Pembangunan Orang Asli Papua, Kemiskinan Dan Pemberdayaan

Pembangunan Orang Asli Papua, Kemiskinan Dan Pemberdayaan

Oleh Harmen Batubara

Masalah Papua harus dilihat lebih dahulu dari persoalan kemiskinan.  Bahwa kemiskinan itu ada dan sangat kental pada Orang Asli Papua (OAP) tidak lepas dari kondisi riel wilayah Papua, yang selama ini memang masih terisolasi. Isolasi telah menjadikan warga OAP tidak mampu beradaptasi. Ironisnya, karena semua perangkat pembangunan yang seharusnya bisa mereka manfaatkan di wilayah sekitar mereka, justeru jadi sumber kehidupan baru yang lebih baik bagi para pendatang.

Kehidupan OAP masyarakat Papua umumnya masih bersifat “nomaden” bertumpu pada pola hidup berburu, meramu dan berladang berpindah. Kentalnya akar budaya subsistem membuat masyarakat Papua sulit mengadopsi model ekonomi pasar. Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Papua dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri. Penduduk pesisir pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.   Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah; Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan di sungai, berburu dihutan disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil.

Baca Juga   : KoopsSus Separatisme & Upaya Merangkul KKSB Papua

Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.   Penduduk pegunungan yang mendiami lembah; Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan “Pesta Babi” sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui “Perang Suku” yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. dan Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung; mereka memilih lokasi perkampungan yang bisa memberikan mereka rasa aman. Mereka memilih tempat ketinggian agar bisa melihat setiap orang yang datang. Mereka  menempati tempat yang strategis terhadap  jangkauan musuh, mereka ingin sedini mungkin dapat mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukiman mereka.

Memberdayakan Dengan Kearifan Lokal

Tidak mudah menemukan program yang bisa mengangkat ekonomi warga local. Termasuk untuk melihatnya di Negara lain. Sekedar ilustrasi[1], program tunjangan kesejahteraan seperti Bolsa Familia (Pundi Keluarga) di Brasil dan Oportunidades (Peluang) di Meksiko atau Solidario (Kesetiakawanan) di Chile relatif berhasil karena penggunaan teknologi digital dalam bentuk kartu anjungan tunai mandiri (ATM). Secara umum, kartu ATM diserahkan kepada kaum ibu rumah tangga yang dinilai lebih mampu mengatur kehidupan keluarga sehari-hari ketimbang kaum pria yang cenderung boros.  Berkaca pada pengalaman seperti ini. Sudah saatnya juga ibu-ibu rumah tangga di Tanah Papua diberikan kartu ATM untuk menarik uang tunai. Menurut pengalaman Brasil, pengiriman uang dengan teknologi digital ternyata dapat membantu mengurangi praktik korupsi dan penyelewengan sekaligus mencegah politisi dan partai-partai politik menggunakan berbagai program tunjangan kesejahteraan untuk alat kampanye atau diselewengkan.

Cara seperti ini meski tidak sama persis sebenarnya telah diterapkan juga di Indonesia. Tidaklah susah bagi para petugas di Tanah Papua dan wilayah Indonesia lainnya untuk mendata secara akurat para penerima tunjangan kesejahteraan tersebut. Apalagi Indonesia juga sudah punya Palapa Ring. Seperti di Brasil mereka mengembangkan portal khusus, Portal da Transparencia, untuk memuat secara terbuka daftar nama, identitas lengkap, jenis tunjangan yang diperoleh, termasuk jumlah uang yang diterima. Bisa jadi program seperti itu bisa memberikan hasil dan bermanfaat. Tetapi kalau kita melihat pembangunan negaranya di Brasil, Meksiko dan Chile ternyata malah tengah menghadapi ke tidak stabilan yang sangat parah. Ketiga Negara itu bukan saja jadi contoh yang kurang baik tentang  pembangunan  negaranya sendiri, bagaimana pula kita yakin tentang pemberdayaan warga miskinnya? Tetapi kalau toh program mensejahterakan warganya bisa di pakai di Indonesia, tokh tidak ada salahnya.

