Pertahanan : Lumpuhkan OPM di Wilayahnya Sendiri

Pertahanan : Lumpuhkan OPM di Wilayahnya Sendiri

Oleh Harmen Batubara

Belakangan ini sering kita baca berita tentang prajurit TNI jadi Korban KKB atau OPM Papua. Sepertinya para prajurit itu, nggak punya rasa “sedang di medan siaga”. Apakah mereka tidak dibekali dengan kemampuan tempur atau bertahan? Begitu yang ada dalam pikiran kita. Tapi bagi penulis, hal seperti itu wajar saja terjadi, apalagi di Papua. Pengalaman saya bertugas bertahun tahun di perbatasan Papua-PNG, saya merasakan Papua itu memang “aman”. Sungguh aman, aman yang sebenarnya. Hanya kalau para OPM itu dapat tekanan dari atasannya, maka mereka melakukan sesuatu yang tidak terperhitungkan sebelumnya. Pokoknya serang saja, tembak saja apakah itu warga atau prajurit pokoknya serang saja dan harus ada yang mati. Kini bertambah lagi, bakar saja. Apa saja yang ada. Pokoknya harus ada yang terbakar. Pada saat-saat seperti ini, khususnya ketika ada dinamika tetapi tidak “tercium” oleh prajurit di lapangan maka jatuhlah korban. Kan ada intelijen? Disinilah persoalannya. Intelijen itu sangat “terbatas” mereka adanya dimana dan jaringannya juga “kurang” terpelihara. Idealnya itu, begitu ada “dinamika” para prajurit TNI itu harus bangkit. Lakukan gerakan penekanan, “menyerang” isolasi jalanan para OPM dan kejar hingga ke Markasnya. Pasti hasilnya Beda.

Karena itu kepekaan akan adanya hari-hari penting bagi OPM, betul-betul harus dimaknai. Misalnya tanggal 1 Desember. Tanggal 1 Desember bagi orang Papua OPM  adalah hari penting yang terus diperingati setiap tahun. Momen bersejarah 1 Desember 1961 untuk kali pertama Parlemen Papua Barat, pemerintahan Belanda, mengibarkan bendera Bintang Kejora. Oleh OPM diartikan sebagai simbol pengakuan status berdirinya negara Papua Barat. Padahal Nicolaas Jouwe  sang pembuat bendera Bintang Kejora itu dan merupakan  salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) Bentukan Belanda malah memilih kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi, menjadi bagian dari NKRI.

Nicolaas Jouwe
Nicolaas Jouwe

Pemerintah Indonesia sudah bisa membaca bahwa Desember akan dimanfaatkan oleh OPM untuk berbuat sesuatu demi memperlihatkan eksistensi mereka. Karena itu Pemerintah tidak akan mau melayaninya. Tetapi menjaga dengan ketat posisi posisi tertentu yang akan dipergunakan oleh OPM untuk menjalankan aksinya. Para warga juga menyerukan agar OPM tidak menebar kerusuhan. Sebab yang rugi adalah rugi bersama.  Hal itu bisa kita dengar dari Kapolda Papua Irjen Pol Paulus Waterpaw, ia  mengatakan, pemerintah Papua dan Papua Barat tidak mengizinkan adanya kegiatan OPM, termasuk perayaan HUT OPM, karena hal itu menganggu kedaulatan Republik Indonesia, Dia menegaskan pihaknya tidak akan mentolelir adanya aktivitas yang berlawanan dengan kepentingan negara. “Dan akan menindak tegas kalau ada kerumunan massa dalam perayaan HUT 1 Desember, sebab situasinya masih dalam masa pandemi covid 19,” ujar Paulus dalam keterangan tertulisnya, Kamis (19/11/2020).

