Mirage 2000-5 Sudah Bekas, Dari Calo Lagi

Mirage 2000-5 Sudah Bekas, Dari Calo Lagi

Oleh harmen batubara

Ketika kekuatan Ekonomi APBN kita telah mencapai tiga kali lipat (RP 3.061 triliun) dan anggaran pertahanan kita juga sudah meningkat dari RP 45 triliun menjadi Rp132 triliun. Tapi anehnya Kemenhan malah Membeli Pesawat Tempur Bekas? Yakni Pesawat Mirage 200-5. Dengan harga “pesawat tempur baru”? Kenapa kita katakan seperti itu. Hal ini memang di luar nalar ya. Kenapa? Karena Indonesia pernah “menolaknya” Indonesia menolak hibah satu skuadron pesawat tempur Mirage dari Qatar. Menurut Menteri Pertahanan Juwono  Sudarsono waktu itu, tawaran Qatar ditolak karena minimnya anggaran yang tersedia untuk perawatan. “Hibahnya sih oke, tapi pemeliharaannya itu mahal,” kata Juwono Sudarsono di kantornya, Departemen Pertahanan Jakarta, Kamis (19/03). Anehnya lagi, sebenarnya kita punya aturan kalau mau membeli alut sista harus dilakukan secara langsung atau G to G, tidak lewat pihak ketiga. Kemudian harus dilakukan berdasarkan Renstra.Bukan asal comot atau sesuai selera atau cara-cara Top Down dan juga bercermin kepada “prediksi ancaman”.

 

Yang kita dambakan sebenarnya adalah untuk memperkuat Industri Pertahanan dalam negeri adalah adanya dukungan dan kesungguhan pemerintah untuk memakai produk Industeri Pertahanan sendiri dan mendapat kontrak lewat kebijakan keberpihakan negara terhadap Industri Pertahanannya. Roh dari seluruh dukungan yang diharapkan dari pemerintah sesungguhnya adalah kepercayaan terhadap produk industry sendiri untuk dapat mengembangkan diri menjadi lebih efisien dan inovatif. Menurut Silmy Karim (Direktur Pindad, 14 Februari 2015) “ Kekuatan pertahanan yang tercipta dari impor senjata adalah semu. Jadi, sudah seterang matahari: kekuatan pertahanan yang digdaya dan strategis bagi bangsa hanya lahir dari kemandirian dan kerja keras”

Kesempatan untuk memperkuat kemampuan industri pertahanan sendiri memang harus selalu diciptakan. Presiden Jokowi malah mengingatkan kembali hal ini saat memimpin rapat soal pengadaan alat utama sistem persenjataan (alutsista) TNI di Kantor Presiden, mengingatkan agar pembelian alutsista dimulai dengan interaksi antar pemerintah untuk menghindari praktek mark-up. “Untuk memperkuat indusri pertahanan nasional, proses pengadaan alutsista harus dimulai dari interaksi antara pemerintah dengan pemerintah, G to G (20/7/2016). “Proses G to G ini akan memperkuat pakta integritas untuk membentuk zona toleransi nol terhadap praktik-praktik korupsi yang ada di negara kita,” imbuhnya waktu itu. Jokowi mengatakan banyak sekali negara yang menginginkan kerja sama pengadaan alutsista dengan Indonesia. Karena itu Jokowi meminta untuk menghitung kebutuhan yang sesuai. “Silakan dihitung, silakan dikalkulasi mana yang memberikan keuntungan kepada kepentingan nasional kita jangka pendek, jangka menengah, jangka panjang,” ujarnya waktu itu.

Kalau kita berkaca sekarang ini, dilihat dari segi strategi dan kebutuhan yang penting bagi pertahanan kita adalah pengembangan pesawat transport, kapal transport, dan kendaraan tempur transport. Itu paling penting karena 70 persen dari persoalan kita adalah pada kebutuhan delivery, pada kemampuan pemerintah untuk menghadirkan basic services. Jadi, tentara itu membantu pemda, membantu kabupaten, untuk menghadirkan makin banyaknya delivery services. Kita tidak perlu seperti Singapura yang punya 20, F-15, tetapi harus tetap punya meski jumlahnya terbatas, punya dua atau enam. Yang penting kita memiliki pesawat tempur modern agar pilot-pilot kita handal dalam mengoperasikannya.

