Mengenang Perang Marawi, Semangat Separatisme

Mengenang Perang Marawi, Semangat Separatisme

Oleh harmen batubara

Dalam konteks menghadapi separatis, pemerintah menyadari bahwa dialog harus dikedepankan daripada pendekatan militer. ”Kami telah mendekati komunitas sasaran untuk mengubah paradigma perdamaian,” katanya waktu itu. Melalui dialog lintas agama, menghargai keberagaman budaya dan tradisi di Mindanao, pemerintah meski masih terbatasan sudah bisa mulai membangun di wilayah itu. ”Kami bisa membangun jalan untuk membuka isolasi wilayah, dan dengan itu ekonomi bisa berjalan. Kami juga membuka jaringan irigasi,” katanya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dan perubahan dalam pemerintahan. Nampaknya “pola dialog” itu telah terlupakan begitu saja. Bisa dimaklumi, kalau kekerasan kembali mengemuka.

Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme
Papua Kemiskinan Pembiaran & Separatisme

Gempuran terhadap kelompok militan Maute di Marawi terus dilancarkan Angkatan Bersenjata Filipina. Rentetan tembakan senapan mesin dari dua helikopter serbu, Kamis (6/7), menghujani lokasi persembunyian mereka. Warga berharap tekanan yang dilakukan tentara Filipina itu membuahkan hasil optimal. Bagaimanapun, mereka tidak lagi merasa nyaman di tempat pengungsian. Tidak banyak yang dapat dilakukan di tempat pengungsian. “para suami tidak lagi bisa bekerja, sedangkan keluarga membutuhkan uang untuk hidup sehari-hari,” kata Siti Noor, pengungsi yang ditemui di Balai Barangay (setara kelurahan) Bito Buadi Itowa, Kamis, seperti dilaporkan wartawan Kompas, B Josie Susilo Hardianto dan Harry Susilo, dari Marawi, Filipina.

Bantuan yang selama ini diterima dari Kementerian Sosial dan Pembangunan Filipina sangat terbatas, bahkan kurang. Menurut Kepala Barangay Solaiman, setidaknya 150 dari 300-an pengungsi tidak memiliki “kartu hijau”. Pengungsi harus memiliki kartu itu untuk dapat mengakses bantuan pemerintah.Bantuan itu antara lain berupa beras dan alas tidur. Untuk mengatasi persoalan itu, pengungsi sepakat membagi bantuan yang mereka peroleh.Namun, mereka mengatakan masih membutuhkan bantuan lain, seperti selimut, makanan untuk anak-anak dan anak balita, sabun, pakaian, serta barang kebutuhan anak-anak dan perempuan. Mereka memahami, pemerintah juga tengah kesulitan karena harus menghadapi kelompok Maute. Semua kini sudah jadi “bubur”, perang ini tidak beda dengan perang antar saudara; perang sebagai akibat “lemahnya” komunikasi dan tiadanya “Dialog” diantara sesama anak bangsa.

Baca  Juga   :  Pertahanan Perbatasan : Menjaga Kepentingan Nasional RI

Pada Kamis petang, dua helikopter berputar-putar di atas Marawi. Helikopter itu memuntahkan rentetan tembakan dari senapan mesin. Kilatannya membelah langit Marawi yang sore itu tertutup mendung.Sejak pagi hari, serangan udara terus dilakukan helikopter Angkatan Bersenjata Filipina. Warga berharap tekanan itu dapat mengembalikan lagi kehidupan mereka seperti dulu.Tentara menjaga setiap jalan masuk ke Marawi. Untuk mencapai Marawi dari Iligan, kota terdekat yang berjarak sekitar 36 kilometer, dibutuhkan waktu setidaknya 1,5 jam. Selain karena jalannya berkelok-kelok dan mendaki, kendaraan juga kerap dihentikan pasukan keamanan di pos pemeriksaan. Di pos itu, kendaraan harus berhenti, membuka kaca, dan membiarkan tentara atau polisi memeriksa kendaraan dan penumpang di dalamnya. Mereka harus menunjukkan tanda pengenal, seperti kartu tanda penduduk dan paspor. Untuk masuk ke kawasan tertentu, seperti kota Marawi, harus ada izin khusus dari Angkatan Bersenjata Filipina.

BACA JUGA : PERAN TERITORIAL & KESEJAHTERAAN RAKYAT

Pendekatan Dialog kultural

Dari berbagai pengalaman masa lalu, pendekatan militer yang dilakukan oleh pemerintah Filipina selama belasan tahun justru tidak bisa menyelesaikan masalah. Di Mindanao ada berbagai pihak yang selama ini tidak pernah didengarkan. Disana ada separatis Moro National Liberation Front (MNLF) yang nasionalis, Moro Islamic Liberation Front (MILF) yang berbasis agama, dan National People Army (NPA) yang berhaluan komunis dan  kini ada Kelompok Maute yang ber affiliasi dengan ISIS. Tetapi semuanya itu bertitik tolak dari “rasa ketidak adilan” yang dialami oleh warga muslim. Pada tahun 2010, Presiden Gloria Macapagal-Arroyo menegaskan, Filipina tidak lagi melulu mengandalkan pendekatan militer dalam menghadapi kelompok separatis di Mindanao, Filipina Selatan. Pemerintahannya akan lebih mengedepankan UPAYA DIALOG sebagai kunci dari proses menuju perdamaian. Arroyo mengungkapkan hal itu saat membuka pertemuan para menteri luar negeri gerakan nonblok (NAM) untuk membangun dialog dan kerja sama untuk perdamaian dan pembangunan di Manila, Rabu (17/3/2010). Pertemuan diikuti 219 delegasi dari sekitar 105 negara anggota NAM, dari total 118 negara anggota.