Sebenarnya sudah banyak Tokok OPM yang kembali ke pangkuan NKRI. Tapi yang cukup phenomenal adalah Nicolaas Jouwe dan Nick Messet. Saya lalu ingat kembali   Nicolaas Jouwe seperti yang dituliskan Muridan Widjojo[1] dalam hubungan pertemanannya dengan Nicolaas Jouwe. Cerita tentang sejarah hidupnya dan sejarah Papua. Sesuai penuturannya, Nicolaas-lah yang membuat bendera Bintang Kejora yang pertama kali dikibarkan pada 1 Desember 1961. Pada saat itu dia adalah salah satu anggota Dewan New Guinea (Nieuw Guinea Raad) yang juga menurutnya diselenggarakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan dipilih secara demokratis di seluruh wilayah Papua. Peristiwa pada1 Desember 1961 inilah yang seringkali menjadi dasar klaim pemimpin OPM Papua sekarang bahwa negara Papua pernah ada tetapi telah dirampas oleh konspirasi internasional Indonesia, Amerika dan Belanda.

Sejak 1960-an Nicolaas berjuang agar hak-hak orang Papua untuk menentukan nasibnya sendiri sebagai bangsa yang merdeka dihormati. Perjuangan itu sudah dilakukannya hingga 1969. Menurut Nicolaas, setelah 2/3 negara anggota dalam Sidang Umum PBB menerima hasil Pepera 1969, tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Suka atau tidak suka, bangsa Papua telah menjadi bagian resmi dari negara-bangsa Indonesia. Baginya sekarang ini, dia harus menerima secara realistis keadaan ini dan menghabiskan sisa hidupnya untuk membantu pemerintah Indonesia menyejahterakan rakyat Papua. Nicolaas Jouwe pindah dari Delft ke Jayapura. Dia kala itu sedang semangat-semangatnya. Dia yakin bisa menjadi seorang tua yang dapat membantu Gubernur atau pemerintah Indonesia pada umumnya untuk menyukseskan pembangunan, terutama kesejahteraan orang asli Papua di dalam kerangka Otonomi Khusus..

Inilah  Sosok Nicolaas  Nick Messet

Masih ingat bagaimana Nick Messet menghalangi pertemuan Maridan dan Nicolaas Jouwe saat akan menghadap Presiden SBY di Hotel Niko Jkt pada bulan maret 2009?  Ya hal itu jugalah yang membuat saya menuliskan tulisan ini. Kedua tokoh OPM  itu setelah berjuang 40-50 tahun, tetapi  di hari tuanya justeru bergabung dengan NKRI. Saya percaya sebentar lagi Benny Wenda juga akan melkukan hal yang sama. Apa yang ingin saya tuliskan adalah. Kenapa mereka tidak berjuang membangun Papua dalam bingkai NKRI sejak muda? Karena warga Asli Papua sangat mendambakan pemimpin yang bisa membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik.

Nick-Messet
Nick-Messet

Kita kembali ke Messet. Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka dan menjadi warga negara Swedia. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982.

Kelebihannya sebagai pilot tak membuatnya bangga dan status sebagai anak pejabat tak membuat Nick Messet betah bersama Indonesia. Setelah kembali ke NKRI, Nick Messet ditugasi membangun hubungan antara Indonesia dan negara-negara di Pasifik.Peran Nick Messet dahulu sebagai Menlu OPM dalam merangkul negara-negara di kawasan Pasifik kini diminta  untuk mendukung kepentingan diplomasi Indonesia. Tak heran sejak pertengahan 2018, Nick Messet ditetapkan sebagai Konsul Kehormatan dari Indonesia untuk Nauru.

Selama ini negara-negara di Pasifik seperti Nauru, Kepulauan Marshall, Solomon, Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta Papua Nugini dipandang menjadi target untuk meraih dukungan bagi ide kemerdekaan Papua melalui referendum karena kesamaan ras yakni Melanesia. Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, Nick Messet melontarkan alasannya kembali ke NKRI.

Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an ketika dia merasakan kehadiran orang Indonesia di wilayah itu adalah sebuah kesalahan.”Saya tinggalkan Papua untuk pergi keluar negeri selama lebih dari 40 tahun tapi hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang saya minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Mereka selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Lalu saya kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena saya lihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya itu harus kerjasama dengan Indonesia untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial Papua,” kata Nicholas Messet.

Messet tahun lalu  ikut mendampingi Wakil Presiden Yusuf Kalla dalam Sidang Majelis Umum ke-74 PBB tahun 2019, terkait masalah Papua di PBB yang berlangsung dari tanggal 24 September 2019. Menurutnya kini peraturan dan tata aturan Sidang sudah semakin baik dan tertib. “Saya kira ini bagus sekali, peraturan PBB cukup ketat bagi setiap peserta Sidang Umum PBB,” ungkap Messet.Bahkan, lanjut Messet, dirinya yang menjadi Konsulat Kehormatan Negara Nauru di Jakarta tidak diperbolehkan masuk. “Saya sendiri juga tidak diperbolehkan masuk ikut delegasi Nauru, meskipun saya Konsulat kehormatan mereka di Indonesia. Saya bisa masuk melalui delegasi Indonesia kalau diperlukan,” ujar Messet.

Messet menambahkan, saat itu dirinya berada di ruang sidang umum ke-74 PBB melalui delegasi RI.“ Pak Roy Sumirat menghubungi kami dan menyampaikan pesan dari bu Menteri Luar Negeri RI agar Pak Nick, Pak John dan Pak Manufandu dapat mendampingi Wapres RI masuk duduk resmi dalam SU PBB dan ikut mendengarkan pidato Wapres RI,” kata Messet penuh haru. Alasannya, hal tersebut bagi dirinya merupakan sejarah, orang asli Papua mendampingi Wapres RI mengikuti sidang umum PBB.”Ini baru pertama kali dalam sejarah RI bahwa ada tiga orang Papua yang mendampingi Wapres RI di sidang PBB,”ujarnya.

Nick Messet adalah mantan Menlu Organisasi Papua Merdeka yang lama bermukim di Eropa.Ia bahkan sempat membuka perwakilan OPM di Senegal dan Swedia. Namun, ia kemudian kembali kepangkuan RI. Sebelumnya Nick Messet mengatakan, situasi SU PBB terkait nasib Papua termasuk apa yang terjadi belakangan ini tidak banyak negara yang menanggapi. Negara-negara peserta Sidang Umum PBB mengikuti perkembangan situasi dan kondisi Papua melalui media.  Setiap negara punya persoalannya masing-masing yang harus mendapat perhatian dari SU PBB dan waktu untuk bicara di atas mimbar SU PBB juga sangat terbatas hanya 10 menit. Sehingga, banyak negara besar tidak ingin mencampuri negara lain. Mereka lebih fokus menyampaikan persoalan di negaranya sendiri.

“They can only say, Sorry and have sympathi to the Papuans! Apart from that, nothing else (Mereka hanya bisa berkata, Maaf dan bersimpati pada orang Papua! Selain itu, tidak ada yang lain),” katanya. Menurut dia, hanya negara-negara kecil yang selalu ingin mengangkat permasalahan Papua di Sidang Umum PBB. “Hanya negara-negara kecil di Pacific yang selalu mau angkat soal Papua di SU PBB tahun ganti tahun. Tetapi tidak pernah ada perubahan, jalan ditempat terus,” kata Nick. Nicolas Messet yakin, pada saatnya negara-negara tersebut bakal bosan membawa isu Papua dalam SU PBB.

“Negara-negara seperti, Vanuatu, Palau, Marshall Island yang selalu mengangkat isu Papua di dalam SU PBB pasti satu waktu akan jadi bosan sendiri. Soalnya topik yang mereka bawakan sudah kadaluarsa untuk negara-negara anggota PBB.  Bosan untuk mendengar, The same old story again and again, Self determination and freedom for West Papua (Kisah lama yang sama berulang kali, Penentuan nasib sendiri dan kebebasan untuk Papua Barat),” kata Meset.

