Pengembangan Pulau-pulau Kecil Terluar di Sepanjang Selat Malaka

Oleh harmen batubara

Jalur laut di sepanjang Selat Malaka tidak dapat dilepaskan dengan Poros Maritim Nusantara dan revitalisasi Jalur Sutra atau jalur rempah Nusantara dengan kerja sama Lingkar Samudra Hindia.  Presiden Joko Widodo pernah menggelar rapat terbatas di Hotel Inna Parapat, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, Sabtu petang, 20 Agustus 2016 yang lalu. Rapat terbatas ini membahas tentang Percepatan Implementasi Poros Maritim. “Hampir dua tahun kita berbicara masalah poros maritim dan sampai saat ini, saya kira implementasinya ada yang sudah berjalan tapi banyak yang belum,” ujar Presiden ketika memberikan pengantar. Sebagai negara yang dua pertiga wilayahnya adalah laut, Indonesia harus dapat memanfaatkan kondisi tersebut. “Kita harus manfaatkan posisi strategis Indonesia yang terletak berbatasan di antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik,” tutur Presiden.

Membangun Pertahanan Negara Kepulauan
Membangun Pertahanan Negara Kepulauan

Lokasi geostrategis ini, lanjut Presiden, harus dimanfaatkan dengan membangun pengembangan pelabuhan yang ada. “Kemudian kita juga harus beri prioritas pada infrastruktur, konektivitas antar pulau, konektivitas maritim dengan membangun tol laut,” ujar Presiden.Presiden berharap agar dilakukan perhatian terhadap pembangunan yang berkaitan dengan SEA PORT,  DEEP SEAPORT, LOGISTIK, INDUSTRI PERKAPALAN DAN PENGOLAHAN IKAN. “Saya berharap pengolahan laut di sepanjang pantai terutama yang berbatasan dengan Selat Malaka, Batam, Medan, Sumut, bisa betul-betul kita kembangkan menjadi pelabuhan kelas dunia,” imbuhnya.

Baca Juga : Mensinergikan Poros Maritim dan Pembangunan Perbatasan

Jalur perdagangan atau jalur sutra nusantara masa kejayaan Sriwijaya dan Majapahit itu, bagi Indonesia kini seolah tidak berbekas. Hal ini terlihat dari terus berkembangnya jalur Rempah masa lalu menjadi jalur pelayaran Cargo internasional tapi Indonesia tidak mampu memanfaatkannya-misalnya bisa kita lihat dengan jelas. Jalur cargo internasional (transhipment) dari India dan semenanjung Arab melewati Sabang-terus ke jalur selatan-lewat Simeuleu-Sibolga-Padang dan terus selat Sunda-Jakarta-terus ke A jalur ALKI I di laut Sulawesi-terus ke Tawau (Sebatik) dan terus ke Hongkong-Jepang –USA.

Jalur lainnya lewat Sabang mereka masuk ke selat Malaka dan terus ke Johor atau Singapura dan kemudian masuk ke jalur ALKI II terus ke kepulauan Riau-Kepulauan Natuna-Taiwan-Hongkong-Jepang dan USA. Apa yang terjadi? Mereka memang melewati laut Nusantara di jalur rempah-rempah tetapi tidak pernah berhenti atau “isi ulang keperluan logistik”nya di pelabuhan-pelabuhan Indonesia. Karena memang PELABUHAN KITA di sepanjang jalur itu TIDAK MEMENUHI STANDAR INTERNASIONAL yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Pelabuhan kita umumnya terkesan masih kumuh-penuh pungutan liar dengan dwelling time yang tidak umum.

Indonesia memang mempunyai pelabuhan di Sabang-Meulaboh-Barus-Padang-Bengkulu dan seterusnya hingga ke selat Sunda. Tetapi pelabuhan-pelabuhan ini, kualitasnya baru setara kelas Provinsi, jauh dibawah standar Nasional dan tidak bisa di manfaatkan oleh kapal-kapal Transhipment internasional. Demikian juga dengan jalur Selat Malaka. Kita mempunya pelabuhan Sabang- Belawan-Batu Ampar Batam tetapi sekali lagi masih sangat jauh dari memadai. Pelabuhan Batu Ampar dengan kapasitas 400 ribu TEU bandingkan Singapura dengan kapasitas 34 juta TEU pertahun, masih jauh dari memadai, khususnya pelayanannya yang sangat memprihatinkan. Batam juga ada rencana mau membangun Pelabuhan Baru di Tanjung Sauh dengan kapasitas 6 juta TEU. Tetapi melihat apa yang bisa mereka buat di Batu Ampar, pelabuhan baru ini juga sepertinya bila tidak diperhatikan dengan benar, maka ia tidak akan mampu memberikan layanan yang baik bagi kastomernya. Artinya jalur Selat Malaka yang demikian potensial itu hanya bisa jadi tontonan belaka. Sementara Singapura dan Malaysia telah menikmati manfaatnya bagi perkembangan ekonomi nasionalnya.

