Oleh Harmen batubara
Pengelolaan Wilayah Mensejahterakan Desa Pesisir. Secara harpiah pengertian Wilayah Pesisir kita bisa melihat definisi wilayah pesisir. Wilayah pesisir adalah suatu wilayah peralihan (interface area) antara ekosistem daratan dan laut. Definisi dan batas wilayah pesisir adalah wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut. Secara ekologis: kawasan daratan yang masih dipengaruhi oleh pasang-surut, angin laut, dan intrusi air laut. Ini bertemu dengan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh sedimentasi, dan mengalirnya air tawar kelaut. Serta dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan warga di daratan. Selama ini kita mengenal wilayah ini sebagai lahan Mangrove.
Perlu diketahui Mangrove, selain meminimalisir bahaya dan ancaman ombak dan angin laut di sekitar pesisir. Mangrove juga berperan sebagai penahan abrasi dan erosi karena akarnya yang padat, penjernih dan penyaring air asin. Mangrove juga menjadi habitat hewan laut maupun hewan lain seperti ikan, kepiting, udang, kerang-kerangan, burung dan kelelawar. Melindungi dan menyediakan nutrisi bagi hewan yang tinggal di sekitar hutan mangrove. Yang lebih hebat lagi, mangrove mampu menyimpan stok karbon yang besar. “Kemampuan hutan mangrove[3] dalam menyerap karbon jauh lebih besar daripada hutan di daratan. Setiap 1 hektare, hutan mangrove mampu menyerap karbon 5 kali lebih besar daripada hutan di daratan,” Erwin menambahkan.
Pengelolaan Wilayah Pesisir Mensejahterakan Desa Pesisir.
Rusaknya Mangrove, seiring dengan beralihnya perikanan tangkap menjadi perikanan budidaya sesuai arahan KKP. Justru meningkatkan konversi hutan mangrove menjadi lahan budidaya perikanan dengan tambak, terutama tambak udang. Tambak-tambak ini pun dibuat tanpa memahami konsep konservasi sehingga banyak merusak ekosistem mangrove. Hal itulah yang kembali dilakukan Presiden Jokowi memberikan sinyal pada dunia, bahwa Indonesia akan membangun Industrial Park yang ramah lingkungan, dan komitmen Indonesia dalam menggalakkan kembali “penanaman mangrove”. Khususnya di Kalimantan Utara.
“Kita tanam kembali sehingga yang pertama ini akan menjaga dari gelombang air laut yang ada, intrusi air laut. Kemudian juga menjaga habitat dari spesies-spesies yang ada di hutan mangrove dan sekitar hutan mangrove.”Ujar Presiden dalam keterangannya selepas penanaman 19 Oktober 2021 waktu itu. Presiden menjelaskan, di Kalimantan Utara ini ada 180 ribu hektare hutan mangrove yang akan direhabilitasi oleh pemerintah. Presiden menargetkan rehabilitasi hutan mangrove di Indonesia bisa mencapai 600 ribu hektare dalam tiga tahun ke depan.
“Target kita dalam tiga tahun ke depan agar kita perbaiki. Kita rehabilitasi sebanyak 600 ribu hektare dari total luas hutan mangrove kita yang merupakan hutan mangrove terbesar di dunia (seluas, red) 3,6 juta hektare,” tandasnya. Kita ingin berpesan pada Pemda Kaltara, agar menjadikan pemamfaatan hutan mangrove yang ramah dengan lingkungan. Suatu hal yang sederhana tetapi memerlukan komitmen yang luar biasa.
Pengelolaan Potensi Wilayah Pesisir Mensejahterakan Desa Pesisir.
Sebagai negara maritim[1] dan kepulauan ter unik di dunia, Indonesia memiliki baragam potensi SDA kelautan yang besar. Kekayaan SDA kelautan dapat didayagunakan untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa melalui sedikitnya 11 sektor ekonomi. Yakni: (1) perikanan tangkap, (2) perikanan budidaya, (3) industri pengolahan hasil perikanan, (4) industri bioteknologi kelautan. (5) pertambangan dan energi, (6) pariwisata bahari, (7) kehutanan, (8) perhubungan laut, (9) sumberdaya wilayah pulau-pulau kecil, (10) industri dan jasa maritim, dan (11) SDA non-konvensional.