Papua Sudah Final dan Bagian Dari NKRI

Bagi Indonesia, Papua adalah bagian utuh dari NKRI. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memutuskan Papua merupakan bagian dari Indonesia yang tidak bisa diganggu gugat. Bagi NKRI itu sudah harga mati. Tidak diperlukan Dialog untuk masalah itu. Soal bagaimana membangun Papua agar hasilnya bisa dinikmati warga Papua, hal itulah yang perlu terus dicarikan solusinya. Hal itulah yang perlu didialogkan. Sebagai langkah “mengingatkan kembali” maka pada 10 September 2019 Wakil Tetap RI untuk PBB di New York, Dian Triansyah Djani bertemu dengan Sekjen PBB, António Guterres. Hasil pertemuan mengingatkan kembali bahwa :PBB mendukung Kedaulatan dan Integritas wilayah Indonesia dan Isu Kedaulatan bukan suatu pertanyaan bagi PBB. Status Final Papua di dalam Indonesia berdasarkan UTI POSSIDETI IURIS, NY Agreement 1962, Act of Free Choice 1969, dan resolusi GA PBB 2504 (XXIV) 1969.

Baca Juga  :  Lumpuhkan Pusat Kekuatan OPM

Dari awalnya, Belanda memang memainkan politik licik setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada 1945. Belanda tak mau melepaskan, bahkan membicarakan Papua pun tidak. Papua dulu bernama Irian Barat. Pada Perjanjian Meja Bundar diselenggarakan di Den Haag, 23 Agustus-2 November 1949, Belanda tetap menolak bicara integrasi Irian Barat ke NKRI. Berbagai ikhtiar dilakukan, tetapi Belanda tetap tak mau menyerahkan Irian Barat ke Indonesia. Pada waktu itu, presiden Soekarno langsung memerintahkan Soeharto, melalui Operasi Mandala, untuk merebut Irian Barat secara militer pada 1961.

Melihat perkembangan politik yang selalu memanas itu, AS[2] memfasilitasi pertemuan antara Indonesia dan Belanda. Pertemuan berlangsung 15 Agustus 1962 di New York. Karena itu, hasil pertemuan dinamai Perjanjian New York. Isinya, antara lain, peralihan kekuasaan Belanda mengenai Irian Barat kepada PBB melalui organnya, United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA). Dalam perjanjian itu disebutkan bahwa akan dilaksanakan Pepera, penentuan pendapat rakyat (act of free choice). Tujuannya adalah menanyai rakyat Irian Barat: apakah mereka mau atau tidak masuk menjadi bagian integral dari Indonesia.

Pepera berlangsung 14 Juli hingga 4 Agustus 1969. Hasilnya: rakyat Irian Barat memilih menjadi bagian integral NKRI. Hasil jajak pendapat dibawa langsung dan dilaporkan oleh utusan khusus Sekjen PBB, Ortis Sanz, ke Sidang Umum PBB, November 1969. Majelis Umum PBB menerima hasil itu sebagai implementasi Perjanjian New York.

Sekarang ini ada yang menggugat metode jajak pendapat itu karena dalam Perjanjian New York disebutkan jajak pendapat dilakukan dengan sistem one man one vote. Pelaksanaannya ternyata menggunakan sistem perwakilan. Masalahnya, pada 1969, di Irian Barat medannya sangat berat untuk melaksanakan sistem ONE MAN ONE VOTE. Bahkan sampai sekarang (tahun 2020) sistem pemilihan di Papua juga menggunakan sisten Noken[3]. Dalam sistem noken, masing-masing anggota suatu suku di Papua mempercayakan atau mewakilkan hak pilih mereka kepada kepada sukunya. Secara de facto, PBB tak mempersoalkan perubahan sistem jajak pendapat yang dipakai itu. Dengan penerimaan PBB atas hasil jajak pendapat tersebut, Irian Barat, yang berubah menjadi Papua, lalu mekar menjadi Papua Barat, sangat sah menjadi wilayah kedaulatan Republik Indonesia. Maka, seyogianya tidak ada lagi ikhtiar hukum apa pun yang boleh menggugatnya.

