Menbangun Industri Pertahanan Negara Kepulauan

Menbangun Industri Pertahanan Negara Kepulauan

Oleh Harmen Batubara

Industri Pertahanan Indonesia adalah industri nasional yang terdiri atas badan usaha milik negara dan badan usaha milik swasta baik secara sendiri maupun berkelompok yang ditetapkan oleh pemerintah untuk sebagian atau seluruhnya menghasilkan alat peralatan pertahanan dan keamanan, jasa pemeliharaan untuk memenuhi kepentingan. Membaca strategi pengembangan Industri Pertahanan ( Inhan) Indonesia memang tidak terlihat polanya. Bisa juga memang ada ambigu antara belanja Alut Sista dengan pengembangan Inhan itu sendiri. Kenapa saya katakan begitu? Karena dalam alut Sista Kemhan membeli pesawat tempur Rafaelnya Prancis, sementara Inhan membangun Pesawat Jet tempur KFX/IFX (Kolaborasi Indonesia-Korea) berteknologi Amerika peawat Tempur F-35. Wajar kalau Amerika tidak memberikan izin atas pengenbangan Jeroan Jet Tempur itu kepada Indonesia. Juga Inhan mengembangkan Tank Anoa dan Tank Harimau, tetapi Kemhan malah membeli Tank Leopard. Pembelian Alut Sista TNI terlihat tidak sejalan dengan 7 program nasional industri pertahanan.

Pertahanan: Impian Indonesia Membuat Pesawat Tempur Sendiri
Pertahanan: Impian Indonesia Membuat Pesawat Tempur Sendiri

Inhan Dan Kemhan Belum Sejalan 

Kalau dari pandangan kita, sebenarnya sederhana sekali. Idealnya adalah kalau berbagai perusahaan yang ada di daftar industri pertahanan Indonesia, di lingkungan industri strategis itu “ bersatu” jadi semacam Holding. Bisa dibayangkan kalau BUMN yang bergerak di bidang industri pertahanan, yakni PT LEN Industri, PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL Indonesia, dan PT Dahana jadi satu dan menggarap “kebutuhan” TNI dan Kepolisian serta Kepentingan Nasional lainnya. Kita percaya bahwa setiap Matra itu juga mempunyai  keingin serta spesifikasi yang khusus sesuai matranya. Hal seperti itu juga terjadi di Amerika.  Misalnya. Angkatan Laut menginginkan pentingnya pesawat tahan lama yang bisa mendarat di dok kapal induk. Marinir menginginkan pesawat terbang ekspedisi yang mampu melakukan lepas landas dan pendaratan cepat. Angkatan Udara menginginkan pesawat terbang yang paling canggih dan cepat. Kalau keinginan seperti itu dituruti, tentu biayanya akan mahal sekali. Sebaliknya kalau kepentingan  mereka di lihat dari sisi persamaannya. Jelas akan banyak yang bisa dihemat. Hal sepeti itulah yang dilakukan  Program Joint Strike Fighter (JSF) atau popular dikenal sebagai F-35. Tim JSF justru mencari kesamaan-kesamaan keinginan tiap-tiap angkatan dan membuang hal-hal yang berbiaya tinggi di peranti lunak dan mesin.

Baca Juga   : Menghadirkan Kekuatan Tri Matra di Perbatasan 

Kita gembira ketika Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) meluncurkan Holding dan Program Strategis Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Industri Pertahanan yang dinamakan Defence Industry Indonesia atau disingkat Defend ID. Acara peluncuran dilakukan di PT PAL Indonesia (Persero), Kota Surabaya, Provinsi Jawa Timur, Rabu (20/04/2022) siang. Presiden menekankan bahwa Indonesia harus segera membangun kemandirian sekaligus mendorong industri pertahanan dalam negeri agar sepenuhnya siap memasuki era persaingan baru dan mampu memenuhi kebutuhan pertahanan pokok untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Inhan Yang Kuat Adalah Kebutuhan Pertahanan

