Oleh : Harmen Batubara
Laut China Selatan terus memanas, China dan Amerika saling menunjukkan pengaruhnya. Amerika dan China sesuai dengan kepentingan Nasionalnya sering berseberangan. Kedua Negara banyak tidak cocoknya dan kini kedua Negara, China dan Amerika boleh dikatakan sudah sampai pada zona dimana kedua Negara “perlu” memperlihatkan Negara mana Yang Unggul, yang Kuat. Dalam hal ekonomi, kelihatan sekali Amerika sedang kedodoran. Dalam hal keunggulan pengaruh atas regional Amerika juga terlihat tengah menurun. Amerika keluar dari WHO, Dari Perubahan Iklim. Prajuritnya ditarik dari Timur Tngah, Dari Jerman Dll. Konflik Laut China Selatan (LCS) bisa jadi babak baru, semacam Uji coba. Apakah AS masih mampu mempertahankan supremasinya? Apakah China bisa dipaksa untuk mengakui kaidah Internasional pola Amerika?
Amerika Serikat (AS) menolak klaim maritim China atas kawasan Laut China Selatan (LCS) dan menuduh Beijing telah mengintimidasi negara-negara yang memiliki klaim di kawasan tersebut. Penolakan Amerika atas klaim maritim China itu disampaikan Menteri Luar Negeri Michael Pompeo dalam sebuah pernyataan.”Kami memperjelas; klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar Laut China Selatan sepenuhnya melanggar hukum, seperti kampanye penindasan untuk mengenda likannya,” kata Pompeo, seperti dikutip NPR (14/7/2020). Amerika Serikat, memang telah menandatangani UNCLOS tapi belum meratifikasinya. Selama ini seringkali bergantung pada kesepakatan internasional untuk menyelesaikan sengketa teritorial.
Baca Juga : China-India Perang Karena Perbatasan, Masihkah Sepadan?
China mengklaim kedaulatan atas sebagian besar Laut China Selatan dan dalam beberapa tahun terakhir telah membangun pulau buatan dan memperluasnya untuk memperkuat klaimnya. Beijing juga telah membangun jalur udara, dermaga dan fasilitas militer di beberapa pulau pulau tersebut dan menegaskan klaim maritimnya.
Klaim teritorial Beijing digambarkan pada peta China dengan apa yang disebut “Nine-Dash Line”, garis melengkung putus-putus ke bawah yang meliputi sebagian besar Laut China Selatan. Bisa dimaklumi. Pada zamannya sesungguhnya cara kalaim suatu wilayah juga masih sederhana. Pertama temukan wilayahnya, tentukan batas kira-kiranya dan “Declare” umumkan bahwa wilayah tersebut sebagai miliknya. Selesai. Kalau ada yang komplain, ya bicarakan kalau tidak ya perang. Itu saja. Hal seperti itu dilakukan oleh Jerman di Papua. Deklare nya juga sederhana. Wilayah Papua yang tidak masuk Inggeris dan Belanda menjadi Wilayah Jerman. Selesai. Jadi “nine dash” China itu sebenarnya ya sah sah saja.
Masalahnya pada 2016, pengadilan internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim China atas kedaulatan di sepanjang “Nine-Dash Line” tidak memiliki dasar hukum dalam hukum internasional. Terkait keputusan ini Beijing menolak nya dan mengatakan pengadilan di Den Hag tidak memiliki yurisdiksi untuk memutuskannya.
Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag menjadi pegangan AS. AS secara eksplisit mendukung temuan kasus pengadilan 2016, yang diajukan oleh Filipina. “RRC tidak memiliki alasan hukum untuk memaksakan kehendaknya secara sepihak pada kawasan itu,” bunyi pernyataan tersebut, merujuk pada Republik Rakyat China (RRC). “Beijing menggunakan intimidasi untuk melemahkan hak-hak kedaulatan negara-negara pantai Asia Tenggara di Laut China Selatan, menggertak mereka keluar dari sumber daya lepas pantai, menegaskan kekuasaan unilateral, dan mengganti hukum internasional.”
Klaim China atas wilayah di Laut China Selatan telah lama menjadi sumber konflik dengan sejumlah negara di Asia seperti Malaysia, Vietnam dan Indonesia. China pernah mengirim patroli untuk memperingatkan Malaysia dan Vietnam agar tidak mengeksplorasi minyak dan gas di dalam zona ekonomi eksklusif mereka. China mempergunakan pengaruh, intimidasi, Uang dan Diplomasi agar Negara-negara yang juga mengklaim wilayah LCS mau melepaskan tuntutannya. Hasilnya? Lumayan. Filipina jelas mendukung China dan malah tidak mengizinkan AS untuk memakai pangkalan AU nya. Malaysia sudah bilang tidak mau ikut rebut-ribut terkait LCS. Indonesia jadi Netral dan menekankan perlunya mematuhi UNCLOS. Sementara Vietnam melawan dan Brunai tidak terpantau penolakannya.
China Yang Kaya Bisakah Diharapkan?
China memang punya sumber dana yang hampir tidak terbatas. Sejak Presiden Xi Jinping berkuasa tahun 2013, Beijing juga memperkenalkan kebijakan luar negeri baru, terutama di bidang ekonomi dan investasi. Untuk mengelola dana investasi ke luar negeri, China mengumumkan pembentukan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) dan apa yang disebut prakarsa “One Belt, One Road (OBOR)”. OBOR – juga dikenal dengan sebutan Prakarsa Jalur Sutra Baru – adalah membangun infrastruktur lintas benua memperluas jaringan dagangnya ke Eropa, Asia Tengah, Asia Selatan dan Asia Tenggara, baik melalui darat maupun laut. OBOR ini adalah pembaharuan atas Jalur Sutra nya Tiongkok masa lalu dengan semangat baru, bersama membangun dunia yang lebih sejahtera. Termasuk di dalamnya jargon Asia untuk warga Asia Dll.
