Indonesia Butuh Badan Pengelola Wilayah Udara Nasional

Indonesia Butuh Badan Pengelola Wilayah Udara Nasional

Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU), Marsekal Fadjar Prasetyo[1], mengungkapkan “Di wilayah timur Indonesia terdapat ratusan air street yang belum sepenuhnya dikelola pemerintah,” ujar Fadjar pada Seminar Nasional Sinergitas Pengelolaan Ruang Udara Nasional, yang disiarkan secara daring, Rabu (2/6/2021). Menurut Fajar, ratusan jalur udara tersebut masih sering secara aktif dilalui penerbangan perintis. Dia menyebut, aktivitas tersebut hingga kini belum dapat diawasi secara komprehensif. Dengan belum adanya pengelolaan terhadap ratusan jalur tersebut, maka terdapat potensi jalur tersebut digunakan untuk kegiatan ilegal seperti penyelundupan narkoba, miras, bahkan manusia.

Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan
Pertahanan Kedaulatan Di Perbatasan

Fadjar mengungkapkan, dua tahun ke belakang ini pelanggaran di wilayah ruang udara nasional masih banyak terjadi. Pelanggaran itu, kata dia, dilakukan baik oleh maskapai sipil maupun pesawat militer asing. Dia kemudian memberi contoh, pada 2018 dan 2019 TNI AU pernah melaksanakan intervensi terhadap penerbangan sipil yang terbukti melintas di wilayah udara bagian Barat Indonesia. Namun, untuk melakukan penindakan berikutnya kala itu belum ada payung hukum dan wewenang yang lebih jelas. Fadjar juga mengatakan, dalam setahun terakhir ini pun terjadi peningkatan cukup signifikan terkait aktivitas penerbangan pesawat militer asing.

Dia menyebut, hal tersebut tidak lepas dari meningkatnya eskalasi di Laut China Selatan. Untuk itu, Fadjar menilai Indonesia memerlukan badan pengelola ruang udara nasional yang melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait. “Saat ini diperlukan adanya sebuah badan yang mewadahi seluruh stakeholder yang membutuhkan penggunaan ruang udara untuk kemudian mengelola ruang udara, mulai dari level strategis hingga level teknis,” kata dia. Untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas penegakkan kedaulatan di wilayah udara nasional itu, kata dia, Indonesia memerlukan adanya pengaturan pengelolaan wilayah udara yang menampung kepentingan bersama.

Dirgahayu Angkatan Udara

Oleh Chappy Hakim

Presiden Joko Widodo menegaskan akan mengambil alih pelayanan ruang udara atau flight information region (FIR) yang selama ini dikuasai Pemerintah Singapura. Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi saat menerima kunjungan kehormatan Wakil Perdana Menteri merangkap Menteri Koordinator Keamanan Nasional Republik Singapura Teo Chee Hean, di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa. (Kompas.com, 24/11/2015). Instruksi Presiden tersebut telah disampaikan kepada para pejabat terkait sejak September 2015.

Instruksi yang merefleksikan dengan nyata “visi” seorang presiden yang memimpin sebuah negara besar. Hingga kini, April 2017, belum terdengar lagi bagaimana perkembangan dari instruksi Presiden tersebut. Dalam menangani masalah pengelolaan wilayah udara kedaulatan negara, Indonesia  memang menghadapi cukup banyak  persoalan yang menunggu segera diselesaikan.

Pekerjaan rumah

Pekerjaan rumah di bidang pengelolaan potensi yang dimiliki negara di udara mencakup beberapa aspek penting. Kemampuan dan atau potensi yang dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) di bidang keudaraan secara total dikenal dengan terminologi National Air Power. Kekuatan nasional di udara yang salah satu penjurunya secara universal berada di Angkatan Udara. Harus diakui perhatian masyarakat luas pada umumnya terhadap masalah keudaraan masih rendah. Pengembangan minat dirgantara belum berjalan baik. Bahkan, jika kita berbicara tentang kedaulatan negara di udara, Indonesia belum memiliki dasar hukum sebagai pijakan yang seharusnya tercantum dengan jelas dalam konstitusinya.

Walau sudah menjalani sekian kali amandemen, kedaulatan negara Indonesia di udara masih belum tercantum di UUD 1945. Di samping masalah FIR Singapura, dalam bidang industri penerbangan baru-baru ini kita melihat masalah pembelian helikopter Agusta yang mengundang pertanyaan mengapa tak menggunakan produk PT Dirgantara Indonesia (DI).

Baca Juga   :  Pertahanan Perbatasan, Strategi Merangkul Negara Tetangga

Belakangan ini PT DI  menghadapi beberapa permasalahan serius yang juga harus segera diselesaikan. Setelah terakhir PT DI  sukses memproduksi CN-235 yang sudah mendapatkan ruang pemasaran cukup baik di luar negeri, hingga kini tidak terdengar lagi produk pesawat terbang yang menjadi produk unggulan di tingkat global. Bahkan, pesawat CN-235 sendiri sudah nyaris tidak terlihat terbang lagi di negeri pembuatnya. Peralatan yang dimiliki dan SDM yang sudah menuntut kaderisasi seirama dengan gejolak persaingan ketat serta kemajuan ilmu dan teknologi di tingkat industri penerbangan dunia, harus menjadi perhatian utama.