Menurut Arroyo waktu itu, kunci dalam proses perdamaian serta demi terciptanya pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan adalah dialog. Dalam konteks menghadapi separatis, pemerintah menyadari bahwa dialog harus dikedepankan daripada pendekatan militer. ”Kami telah mendekati komunitas sasaran untuk mengubah paradigma perdamaian,” katanya. Melalui dialog lintas agama, menghargai keberagaman budaya dan tradisi di Mindanao, pemerintah sudah bisa mulai membangun di wilayah itu. ”Kami bisa membangun jalan untuk membuka isolasi wilayah, dan dengan itu ekonomi bisa berjalan. Kami juga membuka jaringan irigasi,” katanya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dan perubahan dalam pemerintahan. Nampaknya “POLA DIALOG” itu telah terlupakan begitu saja. Bisa dimaklumi, kalau kekerasan kembali mengemuka.

Perang Saudara Tidak akan Pernah Selesai

Indonesia dan Filipina sebenarnya punya pengalaman yang sama. Yakni sama-sama kesulitan dalam menghadapi “separatis” dari saudara sebangsa.  Ketika Indonesia melakukan “dialog” dengan “Aceh Merdeka”, Filipina juga mengirimkan pasukan penjaga perdamaiannya.  Begitu juga dengan Indonesia. Indonesia  juga mengirimkan misi militer untuk memantau proses perdamaian di Mindanao antara Pemerintah Filipina dan MILF yang berpusat di Cotabato, Mindanao. Jerson Liardo, rohaniwan asal Cotabato, mengatakan, keberadaan Indonesia dianggap sebagai kakak oleh warga Filipina dari berbagai komunitas, termasuk Kristiani dan Muslim. Misi yang disebut IMT tersebut terus berlanjut hingga kini. Saat ini Misi IMT dipimpin Kolonel (Pasukan) Deni Ramdani yang berkedudukan di kota General Santos, Mindanao, membawahi beberapa perwira TNI di sejumlah kota di Mindanao, termasuk Ilagan, dekat kota Marawi.

Seusai perundingan pengamanan Laut Sulu, akhir 2016, Kepala Badan Intelijen Strategis Nasional (Bainstranas) Kementerian Pertahanan Mayjen Paryanto mengatakan, Indonesia siap membantu Filipina membangun perdamaian di Filipina selatan, termasuk kerja sama ekonomi antara Mindanao dengan Kalimantan Utara dan Sulawesi Utara. Kamar Dagang Davao pun diundang hadir ke Jakarta oleh Kemhan dan bertemu dengan mitra dari Sulut dan Kaltara. Semua upaya itu kini seolah tinggal kenangan.

Baca  Juga   :  Papua Kemiskinan Pembiaran dan Separatisme

Kini, situasi memanas dengan pertempuran di kota Marawi oleh faksi teroris Maute yang berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di Timur Tengah. Sempat diwacanakan agar TNI terlibat dalam mengirimkan pasukan ke Marawi, membantu militer Filipina. Tetapi jelas upaya seperti itu, kedua negara pasti harus mengacu kepada UU Dasarnya masing-masing. Indonesia tidak akan mengirimkan militernya ke negara lain, kalau tidak ada izin dari DPR. Begitu juga dengan UU Dasar Filipina, mereka tidak mungkin bisa menerima kedatangan ‘militer” negara lain meski negara tetangga sekalipun harus terlebih dahulu ada izin dari DPR nya juga.

Suhardi, mantan dosen Mindanao State University di Marawi dan sekarang menjadi Wakil Direktur Pascasarjana Universitas Bhayangkara, menjelaskan peliknya fragmentasi antar faksi di Filipina, termasuk di Mindanao. MNLF pimpinan Nur Misuari pecah dalam berbagai faksi, termasuk Abu Sayyaf Group. MILF pimpinan Haji Murad Ibrahim pun memiliki sempalan seperti BIFF yang dikhawatirkan beraliansi dengan Maute. Demikian pula faksi-faksi lain.

Kita harus mengingat kembali apa yang pernah dikatakan  Arroyo waktu itu, kunci dalam proses perdamaian serta demi terciptanya pembangunan, keamanan, dan kesejahteraan adalah DIALOG. Dalam konteks menghadapi separatis, pemerintah menyadari bahwa dialog harus dikedepankan daripada pendekatan militer. ”Kami telah mendekati komunitas sasaran untuk mengubah paradigma perdamaian,” katanya waktu itu. Melalui dialog lintas agama, menghargai keberagaman budaya dan tradisi di Mindanao, pemerintah meski masih terbatasan sudah bisa mulai membangun di wilayah itu. ”Kami bisa membangun jalan untuk membuka isolasi wilayah, dan dengan itu ekonomi bisa berjalan. Kami juga membuka jaringan irigasi,” katanya. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu, dan perubahan dalam pemerintahan. Nampaknya “pola dialog” itu telah terlupakan begitu saja. Bisa dimaklumi, kalau kekerasan kembali mengemuka. ( Sumber : Kompas.id, Dll)