Membangun Kekuatan Industri Pertahanan, Jangan Beli Melulu

Rencana dan keinginan pemerintah mandiri dalam produksi persenjataan dan memajukan industri pertahanan nasional tentu harus dilaksanakan konsisten. Konsistensi tersebut menjadi tuntutan karena Indonesia perlu terus mengembangkan kemampuan industri pertahanan nasional. Faktanya kemampuan Industri kita terus membaik, ditambah lagi dan terbukti produk alat persenjataannya  juga diminati sejumlah negara. Tuntutan pada konsistensi pemerintah terasa berbeda di tengah keputusan TNI AU kala itu untuk membeli satu helikopter AgustaWestland (AW) 101. Alasan pembelian tersebut adalah kebutuhan TNI AU akan helikopter multifungsi, yaitu untuk angkut berat, evakuasi, rumah sakit bergerak, dan pertolongan pertama (SAR). Apakah kita memilih kecanggihannya atau pada fungsinya? Suatu hal yang bisa diperdebatkan.

Membangun industri pertahanan dalam negeri bukan hanya untuk meminimalkan ketergantungan kepada negara lain. Namun jauh dari itu. Penguasaan industri pertahanan, seperti di banyak negara, akan meningkatkan penguasaan teknologi yang pada gilirannya memberikan efek berganda terhadap pengembangan industri di luar pertahanan itu sendiri. Hal ini mengingat industri pertahanan selalu memerlukan teknologi yang lebih maju, presisi tinggi serta inovasi. Penguasaan teknologi seperti itu juga akan meningkatkan rasa percaya diri sebagai bangsa. Dalam produksi pesawat, kita memiliki PT Dirgantara Indonesia (PTDI). Indonesia patut bersukur, produk PTDI telah dibeli sejumlah negara, sahabat antara lain Thailand, Filipina, Malaysia, Brunai dan Senegal. PTDI juga memproduksi helikopter EC725 Cougar (Super Puma) yang memiliki spesifikasi mirip dengan AW 101.

Baca Juga : AgustaWestland, TNI dan Bisnis Koruptif

Semua negara yang maju industrinya, termasuk industri pertahanan, pada tahap awal hampir pasti mengandalkan pasar dalam negeri. Tujuannya, mendapat kapasitas produksi yang memungkinkan industri tumbuh sehat berkelanjutan secara ekonomi tanpa tambahan investasi. Karena itu, kita berharap kepada Pemerintah agar terus mendukung dan bahkan mewajibkan pengguna, yaitu TNI,  Polri, dan instansi lainnya konsisten menggunakan produksi dalam negeri supaya kemandirian seperti yang dicita-citakan terwujud.

Produk dan Kualitasnya Kian Unggul

PT Dirgantara Indonesia atau PTDI telah merampungkan hampir seluruh pesanan pesawat udara dan helikopter dari Kementerian Pertahanan (Kemenhan). Tinggal satu unit heli yang rencananya akan dimodifikasi penuh dengan persenjataan.PTDI membuat 11 unit Heli Anti Kapal Selam (AKS) dan dua unit pesawat CN235-220 Maritime Patrol Aircraft (MPA). Bayangkan harga “Heli AKS 120 juta euro untuk MPA US$ 59 juta,” ucap Kepala Staff Umum (Kasum) Panglima TNI Laksamana Madya TNI Didit Herdyawan usai serah terima pesawat dan heli di Gedung PTDI, Bandung, Kamis (24/1/2019).

Sementara itu Kepala Badan Sarana Pertahanan (Kabaranahan) Kementerian Pertahanan Republik Indonesia, Laksamana Muda TNI Agus Setiadji tidak merinci harga per unit dari alutista itu. Namun dia hanya membocorkan angka untuk heli AKS. “Untuk basic (tanpa full spesifikasi) 10 juta (euro). Kalau full 17 juta (euro),” kata dia.