Pola Pengembangan Pulau-pulau Kecil Terluar di Sepanjang Selat Malaka

Pola pengembangan PPKT pemerintah sudah merevisi Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar menjadi Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penetapan Pulau-pulau Kecil Terluar. Dilain pihak rencananya, pemerintah Indonesia akan menggandeng Singapura untuk memaksimalkan pemanfaatan perairan dan pulau pulau perbatasan kedua negara. Sejumlah pulau di Batam, Kepulauan Riau, juga akan dijadikan lokasi kerja sama. Salah satu peluang yang belum dimaksimalkan adalah labuh jangkar. “Saya melihat banyak sekali kapal buang sauh. Tidak jelas mereka itu bayarnya ke mana,” kata Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Pandjaitan seusai meninjau Pulau Tolop di Batam, Jumat (10/3).

Potensi labuh jangkar di perbatasan Indonesia-Singapura memang besar. Perairan perbatasan kedua negara menjadi alur pelayaran ribuan kapal. Sebagian kapal itu akhirnya labuh jangkar di perairan Kepulauan Riau. “Singapura terus mereklamasi wilayahnya. Lama-lama tempat labuh jangkar berkurang dan mereka membutuhkan tempat tambahan. Dan, Batam ini paling berpotensi,” kata Luhut. Luhut mengatakan, Indonesia dan Singapura juga melirik peluang kerja sama penyimpanan minyak. Lokasi yang disiapkan adalah Pulau Nipa, salah satu pulau terluar di Batam.Pulau itu nyaris hilang akibat tanah dan pasirnya dikeruk hingga 17 tahun lalu.

Baca Juga : Strategi Pengamanan Negara Kepulauan

Pulau Nipa adalah contoh hidup bagaimana Indonesia mengelola pulau terluarnya. Pulau itu nyaris tenggelam  karena tanahnya dikeruk dan dijual untuk mereklamasi Singapura. Setelah tahu bahwa Pulau itu mempunyai Titik Dasar Perbatasan, dan sangat penting artinya bagi penegakan kedaulatan negara. Maka pemerintah waktu itu melakukan “reklamasi”  kembali pulau Nipa dan menghabiskan dana 300 Milyar dan setelah itu, tidak bisa “dimanfaatkan” untuk kemaslahatan sesama. Pulau  Nipa kini di jaga oleh prajurit TNI yang ditugaskan bergiliran dengan dukungan sarana prasarana seadanya. Harapan kita jangan sampai nantinya, hanya jadi “lahan parker” seadanya yang tidak bisa memberi jaminan “keamanan” bagi penyewanya dan juga tidak memberikan pendapatan yang baik bagi Pemda setempat.

Kurangnya Sinergi Pelayanan dan Kerja Sama  Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun mendukung pemanfaatan pulau pulau kecil di perbatasan untuk kepentingan ekonomi. Di Kepri terdapat 2.408 pulau dan sebagian di perbatasan serta tidak berpenghuni selama puluhan tahun. “Jika pulau-pulau itu dibiarkan tetap kosong, tidak ada jaminan ke depannya tidak akan mendatangkan  masalah,” ujarnya. Tetapi memang masalah di wilayah ini juga (khususnya wilayah Batam) tidak lepas dari persoalan besarnya. Kelemahan pelayanan di Batam dan sekitarnya  tidak lepas dari adanya perbedaan kepentingan di wilayah ini. Selama bertahun-tahun, kota Batam, kota perbatasan itu dikelola dua lembaga, BP dan pemerintah kota Batam. Mereka hanya peka dengan kepentingannya masing-masing. Mereka lupa pada peningkatan semangat pelayanan yang baik.

Kita ingin agar Batam dan Kepri bisa bersinergi dengan “Pelabuhan Kuala Tanjung yang letaknya berada pada lintasan Selat Malaka yang diyakini punya potensi bisnis dan ekonomi luar biasa sebagai pendapatan negara dari sektor maritim. Dipercaya, operasional Pelabuhan Kuala Tanjung akan mendorong ekspansi bisnis pelayaran atau perkapalan. Kita juga berharaap agar Pelabuhan Kuala Tanjung sejak awal bekerja sama dengan perusahaan pelayaran multinasional atau internasional, jangan sampai terkecoh dengan “perusahaan konsolidator kargo”. Hal lain yang menarik adalah upaya untuk penciptaan produk dan pendirian usaha-usaha industri baru di sekitar pelabuhan, seperti kawasan industri terpadu (KIT) Kuala Tajung, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Sei Mangkei.