Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip.

Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip.

Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip. Kisah pengadaan Helikopter AW-101 sudah lama tidak terdengar lagi. Hal terbaru yang bisa kita ketahui terkait  Korupsi padapengadaan Helikopter AW-101 TNI AU adalah berita tertanggal 30 Marte 2021[1]. Pada pemberitaan itu, KPK digugat Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) untuk menuntaskan penyidikan kasus pengadaan heli AW-101 TNI AU. Gugatan itu dilayangkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 18 Maret 2021 dan mendapat nomor 34/Pid.Pra/2021/PN JKT.SEL. Gugatan itu.

Pertahanan Kedaulatan
Pertahanan Kedaulatan

“Memerintahkan secara hukum termohon (KPK) melakukan proses hukum selanjutnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan terhadap perkara a quo. Berupa segera melakukan berbagai upaya penyelesaian penanganan penyidikan perkara korupsi pengadaan Heli AW-101 dengan Tersangka Irfan Kurnia Saleh. Dan selanjutnya melimpahkan berkas perkara a quo kepada jaksa penuntut umum,” kata Ketua MAKI Boyamin Saiman kepada wartawan, Senin (29/3/2021).

“Kasus korupsi pengadaan Helikopter AgustaWestland (Heli AW-101) berawal dari Presiden Jokowi. Yang menolak pembelian Heli AW 101 sebagai pesawat kepresidenan pada 3 Desember 2015, tetapi kemudian Heli-AW 101 tersebut tetap didatangkan ke Halim.”

Melihat Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip.

Dalam kasus pengadaan Heli AW-101 KPK[2] bekerja sama POM TNI mengungkap kasus tersebut. POM TNI menetapkan lima tersangka, yakni Marsma TNI FA, Letkol WW, Pelda S, Kolonel Kal FTS, dan Marsda SB. KPK sendiri menetapkan satu orang, yakni pemilik PT Diratama Jaya Mandiri Irfan Kurnia Saleh. Dalam proses lelang proyek tersebut, Irfan diduga mengikutsertakan dua perusahaan miliknya. PT Diratama Jaya Mandiri dan PT Karya Cipta Gemilang. Hal tersebut terjadi pada April 2016 lalu.

Sebelum proses lelang, Irfan diduga sudah menandatangani kontrak dengan AW sebagai produsen helikopter dengan nilai kontrak USD 39,3 juta atau sekitar Rp 514 miliar. Saat PT Diratama Jaya Mandiri memenangkan proses lelang pada Juli 2016, Irfan menandatangani kontrak dengan TNI AU senilai Rp 738 miliar.

AgustaWestland, TNI dan Bisnis Koruptif.

Oleh : Dedi Haryadi.

Transaksi bisnis koruptif antara AgustaWestland, Irfan, dan TNI dalam pengadaan helikopter AW 101 memang tidak ideal. Ada tiga hal yang membuat transaksi itu tak ideal.

Pertama, pilihan TNI AU untuk berbisnis pengadaan helikopter dengan AgustaWestland tampaknya pilihan yang keliru. AgustaWestland sebagai produsen peralatan militer atau alat utama sistem persenjataan (alutsista) sebenarnya punya problem integritas. Perusahaan ini pernah terlibat dalam skandal suap penjualan 12 helikopter senilai 466 juta poundsterling kepada militer India. Petinggi militer India diduga menerima suap sampai 10 juta dollar AS.

Baca   Juga   :  Perbatasan Natuna, Agresivitas China dan Kedaulatan Bangsa

Pada 2014, karena skandal ini, anak perusahaan AW di Inggris dan induk perusahaannya di Italia didenda 380.000 poundsterling. Pendapatan perusahaan ini, 7,5 juta euro, juga disita. Direktur eksekutifnya juga terbukti bersalah karena melakukan penyuapan. AW kini juga sedang diselidiki oleh pihak berwenang di Swedia dan Korea Selatan karena tuduhan penyuapan.

Kelanjutan Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip.

Mempertimbangkan rekam jejak AW dalam skandal suap, KPK dan penyidik TNI perlu melihat kemungkinan adanya praktik suap yang melibatkan oknum petinggi TNI dalam pengadaan AW 101. Bisa jadi selain penggelembungan harga—yang ditengarai merugikan keuangan negara sekitar Rp 220 miliar— ada juga unsur suap dalam kasus ini.