Baca Pula : Membangun Kemampuan Mematikan Separatisme

Bisa jadi kita jua perlu melihat bagaimana budaya warga Papua di tengah pembangunan Papua yang dilakukan oleh Pemerintah plus Pemda. Berkaca pada Budaya Proposal ala Papua di tengah pelaksanaan  Otonomi daerah.  Bisa jadi sangat baik kalau kita mendengarkan penuturan Gubernur Papua Lukas Enembe SIP, MH; menurutnya  masyarakat Papua masih hidup dalam kemiskinan dan ketergantungan. Mereka belum bisa menolong dirinya sendiri.  Kemam puan mereka hidup sangat bergantung dari kebijakan pemerintah baik pusat, maupun daerah dalam hal ini provinsi dan kabupaten/kota.

Budaya baru yang sangat merisaukan adalah “ cara hidup masyarakat Papua hidup dengan budaya proposal ”. Budaya proposal sudah menjadi budaya baru, “sehingga setiap kepemimpinan pasti selalu memiliki pengalaman yang sama. Karena itu, pada awal kepemimpinannya pada periode kedua dia telah membakar kurang lebih 20 ribu proposal yang telah dimasukan ke Pemerintah Provinsi Papua,” Ungkap Gubernur dalam sambutan tertulis yang disampaikan Asisten Bidang Umum Sekda Papua, Recky Ambrauw, pada pembukaan Musyawarah Daerah I Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI), Rabu (2/10/2013) di Diklat Sosial Abepura waktu itu.

Gubernur menuturkan, keputusannya untuk membakar seluruh proposal tersebut  sudah melalui perang bathin yang luar biasa dalam hatinya. Gubernur berdoa pada Tuhan meminta kekuatan agar dapat menyelamatkan masyarakat Papua sehingga mereka terbebas dari rasa ketergantungan yang tinggi terhadap kebijakan pemerintah, yang pada akhirnya akan menyusahkan dan melemahkan kekuatan dirinya. ‘’Keinginan saya adalah masyarakat Papua dapat keluar dari ketergantungan terhadap kebijakan pemerintah, menggali dan mengelola potensi yang ada pada mereka dan sekitar mereka agar dapat bermanfaat bagi kehidupann mereka,’’ Ujarnya waktu itu.

Dikatakannya, Tanah Papua adalah surga yang jatuh di bumi, hitam kulit keriting rambut adalah kebanggaan dan kekuatan kami, dan ini adalah anugerah dari Tuhan yang maha kuasa untuk kita syukuri dan kita Jaga. Lanjutnya, Kenapa kehidupan di Papua yang ibarat surga tersebut tidak memberikan manfaat yang berarti bagi masyarakat, sehingga melemahkan semangat hidup mereka dan menciptakan berbagai kultur yang baru yang terangkat dari sebuah ketidak seriusan mereka dalam menghargai dan menjaga identitas dirinya sebagai masyarakat bangsa dan Negara yang pluralistik ini.

Melihat Pengembangan Kluster Sagu di Merauke

Di tengah mencari berbagai upaya mensejahterakan warga Papua ada baiknya kita melihat perkembangan Kluster Sagu di Merauke[2]. Program pengembangan kluster kampung berbasis komoditas sagu oleh Pemerintah Provinsi Papua di Distrik Tambat, Kabupaten Merauke, selama 12 bulan terakhir mulai membuahkan hasil. Dalam seminggu, petani bisa menghasilkan produk olahan sagu hingga 3 ton.

Program kluster kampung sagu di Tambat dirintis oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua serta Dinas Ketahanan Pangan Papua sejak awal tahun 2019. Dalam program ini, petani diberi bantuan pembuatan rumah produksi beserta  mesin pengolah sagu yang diciptakan I Made Budi. Dosen Universitas Cenderawasih itu sekaligus menjadi mentor cara menggunakan mesin pengolah sagu.