Agus mengatakan dari 11 heli tersebut, dua di antaranya akan dilengkapi dengan teknologi canggih yang akan mendukung kebutuhan TNI AL di laut. Satu heli yang belum diserahkan Akan dilengkapi terlebih dahulu, sementara dari heli yang sudah diserahkan, akan dibawa kembali ke PT DI untuk dipasang peralatannya. Heli dengan full spesifikasi ini akan dilengkapi dengan pemasangan torpedo dan sonar varian terbaru berjenis Helicopter Long-Range Actice Sonar (Helras). Sonar HELRAS dapat beroperasi optimal di area laut dangkal dan laut dalam. Teknologi HELRAS menggunakan frekuensi rendah dengan resolusi tinggi pada sistem Doppler dan rentang gelombang panjang untuk mengetahui keberadaan kapal selam dari jarak jauh.

Helikopter itu memiliki kemampuan untuk mendeteksi keberadaan kapal selam, serta dilengkapi dengan dipping sonar L-3 Ocean System DS-100 Helicopter Long-Range Active Sonar (HLRS). Sebelumnya, pada 2017-2018 TNI AL juga sudah menerima 5 unit helikopter AKS yang dipesan PT DI. Lima unit helikopter jenis Panther tipe AS565 MBe hasil kerja sama PT DI dan perusahaan Perancis, Airbus Helicopters, merupakan yang pertama di Indonesia. Namun, untuk fase integrasi AKS sejak didesain hingga perakitan sepenuhnya hasil karya PT DI.

Sedangkan pesawat udara CN 235-220 MPA dengan serial number N067 merupakan pesawat kedua yang dipesan dari PT DI. Pesawat ini dapat digunakan untuk berbagai macam misi, seperti patroli perbatasan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE), pengawasan pencurian ikan dan pencemaran laut, pengawasan imigrasi, penyelundupan narkoba, serta penyelamatan korban bencana.

CN 235-220 MPA juga memiliki keunggulan, yaitu mampu lepas landas dengan jarak yang pendek, khususunya dengan kondisi landasan yang belum beraspal dan berumput, mampu terbang selama 10-11 jam dengan sistem abiotik full glass cockpit yang lebih modern, autopilot, dan adanya winglet di ujung sayap agar lebih stabil dan irit bahan bakar.

Baca Pula : Tank Harimau, Tank Unggulan Untuk Medan Asia

Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengemukakan penyerahan beberapa alutsista itu merupakan salah satu program pembangunan kekuatan pertahanan yang dialokasikan melalui pinjaman luar negeri/kredit ekspor dari dua rencana strategis (Renstra) TA 2010-2014. “Mengingat alutsista ini merupakan salah satu senjata strategis serta memiliki efek deterence serta mampu memberikan efek gentar negara-negara yang mau mengganggu kedaulatan NKRI.  Harapannya, dengan perawatan dan pemeliharaan yang baik, pesawat ini mampu memiliki usia yang panjang untuk memperkuat jajaran TNI AL ke depan,” ujar Ryamizard.

Sementara itu Menteri Rini mengatakan hal ini terwujud atas sinergitas Kemenhan dengan BUMN. Hal ini sejalan dengan tujuan BUMN untuk memperkuat perekonomian sekaligus menghasilkan produk bermutu tinggi. “Ini pentingnya kerja sama erat BUMN danln kementerian teknis paling utama Kemenhan meningkatkan kemampuan BUMN khususnya PT DI untuk dapat memberikan atau menghasilkan produk bermutu yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia. Bukan hanya dimanfaatkan, tapi kita membuat produk bermutu tinggi dan memberikan kepercayaan ke prajurit kita kalau mau pakai mereka merasa aman dan pasti bisa mempertahankan kedaulatan Indonesia,” kata Rini.