Melawan OPM serta Seluruh Kekuatannya

Pelan tapi pasti, pandangan berbagai pihak di Papua terhadap OPM ini sudah mulai punya persepsi yang sama. Bahwa OPM sebenarnya adalah gerakan yang dilakukan oleh pihak asing yang memanfaatkan warga Papua Asli. Karena itu khusus untuk kegiatan memperingati HUT OPM yang jatuh 1 Desember 2019, Kapolda Papua menegaskan sudah sepakat dengan Pemprov Papua untuk tidak mengizinkan seluruh kegiatan dengan alasan apapun. Apapun kegiatan yang dilakukan termasuk ibadah dalam rangka memperingati 1 Desember tidak akan diizinkan karena pasti akan disusupi dan menjadi pemicu, mengingat ada kelompok tertentu yang ingin membenturkan warga dengan aparat keamanan.

“Berdasarkan pengalaman, kami ingin menjaga keamanan dengan tidak memberikan ruang untuk melakukan kegiatan memperingati 1 Desember,” kata Waterpauw waktu itu. Waterpauw menegaskan, tidak ada penambahan pasukan karena personel yang dikerahkan jelang HUT OPM. Personel tersebut sudah berada sejak beberapa bulan lalu. Sementara itu Kapolri Jenderal Idham Azis dan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto bakal bertolak ke Papua. Dalam kunjungannya, Kapolri dan Panglima bakal memantau kondisi keamanan sejumlah wilayah di Papua, salah satunya Kota Wamena, yang sempat dilanda kerusuhan. “Kunjungan kerja, beliau cek Wamena,” ujar Kabid Humas Polda Papua Kombes AM Kamal Selasa (26/11/2019).

Kamal menyatakan fokus kunjungan tersebut terkait pengamanan Hari Raya Natal dan Tahun Baru. “Jelang bulan suci Natal dan Tahun Baru,” kata Kamal. Sementara itu, Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Raden Prabowo Argo Yuwono mengatakan kepolisian kini tengah mengindentifikasi sejumlah daerah rawan jelang peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Organisasi Papua Merdeka (HUT OPM) jatuh pada 1 Desember 2019. “Tentunya nanti dari intelijen yang masih dikerjakan seperti apa, tetap kita akan bersumber dari berita intelijen yang sedang kami buat dari lapangan. Seperti apa, kerawanannya daerah mana, apa kerawanannya, kerawanannya sepeti apa masih diindentifikasi oleh intelijen,” kata Argo di Cafe MM Jiuce, Jakarta Selatan, Jumat (22/11/2019). Meski begitu, saat ini pihaknya sudah mulai melakukan beberapa upaya jelang HUT OPM. Salah satu pendekatannya yakni dengan cara yang preventif.

Kita paham bahwa gerakan separatism itu adalah gerakan gerillia, artinya mereka tidak mempunyai suatu Pusat Komando secara fisik. Tetapi mereka punya wilayah inti yang jadi Pusat Koamdo “virtual” artinya, mereka tidak akan pernah meninggalkah wilayah itu. Nah pada saat saat seperti ini ada baiknya TNI justeru perlu mendatangi wilayah basis-basis OPM itu. Selama ini kita mengetahui wilayah seperti itu adalah di wilawah Wamena, Kabupaten Jayawijaya. Kita percaya pihak TNI terus berusaha mendeteksi pergerakan kelompok kriminal bersenjata ( KKB) di wilayah itu. Demikian juga di Wamena, pasti TNI melakukan pendektesian untuk kelompok-kelompok di sekitar pegunungan tengah, terutama dari Kodap III Ndugama dan Kodap II Muaragame, TNI pasti tahu wilayah mana yang kemungkinannya akan bergerak.  Hal itulah yang juga disampaikan Komandan Kodim 1702/Jayawijaya Letkol Inf Candra Dianto,  Senin (18/11/2019) waktu itu. Candra mengakui, ada informasi yang menyebutkan bila beberapa KKB di wilayah Pegunungan Tengah Papua ingin bergerak ke wilayah Tembagapura, Kabupaten Mimika. Menurut dia, rencana tersebut harus diwaspadai karena KKB akan menempuh perjalanan jauh dengan berjalan kaki sehingga pergerakannya harus diantisipasi.