Pada tahun 2014[1], Xi Jinping menjelaskan bahwa prakarsa baru China ini bukan melulu soal ekonomi dan uang, namun didsarkan pada “nilai-nilai bersama”. William A Callahan dari London School of Economics mengatakan, “Bisa disimpulkan, Xi menganggap komunitas regional sebagai perpanjangan dari negara China, atau setidaknya sebagai bagian dari nilai-nilai peradaban Tiongkok,” katanya. “Jadi, gagasan, nilai-nilai bersama Xi dirancang untuk membangun pengaruhnya di kawasan dan pada tatanan dunia”. Dengan bantuan OBOR, Beijing berusaha memperluas pengaruhnya tidak hanya secara ekonomi, melainkan juga secara politis dan ideologis.
China Dalam Penyelesaian Konflik Perbatasan
Tetapi kalau kita melihat pada faktanya, bisa jauh berbeda. Seperti kelakuan para Nelayan China di Laut China Selatan. Kapal-kapal penangkap ikan berbendera China secara bebas keluar masuk perairan negara tetangga termasuk Indonesia yang berbatasan dengan tepi Laut China Selatan. Nelayan dari Vietnam dan Filipina juga memprotes larangan penangkapan ikan sepihak oleh Beijing.Tapi Beijing Malah jadi Tuli dan Bisu. Bejing malah memanfaatkan “Coast Guard”nya sebagai pengawal.
Kalau kita melihat cara cara penyelesaian Konflik perbatasan antara China-India kita bisa melihat fakta ini. Kedua Negara sebenarnya tidak memikirkan bagaimana agar persoalan batasnya bisa selesai. Mereka hanya fokus memanfaatkan pengaruhnya pada Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Hasilnya Buthon memihak India, Pakistan memilih China dan Tibet menjadi bagian dari China. Jadi. bentrok antara tentara China dan India di daerah perbatasan Lembah Galwan, Ladakh, Himalaya terjadi pada 15 Juni 2020 itu adalah contohnya, hingga menewaskan 20 tentara India. Kedua pihak saling menyalahkan atas insiden itu dan saling klaim sebagai pemilik Lembah Galwan yang sah. Bentrokan perbatasan ini sebenarnya hanya mengulang pengalaman kedua Negara pada “Perang Perbatasan” tahun 1962. Pada perang tersebut, pasukan China masuk menyerang melalui dua jalur perbatasan yang berbeda yakni melalui Ladakh dekat Kashmir dan McMohan Line yang berada di Arunachal Pradesh yang hingga kini masih disengketakan oleh kedua negara. Perang tersebut menewaskan 1.383 tentara India dan 722 tentara China. Jumlah yang terluka mencapai 1.047 dari pihak India dan 1.697 dari pihak China.
Baca Juga : Bersinergi Menjaga Kedaulatan Negara di Papua
Militer India dan China juga pernah bertempur di Nathu La sebuah jalur perdagangan kuno melalui Himalaya yang merupakan bagian dari Jalur Sutra. Wilayah itu terpaksa ditutup dan dibuka kembali pada 2006. Setelah Insiden Nathu La, China dan India juga terlibat dalam pertempuran di Cho La. Wilayah yang tak jauh dari Nathu La. Ketegangan juga mewarnai perbatasan China dan India di Arunachal Pradesh.
Secara umum, boleh dikatakan masalah perbatasan mampu membuat suatu Negara jadi Buta dan Tuli. Seperti konflik perbatasan antara India dan China dipercaya masih akan berlangsung lama. Terlebih lagi kalau kita melihat cara-cara penyelesaian pertiakain perbatasan antara kedua Negara itu dengan Negara-negara yang berbatasan dengan mereka. Misalnya China, mereka mempunyai masalah perbatasan dengan beberapa Negara seperti Jepang, dengan Korea Selatan, bahkan dengan beberapa Negara Asean di Laut China Selatan dan belum ada yang bisa terselesaikan dengan baik. Begitu juga dengan India, mereka bersengketa dengan hampir semua Negara yang berbatasan dengan negaranya dan juga tidak mampu menyelesaikannya dengan baik.
Bagi Negara-negara di kawasan LCS atau Negara-negara anggota Asean semuanya menjadi tidak mudah. Jalan yang ada hanya jalan cari damai dengan China, sementara Amerika sebagai Negara Adi Daya dituntut untuk mampu membawa China ke tatanan Internasional. Secara alami Amerika berharap agar Negara-negara anggota Asean yang juga ikut memajukan klaim atas wilayah di LCS ikut mendukung Amerika. Tetapi nyatanya? Filipina, Malaysia sudah sejak awal mengatakan tidak mau terlibat dengan konflik LCS. Persoalannya kini? Bagaimana kalau China tidak mau mengikuti kemauannya Amerika? Solusi yang logis yang ada hanyalah dengan membiarkan masalahnya begitu saja. Kedua Negara Adi Daya itu akan menjadikannya “status quo”.
[1] https://internasional.kompas.com/read/2017/04/26/05000021/kehadiran.china.di.asean.berkah.atau.masalah.?page=2