergunakan untuk heli angkut dan ditempatkan di Skuadron 31 Semarang. ”Nanti juga akan dilengkapi dengan senapan 30 mm di kiri dan kanan heli. Ini untuk pengamanan saat pendaratan,” ujar Wachju. Asisten Logistik TNI AD Mayjen Wibowo mengatakan, heli NBell 412 EP berkapasitas mesin yang lebih besar serta semua peralatannya sudah digital. Heli ini juga bisa melakukan an auto-pilot hovering, yakni terbang stabil di udara secara otomatis. (Kompas /EDN)