Kedua, dalam rapat terbatas (20/7/2016) tentang pengadaan alutsista, Presiden Joko Widodo memberikan arahan kepada para petinggi TNI untuk mengembangkan skema pemerintah ke pemerintah (G to G) dalam pengadaan alutsista. Itu pun jika alutsista tersebut belum bisa diproduksi di dalam negeri. Presiden ingin memangkas peran agen/ broker dalam pengadaan alutsista. Menurut Presiden, keterlibatan agen/broker dalam pengadaan alutsista meningkatkan risiko korupsi di tubuh TNI.

Sayang sekali, TNI mengabaikan arahan Presiden. Dalam transaksi pengadaan helikopter AW 101 itu justru memunculkan Irfan Kurnia Saleh, Presiden Direktur PT Diratama Jaya Mandiri (DJM), yang berperan sebagai  agen/broker. Profil PT DJM tidak banyak diketahui publik sehingga perannya tidak cukup jelas apakah ia berperan sebagai agen atau hanya broker.

Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip.

Agen dan broker dua istilah berbeda. Peran intermediasi agen jauh lebih substantif dan luas ketimbang broker. Peran dan fungsi agen di antaranya (1) menjalin hubungan baik dengan aparat pemerintah; (2) mengeksplorasi peluang bisnis di kawasan yang baru, terutama ketika perusahaan produsen alutsista tidak bisa mempertahankan keberadaannya secara permanen dalam satu wilayah; (3) penetrasi pasar alutsista yang tidak transparan dan sangat ketat persaingannya; (4) membantu mengatasi persoalan logistik; serta (5) persyaratan lisensi dan   bantuan hukum. Karena peran demikian itulah institusi agen  tetap dibutuhkan— terutama oleh negara/perusahaan produsen alutsista—dalam industri dan perdagangan alutsista.

Ketiga, Presiden Jokowi paham betul keterlibatan agen/broker dalam pengadaan alutsista kadang tak terhindarkan. Karena itu, keterlibatan agen/broker dalam pengadaan alutsista per se tidak dengan sendirinya membuat ia kecewa. Yang membuat ia sangat kecewa adalah proses pengadaan helikopter AW 101 itu hampir sepenuhnya dikuasai  agen/broker.

Dari narasi yang disampaikan KPK dan TNI, Irfan yang ditetapkan sebagai tersangka dari kalangan sipil mengatur hampir segalanya. Dimulai dari inisiatif menjalin kontrak pembelian dengan AW, penentuan metode lelang, peserta lelang, pemenang tender, hingga penggelembungan harga helikopter.

Baca   Juga   :  Pertahanan Perbatasan : Menjaga Kepentingan Nasional RI

Merujuk pada praktik terbaik pengadaan alutsista di negara-negara maju, sebutlah Jerman atau Australia yang risiko korupsi militernya rendah,   negaralah  yang seharusnya mengontrol agen/broker dengan kuat dan efektif. Namun, dalam kasus ini yang terjadi sebaliknya, seolah- olah agen/brokerlah  yang mengontrol TNI AU.

Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip Dan Kontrol Negara.

Presiden sebagai Panglima Tertinggi TNI harus segera mengambil keputusan politik guna mengembalikan kontrol pengadaan alutsista  yang kuat dan efektif pada negara. Membiarkan pengadaan alutsista dikontrol agen/broker berpotensi membahayakan kedaulatan negara, keamanan warga, serta keselamatan dan kesejahteraan prajurit. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan.

Pertama, Presiden perlu memerintahkan Kementerian Pertahanan atau Panglima TNI untuk segera mengaudit  pengadaan alutsista di semua angkatan. Jangan-jangan fenomena  agen/ broker  mengontrol pengadaan alutsista juga terjadi di TNI AD dan AL. Ihwal pentingnya audit pengadaan alutsista sudah diartikulasikan di ruang ini dalam artikel bertajuk ”Audit Sistem Pengadaan Alutsista” (Kompas, 11/2/2017).

Kedua, Presiden perlu memerintahkan Kementerian Pertahanan/Panglima TNI untuk mengendalikan perilaku agen/broker dalam pengadaan alutsista.  Ada banyak instrumen antikorupsi yang bisa dikembangkan untuk mengontrol perilaku agen/broker. Misalnya, dengan menerapkan instrumen open contract dalam pengadaan alutsista. Dengan kebijakan ini, kontrak pengadaan alutsista antara PT DJM dan TNI AU sebenarnya harus dibuka kepada publik.

Atau dengan menerapkan instrumen beneficial ownership disclosure sehingga publik mengetahui siapa pemilik/penikmat suatu entitas bisnis. Dengan cara ini, sebenarnya kita bisa tahu identitas pemilik sesungguhnya PT DJM. Kita juga bisa tahu apakah PT DJM itu agen atau broker. Penerapan kedua instrumen itu, open contract dan beneficial ownership disclosure, membuka kesempatan memperkuat dan memperdalam keterlibatan dan kontrol publik dalam pengadaan alutsista.