Kepala Negara pun mengapresiasi langkah konsolidasi dan pembentukan perusahaan induk atau holding BUMN industri pertahanan Defend ID  yang sudah lama dinantikan ini. “Sudah lama ini saya tunggu-tunggu dan saya kejar-kejar terus agar BUMN industri pertahanan kita jauh lebih terkonsolidasi, ekosistemnya semakin kuat, mampu bersaing secara sehat dan menguntungkan. Dan, ini saya catat janjinya, janji ini saya catat, Defend ID akan menjadi TOP50 perusahaan pertahanan dunia,” ujar Presiden. Presiden juga mengingatkan Defend ID untuk terus mendorong peningkatan tingkat komponen dalam negeri (TKDN) dan menurunkan impor alat pertahanan dan keamanan (alpalhankam).

“Saya minta agar TKDN produk-produk pertahanan unggulan terus ditingkatkan dari angka yang telah dicapai saat ini yaitu 41 persen, agar bisa terus naik dan meningkat, dan nanti pada akhirnya 100 persen. Kita harus bergerak cepat, lincah, dan juga jeli melihat peluang, proaktif menjawab peluang agar bisa menjadi bagian dari rantai pasok global. Ini penting sekali, dengan tetap mengutamakan pemenuhan kebutuhan di dalam negeri,” tegasnya.

BUMN industri pertahanan ini, lanjut Presiden, akan menjadi ujung tombak kemandirian industri pertahanan Indonesia. Oleh karena itu, Presiden menekankan pentingnya penguasahaan teknologi dan manufaktur komponen terkini berbasis dual-use technology  dengan membangun global partnership seluas-luasnya dengan pihak manapun yang mau transfer teknologi. “Semuanya ajak, tetapi tetap mayoritas kita, agar juga pasar kita bisa lebih membesar. Terus berinovasi mencari cara dan mencari terobosan, baik itu terobosan di bidang SDM (sumber daya manusia), di bidang bahan baku, bidang produk, proses bisnis dan operasionalnya, semuanya. Semuanya harus excellent, yang terbaik,” tandasnya.

Tidak Singkronnya Inhan Dengan Alut Sista TNI

Indonesia,  memiliki berbagai pilihan kebijakan terkait sektor pertahanan, mulai dari pembelian dari luar negeri untuk modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista), membangun aliansi industri pertahanan Indonesia dan sekaligus  memberdayakan industri pertahanan dalam negeri.Pilihan pertama memungkinkan peningkatan kapabilitas militer secara instan. Cara paling mudah, tetapi dihadapkan dengan kondisi Ekonomi Indonesia, hal ini sulit direalisir. Mungkin kita cepat dapat alut sista yang kita mau, tetapi ketergantungan pengadaan senjata dengan negara lain tinggi, sehingga ini rawan terhadap tekanan politik internasional, embargo dan sebagainya. Pilihan kedua  banyak hal yang bisa dilakukan, dan Indonesia sudah berhasil melakukannya dengan Turki dan Korea Selatan. Tetapi hal ini kurang diminati oleh Kemhan yang sekarang ini.

Pilihan mengoptimalan kemampuan kerja sama produksi Pertahanan dengan Negara sahabat  dengan kata lain melakukan pemberdayaan industri pertahanan dalam negeri. Cara ini sebenarnya memang menjadi visi Presiden Jokowi sejak awal. Presiden ingin sektor pertahanan tidak tergantung pihak asing, memiliki penguasaan teknologi senjata, hingga turut mendorong roda perekonomian.