Baca Juga : Tol Laut Jokowi Membuka Isolasi Perbatasan
Potensi produksi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia yang dapat dipanen mencapai 6,4 juta ton/tahun atau 8% dari potensi lestari ikan laut dunia. Pada 2009 tingkat pemanfaatannya mencapai 4,8 juta ton (75%). Potensi produksi budidaya laut diperkirakan mencapai 47 juta ton/tahun, dan budidaya perairan payau (tambak) sekitar 5,5 juta ton/tahun. Sementara itu, pada 2009 total produksi budidaya laut baru mencapai 2,5 juta ton (5,3%), dan total produksi budidaya tambak sebesar 1,5 juta ton (27%). Artinya, potensi pengembangan usaha perikanan, khususnya untuk budidaya laut dan tambak, masih terbuka lebar.
Dari total produksi perikanan sebesar 9,75 juta ton, hanya sekitar 1,25 juta ton yang diekspor, dan sisanya (8,5 juta ton) untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Perlu dicatat, bahwa sekitar 65% kebutuhan protein hewani rakyat Indonesia dipenuhi dari ikan, seafood, dan beragam produk perikanan (BPS, 2009). Dengan kata lain, kontribusi sektor perikanan dan kelautan bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa, bukan hanya dalam hal ekonomi, tetapi juga berupa perbaikan gizi, kecerdasan dan kesehatan rakyat.
Baca Pula : Gelar Kekuatan TNI dan Kesejahteraan Bangsa
Pengelolaan Wilayah Mensejahterakan Desa Pesisir. Mulai Saja Dulu.
Indonesia juga memiliki potensi industri bioteknologi kelautan berbasis marine BIODIVERSITY RESOURCE (sumberdaya keanekaragaman hayati laut) paling besar di dunia. Berupa industri makanan dan minuman, farmasi (seperti Omega-3, squalence, viagra, dan sun-chlorela), kosmetik, film, kertas, bioenergi, bioremediasi, genetic engineering. Dan beragam industri lainnya yang hingga kini hampir belum tersentuh pembangunan. Potensi ekonomi perikanan dan bioteknologi kelautan diperkirakan mencapai US$ 100 miliar setiap tahunnya atau setara dengan besarnya APBN 2009.
Saat ini sekitar 75% produksi minyak dan gas bumi berasal dari kawasan pesisir dan lautan. Dari 60 cekungan yang potensial mengandung migas, 40 cekungan terdapat di lepas pantai, 14 di pesisir, dan hanya 6 yang di daratan. Dari seluruh cekungan tersebut diperkirakan potensinya sebesar 11,3 miliar barel minyak bumi. Cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 101,7 triliun kaki kubik. Survei geologi oleh Dept. ESDM (2009) menemukan 68 cekungan baru yang mengandung potensi migas. 50 cekungan merupakan yang benar-benar baru ditemukan.
Sedangkan 18 cekungan lainnya merupakan perluasan dari cekungan yang telah teridentifikasi sebelumnya. Lokasi dari 68 cekungan baru itu tersebar di wilayah Sumatera, Selat Sunda, Kalimantan, Maluku, dan Papua yang sebagian besar juga terdapat di wilayah pesisir dan laut. Contohnya, Blok gas Masela di Laut Timor, NTT memiliki potensi cadangan gas sebesar 10 TCF (trillion cubic feet) yang merupakan cadangan gas terbesar kedua di Indonesia setelah blok gas Tangguh di Papua dengan potensi cadangan gas sebesar 14,4 TCF.
Pengelolaan Wilayah Mensejahterakan Desa Pesisir. Potensi Besar Tapi Tak Digarap.