Harus Jadi Acuan

Dalam bahasa sederhana, kolaborasi pengguna alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan industri produsen alutsista di dalam negeri sangat penting. Hal ini sudah bisa  dirujuk pada UU Industri Pertahanan yang mendefinisikan pengguna adalah TNI, Polri, kementerian dan lembaga, serta pihak yang diberi izin sesuai undang-undang. Hanya dengan cara inilah industri pertahanan dalam negeri bisa maju. “Kesempurnaan meraih teknologi itu ada penahapannya. Di situ perlunya kerja sama antara pengguna dan industri,” saling sinergi.  Anggota Komisi I DPR dari PDI-P, Tubagus Hasanuddin, mengatakan, sikap Komisi I dari awal adalah meminta agar UU Industri Pertahanan dijadikan acuan. Pasalnya, negara memiliki tujuan jangka panjang agar pada saat tertentu tercapai kemandirian dalam industri pertahanan. Pembelian dan penggunaan produksi dalam negeri oleh institusi seperti TNI, Polri serta kementerian dan lembaga juga bisa menjadi bentuk pemasaran. “Siapa lagi kalau bukan kita yang memakai, baru nanti negara lain beli,”  begitu katanya suatu masa dahulu.

Program Pengembangan Pesawat Tempur

Meski sempat tertunda dan menghadapi kendala, program pengembangan pesawat tempur produksi kerja sama Indonesia-Korea Selatan yang dinamakan Korean Fighter (KF)-X/Indonesian Fighter (IF)-X terus berlanjut. Saat ini, program itu sudah memasuki fase kedua dari tiga fase yang ada, yaitu pengembangan teknik industri (engineering manufacture development), yang akan menghasilkan prototipe pada 2021. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertahanan Anne Kusmayati, di Kementerian Pertahanan, Jumat (28/7/2017), mengatakan, saat ini tahap EMD mencapai 14 persen. PT Dirgantara Indonesia (DI), telah mengirimkan 81 insinyur ke Korean Aerospace Industry (KAI). Mereka akan mendalami konfigurasi pesawat sesuai kebutuhan Indonesia dan Korsel.

“Program ini jadi awal kemandirian industri pertahanan karena kita akan buat pesawat tempur,” kata Anne. Produksi itu akan memengaruhi peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan kemampuan PT DI secara umum. Selanjutnya akan dibutuhkan CLUSTER-CLUSTER INDUSTRI yang memproduksi alat-alat berteknologi sesuai pesawat generasi 4,5 ini. “Seperti alat elektronik radar dan GPS,” ucapnya. Menurut dia, program tersebut juga harus ditopang kebijakan politik karena program ini butuh waktu yang panjang, terutama dari segi komitmen dan pembiayaan. “Presiden menyatakan mendukung penuh program ini. Hal itu disampaikan saat kami presentasi,” ujar Anne waktu itu.

Sejauh ini, fase pertama, yaitu pengembangan teknologi pesawat tempur produksi bersama Korsel, sudah dilalui. Setelah selesainya fase kedua tahun 2021, KF-X/IF-X akan dibuatkan prototipe yang terus diuji hingga produksi tahun 2026. Namun, baru pada fase ketiga, tahun 2040, KF-X/IF-X akan diproduksi secara massal oleh PT DI. Kepala Sub-Dinas Penerangan Umum Dinas Penerangan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Kolonel Fajar Adriyanto mengatakan, pihaknya senang dengan pembangunan KF-X/IF-X. Program ini tak hanya dilihat dari sisi pertahanan udara, tetapi juga upaya pemerintah mengadopsi teknologi. “Untuk kesiapan pesawat tempur, F16 C/D masa pakainya masih sampai 2030. Juga masih ada Sukhoi,” kata Fajar soal kebutuhan TNI AU selama KF-X/IF-X belum ada.Kepala Pusat Komunikasi Publik Kemhan Totok Sugiharto menambahkan, jika Indonesia membuat sendiri, kebutuhan operasi TNI AU akan diakomodasi lewat desain pesawat. Selain juga kebebasan menentukan konfigurasi pesawat sehingga menjamin kemampuan pengembangan teknologi berkelanjutan.

Membangun Pertahanan Negara Kepulauan
Membangun Pertahanan Negara Kepulauan