Baca  Juga  :  Pertahanan : Pesawat Tempur Negara Kepulauan

Mari kita lihat, kerja sama pembuatan Jet tempur KFX/IFX antara Indonesia- Korea Selatan adalah sebuah harapan yang sudah lama di nanti-nantikan. Indonesia sudah lama memimpikan untuk dapat membangun pesawat Tempurnya sendiri. Indonesia bahkan telah membuat pesawat tempur secara mandiri hanya dalam kurun waktu 10 tahun setelah merdeka. Prototipe pesawat serang anti gerilya Sikumbang[2] diuji terbang pada Agustus 1954. Sikumbang dirancang oleh Komando Depot Perawatan Teknik Angkatan Udara Republik Indonesia, Laksamana Muda Nurtanio Pringgoadisurjo–perintis industri dirgantara Indonesia yang namanya kemudian diabadikan menjadi nama perusahaan industri pesawat terbang Indonesia, PT Industri Pesawat Terbang Nurtanio (selanjutnya berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara, dan kini berubah jadi PT Dirgantara Indonesia setelah restrukturisasi).

Perlu Ksepakatan Bersama Membesarkan Inhan

Seperti kita ketahui. KAI KF-21 Boramae/F-33 Fighting Hawk adalah program Korea Selatan dan Indonesia untuk mengembangkan pesawat tempur multi-peran generasi lanjut untuk Angkatan Udara Republik Korea (ROKAF) dan Angkatan Udara Indonesia (TNI-AU), dipelopori oleh Korea Selatan dengan Indonesia sebagai mitra utama. Ini adalah program pengembangan pesawat jet kedua Korea Selatan setelah T-50 Golden Eagle. Nasib proyek jet tempur KFX/IFX kerja sama antara Indonesia dan Korea Selatan kembali mengemuka di tengah-tengah kontrak pembelian pesawat tempur Dassault Rafale buatan Prancis. Sebagai Pemerhati kita juga Heran. Disatu Sisi Indonesia ingin membangun Pesawat Tempur bersama Korea dengan memakai Teknologi Amerika. Tetapi disisi lain Kemhan malah membeli Pesawat Tempur Dassault Rafale buatan Prancis. Seperti diberitakan beberapa waktu lalu, proyek jet tempur KFX/IFX yang merupakan generasi 4.5 terhambat akibat Indonesia menunggak pembayaran biaya yang sudah disepakati bersama. Masalah lainnya ternyata, para insinyur PT Dirgantara Indonesia (PTDI) yang dikirim ke Korea Selatan untuk menjadi bagian tim proyek mengeluh tidak diberi akses, khususnya terkait teknologi tingkat tinggi yang sensitif. Penyebabnya  terhambat disebabkan oleh urusan diplomatik. Korsel menyatakan, Pemerintah Indonesia tidak mempunyai perjanjian akses teknologi tingkat tinggi atau sensitif dengan Amerika Serikat.

AS sendiri tidak memberikan beberapa teknologi tinggi pada jet F-35 kepada Korsel. Teknologi yang dirahasiakan itu, terkait radar pemindai elektronik aktif (AESA), perangkat pencari dan pemburu inframerah (IRST), targeting POD optik elektronik (perangkat identifikasi & pemandu amunisi presisi udara ke darat), dan perangkat pengacak frekuensi radio. Meski demikian, besar kemungkinan proyek itu akan tetap berjalan. Sebab dampak kerugian finansial yang dialami bisa sangat besar jika Indonesia menarik diri. Indonesia sebenarnya bisa  me“negosiasikan” hal ini kalau jadi membeli F-35 nya Amerika. Tapi Indonesia malah beli Dassault Rafale nya Prancis. Ya sesuatu yang mengherankan…tidak sejalan..dengan pengembangan Industri Pertahanannya sendiri. Hal serupa juga kita bisa lihat Dalam Pengembangan Tank. Inhan kita mengembangkan Tank Harimau dan Tank Anoa, malah TNI-AD membeli Tank Leopard. Kita tidak habis pikir, padahal di Inhan juga sudah ada KKIP Indonesia. KKIP dibentuk untuk mengkoordinasi kebijakan nasional dalam perencanaan, perumusan, pelaksanaan, pengendalian, sinkronisasi, dan evaluasi Industri Pertahanan. Dengan begitu, mempercepat Indonesia mewujudkan pemenuhan MEF dan kemandirian Industri Pertahanan melalui produksi alpahankam dalam negeri.