Belum lagi potensi ekonomi dari industri dan jasa maritim (seperti galangan kapal, coastal and offshore engineering, pabrik peralatan dan mesin kapal, fibre optics, dan teknologi komunikasi dan informasi). Pulau-pulau kecil, dan SDA non-konvensional yang sangat besar. SDA non-konvesional adalah SDA yang terdapat di wilayah pesisir dan laut Indonesia. Tetapi karena belum ada tekonologinya atau secara ekonomi belum menguntungkan, sehingga belum bisa dimanfaatkan. Contohnya adalah DEEP SEA WATER INDUSTRIES, bioenergi dari algae laut, energi gelombang, energi pasang surut. OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), sumber-sumber mata air tawar di dasar laut, energi listrik dari ion Na+ dan Cl- , energi nuklir, dan mineral laut (Becker and Carlin, 2004).
Potensi total nilai ekonomi kesebelas sektor kelautan Indonesia diperkirakan mencapai US$ 800 miliar (Rp 7200 triliun) per tahun atau lebih dari tujuh kali APBN 2009. Sedangkan, kesempatan kerja yang dapat dibangkitkan mencapai 30 juta orang. Ekonomi kelautan bakal semakin strategis bagi Indonesia, seiring dengan pergesaran pusat ekonomi dunia dari Poros Atlantik ke Asia-Pasifik. Dewasa ini, 70% perdagangan dunia berlangsung di kawasan Asia-Pasifik. Sekitar 75% dari seluruh barang dan komoditas yang diperdagangkan di dunia ditransportasikan melalui laut Indonesia dengan nilai sekitar US$ 1.500 triliun per tahun (UNCTAD, 2008).
Pengelolaan Wilayah Pesisir Mensejahterakan Desa Pesisir Sampai Kini Belum Terjamah.
Untuk mengakomodir berbgai potensi dan kepentingan yang melatarbelakanginya maka keseluruhan upaya tersebut menurut Sorensen dan McCreary (1990), harus dilaksanakan secara berkesinambungan dan dinamis. Dengan mempertimbangkan segenap aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir dan lautan. Serta konflik pemanfaatan sumberdaya dan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan lautan yang mungkin ada.
Keterpaduan pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan ini mencakup empat aspek (Dahuri et al 2001): (1) keterpaduan ekologis; (2) keterpaduan sektoral; (3) keterpaduan disiplin ilmu; dan (4) keterpaduan stakeholders. Keterpaduan ekologis. Secara ekologis wilayah pesisir memiliki keterkaitan antara lahan atas (daratan) dan lautan. Hal ini disebabkan karena wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan lautan. Dengan keterkaitan kawasan tersebut maka pengelolaan kawasan pesisir tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan di kedua wilayah tersebut.
Baca Juga : Green Industrial Park Kalimantan Utara
Besarnya potensi laut pasti akan mengundang berbagai kepentingan untuk mengambil peran dalam memanfaatkannya. Pengelolaan wilayah pesisir jadi penting karena harus bisa melestarikan potensi yang ada serta di sisi lain dapat memanfaatkannya untuk kepentingan bersama. Hal itu terlihat dalam Pasal 1 ayat 1 UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Dirumuskan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pualu kecil adalah rangkaian suatu proses mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil antar sektor. Antara pemerintah dan pemerintah daerah, antara ekonomi darat, laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil berasaskan pada: keberlanjutan, konsistensi, keterpaduan, kepastian hukum, kemitraan, pemerataan, peranserta masyarakat. Keterbukaan, desentralisasi, akuntabilitas, dan keadilan. Hal mana dilakukan dengan cara mengintregasikan kegiatan : antar pemerintah dan pemerintah daerah; antar pemerintah daerah; antar sektor; antar pemerintah, dunia usaha, dan rakyat; antar ekosistem darat dan ekosistem laut; dan antar ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
Dengan demikian dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akan lepas dari kerusakan lingkungan yang makin parah. Perlindungan terhadap pengelolaan lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara implisit diatur dalam Chapter 17 dari Agenda 21. Sedangkan mengenai pentingnya perlindungan pelestarian lingkungan laut untuk mendukung pembangunan kelautan di atur dalam Bab XII UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea ) 1982. Tetapi untuk mensejahterakan warga pesisir bukanlah sesuatu yang mudah dan hal itulah yang akan anda temukan dalam membaca buku ini.
[1] https://dahuri.wordpress.com/2008/01/01/transformasi-kekayaan-laut-untuk-kemajuan-kemakmuran-dan-kedaulatan-bangsa/