Ketiga, sebaiknya Kementerian Pertahanan/TNI mengembangkan kerja sama bisnis pengadaan alutsista dengan produsen alutsista yang  berintegritas baik, yaitu produsen alutsista yang punya manajemen risiko korupsi yang baik. Daftar perusahaan alutsista seperti itu sudah tersedia. Dengan cara itu, kepercayaan publik kepada pemerintah, khususnya TNI, dalam menjaga kedaulatan negara, keamanan warga, serta keselamatan dan kesejahteraan prajurit akan menguat. Dedi Haryadi, Deputi Sekjen Transparansi Internasional Indonesia ( Sumber : Kompas.id, 5 September 2017).

Pantauan Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip.

Terungkap Kasus ini kini bergulir di pengadilan. Dalam sidang dakwaan yang digelar Rabu (12/10/2022), jaksa KPK mengungkap bahwa rencana pembelian helikopter ini sudah ada sejak 2015. Sejak Mei 2015, Irfan Kurnia Saleh sudah mempromosikan produk Agusta Westland kepada pejabat TNI AU. Lalu, pada Juli 2015, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) KSAU saat itu, Mohammad Syafei, menanyakan kesanggupan Irfan untuk menghadirkan helikopter AW-101 pada HUT TNI 9 April 2016. Dari situ, Irfan menghubungi Head of Region Southeast Asia Leonardo Helicopter Division Agusta Westland Products, Lorenzo Pariani.

Leonardo pun menyanggupi permintaan tersebut. Irfan lalu memesanan helikopter AW-101 pada 14-15 Oktober 2015. Ia mengirim biaya pembayaran sebesar Rp 13,3 miliar atau 1 juta dollar AS. “Padahal, saat itu belum ada pengadaan Helikopter VVIP di lingkungan TNI AU,” ujar Jaksa KPK Arief Suhermanto dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Rabu.

Jaksa juga mengungkap, helikopter tersebut sedianya merupakan pesanan militer Angkatan Udara pemerintah India. Angkutan dengan Nomor Seri Produksi (MSN) 50248 ini rampung diproduksi pada 2012 dan teregister dengan nomor tanda pendaftaran pesawat udara (aircraft registration number) ZR343 di Inggris. “Helikopter dengan nomor seri produksi MSN 50248 tersebut merupakan helikopter AW-101 641 dengan konfigurasi VVIP yang merupakan pesanan Angkatan Udara India,” ujar Arief.

Kasus Heli AW-101 TNI Dan BisnisKoruptip

Menurut laporan tim ahli Institut Teknologi Bandung (ITB), helikopter tersebut bukan barang baru karena telah dioperasikan sejak November 2012. Pesawat ini memiliki waktu terbang selama 152 jam dan waktu operasi 167.4 dengan 119 pengoperasian. “Sehingga helikopter AW-101 646 yang didatangkan dalam pengadaan helikopter angkut TNI AU Tahun 2016 tersebut bukan merupakan helikopter baru,” ujar Arief.

Sementara itu, surat Komite Pemeriksa Materiel (KPM) kepada Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Nomor B/10/III/2017 tanggal 22 Maret 2017 mengungkap kejanggalan lain. Tim tersebut menemukan 12 kekurangan atau ketidaklengkapan helikopter ini. “Ditemukan kursi sebanyak 24 kursi seharusnya 38 kursi jadi kurang 14 kursi,” kata Arief. Kekurangan lainnya adalah riwayat jam terbang yang tidak lengkap, tidak adanya riwayat log book engine, dokumen komponen tidak memiliki usia, serta tidak ditemukan nomor seri dan nomor produksi pada pesawat.

Kemudian, tidak adanya cargo emergency on the starboard, first aid kit atau pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K), stretcher atau tandu, tail rotor blade lock, jacking bolt joint, dan data swing compass. “Digital map (peta digital) untuk Asia Tenggara (Indonesia) belum diinstal,” tutur Arief.

Kasus Heli AW-101, TNI dan Bisnis Koruptip
Kasus Heli AW-101, TNI dan Bisnis Koruptip

[1] https://tender.pengadaan.com/index.php/news/view/16403/Digugat-kpk-diminta-terus-usut-kasus-korupsi-pengadaan-heli-aw-101-andi-saputra-detiknews

[2] https://www.liputan6.com/news/read/3577704/kpk-kesulitan-tangani-kasus-korupsi-heli-aw-101