Oleh Harmen Batubara
Laut Tiongkok Selatan LCS atau Laut China Selatan merupakan area perairan yang terbentang sepanjang lebih dari 1.100 kilometer dari Selat Malaka di barat daya hingga ke Selat Taiwan di timur laut. Daerah ini telah lama menjadi daerah konflik karena posisi geografis dan geopolitiknya[1] yang strategis. LCS diperkirakan memiliki sebelas miliar barel minyak bumi, lima triliun meter kubik gas alam, serta satu-per-sepuluh populasi ikan dunia hidup di LCS. Selain memiliki potensi ekstraktif, LCS juga merupakan jalur strategis perdagangan yang dilewati oleh komoditi senilai $5,3 triliun setiap tahunnya.
Posisi LCS yang strategis juga membuatnya menjadi lokasi ideal untuk pangkalan militer. Tiongkok sendiri telah melihat potensi itu sejak tahun 1947 dan memanfaatkan beberapa pulau di LCS sebagai dermaga transit untuk angkatan laut mereka. Tindakan yang membuat khawatir negara-negara di sekitar LCS. Selain negara sekitar LCS, negara-negara yang jauh secara geografis seperti Australia, India, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) juga melihat hal yang sama dan telah menyatakan rencana mereka melakukan patroli militer di wilayah LCS[2].
Baca Juga : Natuna Agresivitas China dan Kedaulatan Bangsa.
Konflik laut china selatan sebenarnya adalah konflik yang muncul karena adanya pergeseran Kendali atas wilayah, dari yang tadinya bebas tanpa halangan menjadi sesuatu yang beda. Ditambah lagi perebutan kepemilikan dan pemanfaatan sumber daya alam berupa Gas dan Ikan di wilayah itu. Sebelum China mulai cawi-cawi di kawasan itu. Semuanya berjalan dengan lancar dan para pihak dapat bernavigasi dengan bebas dan aman. Tetapi ketika China mulai membangun pangkalannya di Spratly dan Paracel serta melarang orang lain mencari ikan di kawasan maka para pihak mulai terusik. Yang jadi konsern Dunia khususnya Amerika Serikat menginginkan jangan sampai wilayah itu dikendalikan oleh China, apalagi akan membangun pangkalan militernya di sana. Bagi mereka itu tidak akan pernah terjadi.
Benarkah Klaim China AtasLCS TakTerbantahkan?
Konflik Laut China Selatan dimulai sejak China dan Vietnam mempunyai permasalahan perbatasan di Laut China Selatan. Kepulauan Paracel (Xisha dalam bahasa China) terdiri dari 130 pulau karang, terumbu karang, yang jaraknya dari Pulau Hainan di China (162 mil laut) dan pelabuhan Da Nang di Vietnam (200 mil laut). Total luas daratannya sekitar 3 mil persegi. Sebagian besar pulau di kepulauan itu dikelompokkan dalam GRUP AMPHITRITE TIMUR LAUT dan GRUP BULAN SABIT BARAT, yang dipisahkan oleh laut sejauh 39 mil. Pulau Woody dari Grup Amphitrite, memiliki luasan sekitar 530 hektar, adalah yang terbesar di kepulauan Paracel.
“Pulau” karang ini tidak ada penghuninya, tidak ada penduduk asli di sana. Kepemilikan kepulauan itu telah menjadi sengketa sejak awal abad ke-20. Vietnam dan China mendasarkan klaim mereka bermula pada tahun 1930-an di masa kolonial Prancis. Prancis, sebagai pemilik koloni di Vietnam sejak 1858, menetapkan klaimnya atas Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly di dekatnya pada tahun 1932. Klaim atas kedua pulau itu berubah pada tahun 1937, ketika perang antara Jepang dengan China. Prancis[3], khawatir bahwa China atau Jepang mungkin akan merebut pulau-pulau itu.
Klaim China AtasLCS TakTerbantahkan Kenapa Tak Diakui.
