Oleh Harmen Batubara
Dalam tatanan hubungan bilateral dengan Negara tetangga. Kita harus bisa melihat bahwa hakekat hubungan antar dua Negara di Perbatasannya harus dilihat sebagai interaksi kepentingan Nasional dari kedua negara berupa spectrum MEMBERI dan MENERIMA dari titik ekstrim positif (aliansi) sampai dengan titik ekstrim negative (perang) untuk mencapai suatu posisi yang dapat diterima kedua negara pihak sesuai pertimbangan kepentingan nasionalnya. Hal inilah sejatinya yang menjadikan kedua Negara yang bertetangga itu masih bisa saling menahan diri atau terpaksa harus perang, meski secara terbatas. Persoalannya ? Apakah perbatasan akan jadi tempat mereka berseteru secara permanen atau malah menjadikannya pusat kerja sama yang saling menguntungkan? Pilihannya ada pada mereka.
Yang membuat perbatasan India dan China jadi lebih rumit, karena kedua Negara memanfaatkan pengaruhnya kepada Negara-negara yang juga berbatasan dengan mereka untuk jadi pendukungnya. Buthon memihak India, Pakistan memilih China dan Tibet menjadi bagian dari China. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya masalah perbatasan di wilayah itu jadi saling tarik dan menutup jalan menuju kerja sama, karena kepentingan Nasionalnya memang berbeda. Bisa kita pahami hakekat hubungan bilateral adalah FORUM dimana masing-masing negara MENDESAKKAN KEPENTINGAN NASIONALNYA dengan maksud ALIANSI-ALIANSI ADHOC yang secara dinamis berubah sesuai “Permasalahan” yang dibicarakan.
Ditambah lagi. Kedua Negara tidak mempunyai kesepakatan terkait perbatasan. Mereka saling tidak mengakui hak Negara tetangganya. Ketika India masih di jajah oleh Inggeris, pernah melakukan kesepakatan batas dengan Tibet yang dikenal dengan Mc Mahon Line. Tetapi garis batas itu tidak diakui oleh China, karena menurut mereka Tibet sebagai bagian dari China tidak punya hak untuk itu.
Garis McMahon adalah garis perbatasan antara India Timur Laut dan Tibet yang diusulkan oleh administrator KOLONIAL BRITANIA Henry McMahon (India adalah Negara jajahan Inggeris) dalam Konvensi Simla 1914. Garis ini merupakan perbatasan efektif antara Tiongkok dan India. Garis ini dinamakan sesuai nama Henry McMahon, menteri luar negeri India Britania dan juru runding utama konvensi di Simla. Konvensi tersebut ditandatangani oleh McMahon dan Lonchen Satra atas nama Pemerintah Tibet. Garis ini membentang sepanjang 550 mil (890 km) dari Bhutan di barat hingga 160 mil (260 km) di timur dari tikungan besar Sungai Brahmaputra di sebelah timur, sebagian besar di sepanjang puncak Pegunungan Himalaya. Masalahnya, Konvensi ini tidak diakui oleh China.
Baca Juga : Membangun Pertahanan Negara Kepulauan
Dalam hal perbatasan India-China dikenal juga adanya Garis Kontrol Aktual. Garis Kontrol Aktual (LAC) adalah sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah yang dikuasai India dengan wilayah yang dikuasai oleh Tiongkok di bekas negara Jammu dan Kashmir. Ada dua cara umum di mana istilah “Garis Kontrol Aktual” digunakan. Dalam pengertian sempit, garis ini hanya mengacu pada garis kontrol di sektor barat perbatasan antara kedua negara. Dalam pengertian itu, LAC membentuk batas efektif antara kedua negara, bersamaan dengan Garis McMahon di timur dan bagian kecil yang tidak bersengketa di antaranya. Dalam pengertian yang lebih luas, garis ini dapat digunakan untuk mengacu pada garis kontrol bagian barat dan Garis MacMahon, di mana garis ini merupakan perbatasan efektif antara India dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Tetapi sekali lagi. Tiongkok tidak mengakui Garis Kontrol Aktual yang hampir menyerupai sebagian besar “yang disebut garis McMahon tersebut”
Pemicu Terjadinya Perang Perbatasan.
