Pertempuran di Marawi Mindanao-Filipina memasuki minggu keempat. Militer Filipina mengatakan, lebih dari 350 orang tewas, termasuk 26 warga sipil, 62 tentara, dan 257 anggota kelompok ekstrem. Hingga saat ini tentara Filipina belum berhasil mematahkan kekuatan utama kelompok bersenjata di Marawi. Dengan dukungan logistik memadai untuk perang, termasuk senjata dan dana, serta kombatan dari Indonesia, Malaysia, serta negara-negara lain, kelompok Maute dapat meladeni pasukan Filipina. Mereka diperkirakan mampu berperang dalam jangka panjang.
Bahkan, kelompok itu disebutkan memiliki logistik memadai dan peralatan canggih yang mampu memantau pergerakan pasukan Filipina. Asumsi tersebut didukung temuan narkoba senilai 2 juta dollar AS hingga 5 juta dollar AS dan empat senapan serbu oleh tentara Filipina di sebuah rumah yang pernah digunakan Maute sebagai pos pertahanan. Narkoba itu ditemukan telah dikemas dalam 11 kantong. Temuan ini meningkatkan kecurigaan sejumlah pihak bahwa kelompok radikal di Filipina menerima dana atau didanai antara lain dari perdagangan narkotika.
Patroli Bersama RI-Malaysia-Filipina
Mengantisipasi meluasnya ancaman Negara Islam di Irak dan Suriah di kawasan, pemerintah Indonesia, Malaysia, dan Filipina sepakat memperkuat kerja sama keamanan. Kesepakatan itu ditandai dengan peresmian patroli maritim trilateral Indomaphil, Senin (19/6), di Tarakan, Kalimantan Utara.
Dalam peresmian yang berlangsung di geladak KRI Soeharso 990 itu hadir antara lain Menteri Pertahanan RI Ryamizard Ryacudu, Menteri Pertahanan Malaysia Dato Sei Hishammuddin Tun Hussein, dan Menteri Pertahanan Filipina Delfin N Lorenzana. Dalam kesempatan yang sama, TNI menandatangani peresmian Pusat Komando Maritim (Maritime Command Center/MCC) dengan angkatan bersenjata Filipina dan Malaysia.
Baca Juga : Perbatasan Natuna, Agresivitas China dan Kedaulatan Bangsa
MCC berada di tiga lokasi, yakni Tarakan di Indonesia, Tawau di Malaysia, dan Bongao di Filipina. Pembentukan Pusat Komando Maritim itu, antara lain, adalah untuk berbagi informasi dan intelijen serta memantau aktivitas di Laut Sulu.
Ryamizard menuturkan, patroli maritim bersama merupakan pesan keras kepada Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), termasuk kepada kelompok-kelompok radikal lokal yang berafiliasi kepada NIIS, bahwa Indonesia, Malaysia, dan Filipina tidak memberikan ruang kepada mereka. Bahkan, menurut dia, ketiga negara menargetkan untuk menghancurkan kelompok dan sel NIIS di kawasan.“Kami sepakat untuk menjadikan NIIS sebagai musuh bersama, musuh kemanusiaan. Mereka (NIIS) tidak akan bisa menjadikan ASEAN seperti di Timur Tengah,” kata Ryamizard.
Membangunkan Sel tidur
Dalam diskusi yang digelar Kompas, Senin, di Jakarta, Direktur Institut Analisis Kebijakan dan Konflik (IPAC) Sidney Jones mengatakan, satu hal yang patut diwaspadai adalah kebangkitan sel-sel tidur di Indonesia. Ia mengatakan, sejumlah anak muda asal Sumatera dikabarkan ditangkap oleh polisi Malaysia saat hendak menyeberang ke Zamboanga, Filipina.Padahal, selama ini, jika dibandingkan dengan di Jawa, jarang ada mobilisasi kombatan dari Sumatera. Penangkapan itu menunjukkan sel-sel yang selama ini tidur mulai menggeliat. Geliat itulah yang harus semakin diwaspadai.
Baca Juga : Pertahanan Perbatasan, Strategi Merangkul Negara Tetangga
Kelompok NIIS dikabarkan bergerak aktif di tiga negara Asia Tenggara, yakni Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Mereka memiliki setidaknya 60 sel. Rinciannya, sebanyak 29 sel berada di Indonesia, 22 sel di Filipina, sedangkan 19 sel lain mulai mencari cara untuk aktif di Malaysia.Tujuan utama sel NIIS ialah membentuk sebuah khilafah yang saat ini dipimpin Isnilon Totoni Hapilon alias Abu Abdullah al-Filipini. Hapilon merupakan salah satu pemimpin sel NIIS yang berasal dari jaringan kelompok Abu Sayyaf di wilayah Basilan, Filipina. Melalui patroli maritim trilateral, ketiga negara berupaya mencegah rembesan sekitar 1.267 anggota sel NIIS, khususnya kombatan yang saat ini bertempur di Marawi.
Aksi kelompok-kelompok militan yang berbaiat pada NIIS kini mulai memicu kewaspadaan regional. Krisis berkepanjangan terjadi di Marawi sejak kelompok Maute dan kelompok bersenjata yang dipimpin Hapilon menduduki sebagian kecil kota itu. Mereka menyerukan dukungan kepada NIIS dan menyatakan berdirinya kekhilafahan di Asia Tenggara. Wilayah perbatasan Malaysia, Indonesia, dan Filipina digunakan untuk menyusupkan para kombatan dari sejumlah negara, termasuk dari Indonesia. Sumber (Kompas.co.id, 20 juni 2017-ap/afp/reuters/san/jos/edn)