Para petani sagu dari kelompok Dwitrap di Tambat yang mengikuti program ini dilatih untuk mengolah sagu, mulai dari proses memarut, pengeringan, hingga pembuatan menjadi tepung pati yang bernilai ekonomi. Sebelumnya, sagu hanya menjadi bahan dasar untuk membuat papeda, makanan khas warga setempat. Sebanyak 25 petani mengikuti program ini. Mereka tak hanya mengolah hutan sagu miliknya, tetapi juga menerima pasokan sagu dari lima kelompok tani lain di Tambat. Total luasan hutan sagu siap panen di Tambat mencapai 250 hektar. Adapun jumlah warga Tambat sebanyak 596 orang.

Ketua kelompok petani Dwitrap di Tambat, Yakobus Yatmop,  mengatakan, petani mulai merasakan manfaat program berupa peningkatan kualitas panen dan variasi dalam produksi olahan sagu. ”Kami memproduksi tepung pati sagu mulai bulan Agustus. Kami bisa menghasilkan sebanyak 3 ton sagu per minggu. Produk ini mulai dijual di Merauke,” katanya saat dihubungi dari Jayapura,  Minggu (15/12/2019).

Melalui program ini, waktu produksi sagu bisa lebih cepat. Saat menggunakan cara tradisional, dibutuhkan waktu 3-4 hari untuk mengolah satu batang pohon sagu. Sementara pengolahan menggunakan mesin hanya butuh waktu beberapa jam. ”Saat ini, hasil produksi tepung pati dalam kemasan tengah diuji coba Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kabupaten Merauke. Setelah tahapan ini, kami akan menjual produk tepung pati khas Tambat lebih luas ke luar Merauke,” kata Yakobus.

Potensi besar  Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua Laduani Ladamay mengungkapkan, luas areal sagu di Papua mencapai 6,2 juta hektar, terbesar di dunia. Sejumlah 4,7 juta hektar merupakan hutan sagu. Meski potensinya besar, luas lahan yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari masih sedikit. Selain itu, Papua juga belum memiliki pabrik pengolahan tepung sagu.

Data Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Papua, luas lahan sagu yang digunakan secara aktif di 20 kabupaten hingga akhir tahun 2017 hanya 35.351 hektar. Pemanfaatan itu jauh dibandingkan daerah Meranti di Riau yang luasan hutan sagu kurang dari 100.000 hektar, tetapi sudah dapat mengekspor tepung pati sagu ke kawasan Asia Timur, seperti Jepang dan China. ”Keuntungan dari 1 hektar sagu bisa menghasilkan uang sebesar Rp 400 juta. Produk olahannya dapat menjadi bahan kosmetik, gula, dan obat-obatan. Bisa dibayangkan dampak ekonomi yang diterima warga Papua jika fokus dalam mengembangkan usaha perkebunan sagu,” tutur Laduani.

Keberadaan program kluster di Tambat, menurut dia, sekaligus untuk menunjukkan kepada pemerintah pusat dan masyarakat Papua, betapa bermanfaatnya hasil usaha sagu. Pemprov Papua pun berencana memperluas cakupan program kluster kampung sagu di daerah lain mulai tahun depan, yakni di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Mimika. ”Kami berharap pemerintah pusat melalui Kementerian Pertanian mendukung pengembangan program ini. Tujuannya, agar pertumbuhan ekonomi Papua tak hanya dari sektor pertambangan, tetapi juga komoditas unggulan sektor perkebunan,” katanya. Kepala Dinas Ketahanan Pangan Papua Robert Eddy Purwoko mengatakan, pihaknya akan terlibat dalam pelatihan cara mengolah sagu hingga menjadi produk yang layak dipasarkan, seperti tepung pati dan aneka kue.

Ia berharap program kluster sagu di Kampung Tambat akan menjadi model untuk diterapkan di kampung lain di Papua. Dengan demikian, kampung lain juga bisa mengolah sagu yang berkualitas dan ekonomis. ”Saat ini, kelompok Dwitrap telah menjual produk tepung pati sagu seharga Rp 20.000 per kilogram. Setelah mendapat izin resmi dari BPOM, produk ini akan diekspor ke Jepang melalui pelabuhan di Timika,” kata Robert.

[1] Sumber : Kompas.id., 17 Oktober 2019

[2] 16 Desember 2019 03:50 WIB