Ada beberapa alasan. Namun utamanya, adalah demi keunggulan startegi. Adu strategi Pertahanan di Perbatasan, untuk melumpuhkan atau menghancurkan Negara tetangga. Masing-masing pihak mempunyai strategis untuk mendapatkan keunggulan dan itulah sebenarnya yang jadi Pemicu Utama. Kedua belah pihak saling menyalahkan. Sungai Galwan yang selama ini secara tradisional mengalir secara damai kini berubah menjadi wilayah konflik. Masalahnya? China melihat, di daearh itu, daerah yang paling dekat dengan LAC[1] atau Garis Kontrol Aktual, India membangun jalan baru dari Leh ke Murgo, sepanjang Sungai Shyok menuju Daulet Beg Oldi (DBO), daerah terpencil sepanjang LAC di Ladakh. Tindakan India untuk meningkatkan infrastruktur di wilayah ini tampaknya membuat marah China. Menurut China Wilayah Lembah Galwan adalah wilayah China, dan mereka secara fakta mengontrol wilayah itu sepenuhnya. “Menurut militer China, India telah memaksa mereka masuk ke lembah Galwan. India mengubah STATUS QUO di sepanjang LAC dengan membangun jalan, yang membuat marah China,” jelas Dr Long Xingchun, presiden Chengdu Institute of World Affairs (CIWA), kepada BBC. Jalan Baru itu bisa meningkatkan kemampuan India untuk memindahkan pasukan dan materialnya dengan cepat jika terjadi konflik. Gesekan itu juga dipicu oleh India yang secara kontroversial memutuskan untuk mengakhiri otonomi terbatas Jammu dan Kashmir pada Agustus tahun lalu, dan sekaligus India juga membuat ulang peta wilayah itu. Ladakh, nantinya akan dikelola pemerintah federal yang baru, mencakup daerah Aksai Chin, wilayah yang diklaim India tetapi dikendalikan dan diduki oleh China.
Pemerintah India juga telah mengumumkan niat mereka untuk merebut kembali Kashmir yang dikelola Pakistan. India juga melihat bahwa Jalan raya Karakoram yang strategis melewati area ini, menghubungkan China dengan sekutunya Pakistan. India juga melihat bahwa China telah menginvestasikan sekitar US$60 miliar dalam infrastruktur ke Pakistan, yang disebut Koridor Ekonomi China Pakistan, atau China Pakistan Economic Corridor (CPEC). Proyek itu merupakan bagian dari Inisiatif Sabuk dan Jalan (One Belt One Road, OBR). Jalan raya tersebut merupakan kunci untuk mengangkut barang ke dan dari pelabuhan Gwadar di Pakistan selatan. Pelabuhan itu memberi China pijakan di Laut Arab. Selain itu, China tidak senang ketika India pada awalnya melarang semua ekspor peralatan medis dan sejenisnya lewat perbatasan untuk menopang stoknya segera setelah pandemi virus corona dimulai awal tahun ini.
Dari sisi India, mereka juga melihat China terus membangun infrastrukturnya di sekitar perbatasan. China membangun jalan yang langsung menghubungkan provinsi Xinjiang dengan bagian barat Tibet di wilayah Doklam yang menurut China merupakan bagian dari wilayahnya, bukan milik Bhutan apalagi India. China berpendapat tak ada pelanggaran yang mereka lakukan.“Itu adalah fakta yang tak terbantahkan yang didukung oleh bukti historis dan yurisprudensi,” kata juru bicara kementerian luar negeri China Lu Kang. Bhutan sendiri berharap China mematuhi kesepakatan bersama dan tetap mempertahankan status quo di wilayah tersebut.