Baca Pula  :  KoopsSus Separatisme,NKRI Harga Mati

 “Termasuk juga bila mereka akan bergerak ke Timika, pasti mereka akan menggunakan rute-rute klasik dengan berjalan kaki melalui Puncak Jaya dan Tolikara,”. Namun, Candra mengklaim bila TNI-Polri telah mengetahui posisi kelompok Egianus Kogoya yang selama ini berada di Nduga. “Kami akan melakukan pendektesian bersama masyarakat yang selalu memberikan informasi. Mungkin posisinya kelompok Egianus Kogoya sedang ada kedukaan di Kuyawage, Kabupaten Lanny Jaya,” tutur dia. Selain melakukan deteksi pergerakan KKB, TNI juga akan melakukan pendekatan ke masyarakat dengan menggelar berbagai aktivitas. Menurut Candra, sudah ada beberapa rencana yang bertujuan untuk mempererat hubungan antara aparat dengan masyarakat. “Kami juga akan lakukan bina teritorial (Binter) secara terpadu. Kami akan lakukan kegiatan untuk masyarakat, seperti bakti sosial, bersih-bersih gereja dengan masyarakat, lalu kegiatan pramuka, termasuk kegiatan wawasan kebangsaan untuk anak sekolah khususnya SMA dan mahasiswa,” tutur Candra. Kodim juga ada rencana menggelar lomba band antar gereja dan Kodam XVII/Cenderawasih akan membuat KKR besar di Wamena pada 30 November.

Nicolaas Messet atau Nick Messet adalah  mantan Menteri Luar Negeri Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang juga memilih pulang setelah 40 tahun berjuang demi Papua Merdeka. Sebagai putra asli Papua, Nick Messet adalah seorang pilot berdarah Papua pertama, lulusan Cessnock, New South Wales, Australia yang bekerja untuk maskapai Papua Nugini. Ayahnya adalah Bupati Jayapura periode 1976-1982. Nick Messet meninggalkan Papua di tahun 1960-an.”Dia berjuang untuk kemerdekaan Papua dari luar negeri selama lebih dari 40 tahun. Menurutnya hasilnya tidak ada. Setiap Negara yang dia minta dukungannya untuk Papua Merdeka. Semua negara selalu bilang kalau Papua itu bagian yang sah dari Indonesia. Hal itulah kemudian yang membuat ia kembali ke Indonesia dan  membangun Papua di dalam bingkai NKRI. Karena dia melihat hal seperti itu sudah jalan. Satu-satunya jalan ya harus berjuang dan bekerjasama dengan Indonesia. Cara inilah yang paling logis  untuk memperbaiki kehidupan, kesejahteraan sosial warga asli Papua,” kata Nicholas Messet.

Pesannya sangat sederhana. Untuk semua warga OPM kalau mau membangun daerahnya untuk Orang Papua maka kembalilah kepangkuan RI dalam satu kesatuan dengan NKRI. Orang asli papua membutuhkan para pejuang yang mampu memberikan mereka tauladan dan semangat kerja nyata dan mampu mengang kat derajat mereka menjadi warga yang berhasil, sukses serta mampu menghidupi keluarganya sendiri.

Setiap Asa Bertabur Nikmat
Setiap Asa Bertabur Nikmat

[1] sumber: http://geschiedenis.vpro.nl/artikelen/40143317/

[2] https://www.kompas.id/baca/opini/2020/11/06/sekam-dari-tanah-papua/

[3] https://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_noken