Lalu menempatkan garnisun Prancis-Vietnam yang terdiri dari sekitar 100 orang di Pulau Woody pada tahun 1938 sebagai penjaga untuk memperpanjang garis pertahanan koloni Indochina-Prancis. Otoritas Inggris turut mendorong langkah Prancis ini, karena tindakan Prancis itu juga berarti akan memperluas perimeter pertahanan koloni Inggris di semenanjung Malaya terhadap ancaman Jepang. Kedua negara percaya bahwa perang Jepang dengan China hanyalah langkah awal menuju penaklukan koloni Eropa di Asia Tenggara. Jepang, kemudian mendaratkan unit infanterinya di Pulau Woody pada tahun 1938. Garnisun Prancis di tempat itu menyerah tanpa perlawanan. Jepang lalu mencaplok pulau Paracel dan Spratly pada tahun 1941. Jepang mengklaim bahwa kedua kepulauan itu adalah bagian dari wilayah Taiwan yang diduduki Jepang. Pada tahun 1951, Jepang melepaskan semua klaimnya atas kepulauan ini.
Baca Juga : Resmi Belanda Akui Papua NKRI Sejak 1945.
Setelah kekalahan Jepang pada tahun 1945, Jepang menarik pasukannya dari pulau-pulau tersebut, pada akhir bulan Agustus 1945. Dua bulan kemudian Pemerintah Kuomintang China Nasionalis lalu menduduki Grup kepulauan Amphitrite dan menempatkan garnisunnya di Pulau Woody pada bulan Januari 1946. RCO memasukkan kepulauan itu kedalam wilayah administratif Provinsi Guangdong[4]. Sementara itu, Prancis, setelah gagal mengusir kekuatan China Nasionalis dari Grup kepulauan Amphitrite.
Mengamati Klaim China Atas LCS TakTerbantahkan?
Dalam aksi unjuk kekuatan angkatan laut. Lalu mengajukan klaim atas Grup kepulauan Bulan Sabit dan menempatkan peleton Legiun Asing di Pulau Pattle. Pulau dari grup kepulauan tersebut untuk menghalangi pendudukan oleh pasukan China Nasionalis. Menanggapi langkah Prancis, Pemerintah Cina Nasionalis mengulangi klaimnya atas seluruh Laut Cina Selatan pada tahun 1947[5]. Dilakukan dengan cara mengeluarkan peta yang menempatkan klaim teritorialnya di dalam garis “nine-dash line” wilayah laut resmi mereka dan nyatanya, tidak ada yang melakukan protes.
Pada tahun 1949, pasukan Komunis China berhasil mendesak pemerintah China Nasionalis ke Pulau Taiwan. Sementara itu, meski Jepang telah memutuskan untuk melepaskan klaimnya atas semua pulau di Laut Cina Selatan pada Konferensi Perdamaian San Francisco tahun 1951. Tetapi mereka tidak lantas menyerahkan kendalinya secara khusus kepada penggugat lain. Dan membiarkan kepemilikan pulau itu tidak terselesaikan. Di pihak lain pemerintah Komunis Republik Rakyat China meneruskan klaim Laut China Selatan pemerintah Nasionalis sebagai miliknya. Vietnam Selatan, bagaimanapun, telah menduduki Grup kepulauan Bulan Sabit pada tahun 1954 dan menempatkan garnisun kecil di tiga pulau. Komunis China lalu mengikuti dengan menguasai Grup Kepulauan Amphitrite dan Pulau Woody pada tahun 1956. Nelayan China sempat mendarat di Pulau Duncan milik Grup Kepulauan Bulan Sabit pada tahun 1959, tetapi pemerintah Vietnam Selatan segera mengusir mereka.
Klaim China AtasLCS TakTerbantahkan? Sesuatu Yang Alami?
Pada tahun 1967, kehadiran Vietnam Selatan telah dikurangi hanya menjadi satu stasiun layanan cuaca. China di masa itu sepertinya menerima keadaan status quo. Namun, muncullah informasi baru yang terjadi pada tahun 1970-an yang telah mengubah dinamika di Laut Cina Selatan. Laporan tentang adanya potensi cadangan minyak di wilayah tersebut muncul pada pertengahan tahun 1972, dan kemudian Kesepakatan Perdamaian Paris yang ditandatangani pada bulan Januari 1973 menandai berakhirnya keterlibatan militer AS di Vietnam.