Perkembangan lain di bidang keudaraan adalah upaya Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) yang terus-menerus meningkatkan keamanan dan keselamatan terbang. Ke depan, ICAO sudah, sedang, dan akan membagi otoritas penerbangan sipil yang tidak lagi mengacu pada wilayah udara kedaulatan sebuah negara, tetapi akan mengalokasikannya berdasarkan kawasan.

Di Amerika sudah berjalan dan mulai berlaku otoritas bagi kawasan Amerika, demikian pula dengan Eropa yang dikenal dengan Euro Control. Berikutnya adalah kawasan ASEAN dan Pasifik. Dengan perkembangan ini, jika kita tidak berusaha meningkatkan kemampuan kita di bidang pengelolaan wilayah udara dalam peran sebagai otoritas penerbangan sipil pada aspek keamanan dan keselamatan penerbangan, tidak mustahil pengelolaan wilayah udara kita akan diserahkan ke negara lain.

Sebuah tantangan yang sangat berat yang harus dihadapi dalam waktu dekat mendatang. Sejalan dengan itu, sebagai konsekuensi dari peristiwa 911 di Amerika pada 2001, banyak negara sekarang sudah memadukan pengaturan lalu lintas penerbangan militer dengan penerbangan sipil komersialnya. Sebuah upaya yang dilihat sebagai tindakan antisipasi serangan teroris yang ternyata dapat dengan mudah melakukan serangan menggunakan pesawat terbang sipil komersial.

Institusi keudaraan

Di Indonesia, walau sudah dilakukan banyak koordinasi dalam pengelolaan terpadu alur dari  lalu lintas penerbangan sipil dan militernya, belum terlihat konsep yang jelas tentang civil-military air traffic flow management system seperti yang sudah dilakukan beberapa negara besar dengan kepadatan lalu lintas penerbangannya. Meneliti beberapa masalah penting dalam pengelolaan udara nasional berkait dengan manajemen kekuatan nasional di udara (National Air Power), maka dengan mudah dapat dipahami bahwa semua itu memerlukan kerja sama dan koordinasi lintas sektoral. Lintas sektoral dalam arti lintas kepentingan dan lintas institusi dan atau lintas kementerian.

Urusan FIR Singapura tidak dapat diselesaikan hanya oleh Kementerian Perhubungan saja tanpa keikutsertaan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pertahanan, misalnya. Demikian pula banyak hal lainnya seperti mencantumkan wilayah udara kita sebagai wilayah kedaulatan dalam UUD 1945 akan sulit jika hanya mengandalkan kepada salah satu instansi pemerintah.

Pengaturan lalu lintas penerbangan sipil dan militer serta pengelolaan fasilitas infrastruktur penunjang keselamatan penerbangan dipastikan melibatkan banyak institusi pemerintah. Angkatan Udara RI yang akan memperingati Hari Angkatan Udara yang ke-71 pada 9 April 2017, walau berperan sebagai poros utama dalam pembinaan kekuatan nasional di udara, tidak mungkin menanganinya seorang diri. Dalam aspek inilah, maka sudah saatnya kita memikirkan ulang tentang sebuah institusi pemerintah di tingkat pusat yang dapat berperan dalam menangani persoalan keudaraan yang sangat kompleks ini.

Baca  Juga   :  Bersinergi Menjaga Kedaulatan Negara di Papua

Dulu kita mengenal Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik  Indonesia (Depanri), yang sayangnya sudah dibubarkan beberapa waktu yang lalu. Apabila memang sulit untuk dapat menghadirkan kembali Depanri, patut dipertimbangkan pemikiran untuk membentuk Kementerian Koordinator Penerbangan dan Dirgantara. Sebuah institusi yang dapat mewadahi dalam mengelola permasalahan keudaraan yang sangat kompleks dan lintas sektoral kiranya sudah menjadi sebuah kebutuhan jika kita hendak menyelesaikan sekian banyak pekerjaan rumah di bidang pengelolaan potensi nasional di bidang keudaraan secara komprehensif dan integral. Instruksi Presiden tentang FIR Singapura, sebagai sebuah visi yang brilian, akan sangat sulit diselesaikan jika tidak ada sebuah institusi yang berperan sebagai koordinator yang mengawalnya menuju penyelesaian yang baik.

Visi yang tanpa  aksi adalah ibarat bermimpi di siang bolong dan aksi yang tanpa visi hanyalah akan membuang waktu percuma. Dibutuhkan visi yang disertai dengan aksi jika kita hendak mewujudkan perubahan. Action without vision is only passing time, vision without action is merely day dreaming, but vision with action can change the world (Nelson Mandela). Dirgahayu Angkatan Udara! Chappy Hakim, Marsekal Purn, KSAU RI 2002-2005 ( Sumber : Harian Kompas, 8 April 2017)

[1] https://www.republika.co.id/berita/qu2rk3384/ksau-indonesia-perlu-badan-pengelola-ruang-udara-nasional