Wilayah yang menjadi pemicu sengketa itu berada di persimpangan antara India, China, dan Bhutan[2]. Wilayah itu sesungguhnya menjadi sengketa antara China dan Bhutan. India hadir atas permintaan Bhutan untuk menghadapi China. Sudah lebih dari 30 tahun sengketa itu berlangsung, tapi hingga saat ini belum ditemukan jalan keluar yang tepat untuk semua pihak. Dan dipercaya tidak akan ditemukan jalan keluar yang bisa menyenagkan para pihak.
Baca Juga : Pertahanan Kedaulatan Dan Kemandirian Industri Pertahanan
Bagi India, meski dataran tinggi itu bukan wilayahnya, tapi jelas jalan tersebut akan sangat merugikan strategi pertahanannya, karena jalan itu berada di dataran tinggi Doklam, dan itu sangat menguntungkan bagi mobiliasi pasukan China, terlebih lagi jalan raya itu menghubungkan provinsi Xinjiang dengan bagian barat Tibet. Pembangunan jalan raya di dataran tinggi itu akan memberi akses bagi China untuk bisa menuju daerah yang sering disebut “chicken’s neck”, yakni sebuah wilayah di timur laut. Wilayah itu dapat menjadi salah satu pintu masuk menuju teritori India dan sekaligus bisa menjangkau dengan mudah beberapa negara bagian di India.
“Pembangunan infrastruktur tambahan dapat mengurangi keseimbangan kekuatan lokal yang akan menguntungkan China, yang pada dasarnya akan membuat India lebih rentan terhadap invasi jika terjadi konfrontasi militer dengan Beijing,” Kata peneliti senior di Royal United Services Institute (RUSI) London, Shashank Joshi, kepada CNN.
Masalah perbatasan antara India dan China dipercaya masih akan berlangsung lama. Terlebih lagi kalau kita melihat cara-cara penyelesaian pertiakain perbatasan antara kedua Negara itu dengan Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Misalnya China, mereka mempunyai masalah perbatasan dengan beberapa Negara seperti Jepang, dengan Korea Selatan, bahkan dengan beberapa Negara Asean di Laut China Selatan dan belum ada yang bisa terselesaikan dengan baik. Begitu juga dengan India, mereka bersengketa dengan hampir semua Negara yang berbatasan dengan negaranya dan juga tidak mampu menyelesaikannya dengan baik. Meski Dunia kian modern, tetapi cara pandang manusianya terkait perbatasan malah semakin kuno. Masing-masing mau ambil untung sebesar-besarnya demi kepentingannya sendiri. Tidak mau berbagi atau tidak sudi bekerja sama.
Yang membuat perbatasan India dan China jadi lebih rumit, karena kedua Negara memanfaatkan pengaruhnya kepada Negara-negara yang juga berbatasan dengan mereka untuk jadi pendukungnya. Buthon memihak India, Pakistan memilih China dan Tibet menjadi bagian dari China. Bisa dibayangkan bagaimana jadinya masalah perbatasan di wilayah itu jadi saling tarik dan menutup jalan menuju kerja sama, karena kepentingan Nasionalnya memang berbeda. Bisa kita pahami hakekat hubungan bilateral adalah FORUM dimana masing-masing negara MENDESAKKAN KEPENTINGAN NASIONALNYA dengan maksud ALIANSI-ALIANSI ADHOC yang secara dinamis berubah sesuai “Permasalahan” yang mereka hadapi. Harapan kita perbatasan mestinya mampu membuka Mata mereka, bahwa bertetangga dengan cara saling menghargai dan menerima adalah sesuatu yang lebih Baik.
[1] https://www.matamatapolitik.com/sebab-detail-kenapa-konflik-memanas-di-perbatasan-china-india-analisis/
[2] https://tirto.id/perselisihan-antara-cina-dan-india-yang-tak-kunjung-usai-ct8E