Dengan beberapa perkembangan ini para pemimpin Asia tiba-tiba melihat sengketa di Laut Cina Selatan tidak hanya sekedar masalah politik dan administrasi tetapi juga sebagai perebutan potensi ekonomi. Pimpinan China, Mao Zedong pada tahun 1973, setelah melihat Amerika memilih mengakhiri keterlibatannya secara aktif dalam Perang Vietnam, Mao segera melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk meningkatkan eskalasi dalam merebut kepulauan Paracel.
Klaim China AtasLCS TakTerbantahkan?
Di China, para ahli Mao Zedong telah menghitung bahwa keuntungan ekonomi menguasai kepulauan Paracel lebih besar daripada risiko kemungkinan timbulnya konfrontasi militer. Selain itu, risiko tersebut juga semakin berkurang dengan adanya konflik baru yang muncul antara Amerika dan Uni Soviet. Mao menyadari bahwa pemerintah Amerika yang telah memutuskan untuk mundur dari Vietnam Selatan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak lagi memiliki keinginan untuk mengambil risiko konflik lain. Dan malah menginginkan dukungan China dalam menghadapi Uni Soviet yang semakin agresif.
Para pemimpin China menyimpulkan bahwa rezim Saigon hanya memiliki sedikit prospek untuk mendapat dukungan AS dan hanya tinggal menunggu waktu saja sebelum rezim tersebut jatuh. Mereka juga sepenuhnya sadar bahwa Vietnam Utara masih membutuhkan bantuan China dalam upayanya untuk menaklukkan Vietnam Selatan, dan sekutu Hanoi lainnya, Uni Soviet, tidak memiliki pasukan untuk bisa mencegah aksi China di pulau-pulau tersebut. Mao lalu memerintahkan serangkaian langkah untuk menekan Vietnam Selatan agar meninggalkan kepulauan Paracel.
Klaim China AtasLCS Kenapa Mesti Dilihat Dengan Unclos?
Ada beberapa hal yang menarik dan menguatkan. Bahwa klaim China atas LCS memang sesuai dengan kaidah atau kebiasaan praktise bernegara dalam hal Klaim wilayah. Pertama secara tradisi, kekuatan mereka memang ada di wilayah itu. Sejarah nenek moyang meraka sudah lama ada di sana dan semua orang juga tahu. Kedua China (RCO) juga telah menerbitkan Peta Baru China Tahun 1947 yang didalamnya terdapat “nine dash line” sebagai Deklarasi. Sebagai pemberitahuan bahwa mereka mempunyai klaim wilayah di Laut China Selatan. Secara tradisi, kalau tidak ada yang keberatan atas penerbitan Peta Baru itu, maka keberadaan Peta Baru itu dianggap sah dan berlaku. Secara fakta Vietnam secara tegas menolak klaim atas Peta Baru 1947 itu.
Maka kedua Negara ini perlu kembali untuk duduk bersama dan membicarakan permasalahan klaim mereka. Tentu China akan keberatan. Karena Vietnam jadi ikutan terkait pulau ini, semata-mata karena Prancis (sebagai pemerintah Kolonial) melakukan Klaim atas beberapa pulau karang disana. Prancis sendiri tidak punya kerjasama atau perjanjian dengan China atau Jepang terkait kepemilikan Pulau-pulau ini. Bahwa kemudian masyarakat internasional termasuk Negara-negara pengklaim LCS menekankan perlunya menetrapkan UU UNCLOS 1982 untuk memecahkan masalah konflik ini? Tentu sangat jauh dari proporsional. Terlebih lagi atas penolakan kepemilikan wilayah ini digunakan dengan memakai kacamata Unclos jelas jauh panggang dari api.
[1] Mikael Weissmann, “The South China Sea: Still No War on the Horizon,” Asian Survey 55, no. 3 (2015): 596-617.
[2] Ralph Jennings, “Four Countries Plan Resistance to China in a Disputed Asian Sea,” VoA News, 5 Februari 2018. https://www.voanews.com/a/countries-push-for-joint-naval-exercises-in-south-china-sea/4239171.html. Diakses pada 7 Desember 2018.
[3] Dirangkai dari informasi https://commons.wikimedia.org
[4] Jepang menyerahkan pulau itu kepada China Taiwan RCO dan RCO menempatkan pulau-pulau itu ke Provinsi Guandong.
[5] Dalam bahasa sederhana RCO melakukan penerbitan Peta Baru tahun 1947 sesuai dengan klaimnya terkkait wilayah Laut China Selatan.