Resmi Belanda Akui Papua NKRI Sejak 1945

Resmi Belanda Akui Papua NKRI Sejak 1945

Oleh Harmen Batubara

Ya, secara teori, dengan Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, seluruh wilayah jajahannya, dari Sabang sampai Merauke dan Miangas sampai Pulau Rote, secara hukum adalah Uti possidetis juris dari Belanda untuk Indonesia. Uti possidetis juris adalah asas hukum internasional yang menyatakan bahwa ketika suatu negara merdeka, batas-batasnya adalah batas-batas yang dimilikinya pada saat kemerdekaan. Prinsip ini diterapkan dalam kasus Indonesia, dan itu berarti bahwa semua koloni Belanda di Indonesia secara otomatis menjadi bagian dari negara merdeka yang baru.

Resmi Belanda Akui Papua NKRI Sejak 1945
Resmi Belanda Akui Papua NKRI Sejak 1945

Bagaimana Tentang Papua?  Sebab Papua dikatakan Belanda bukanlah bagian dari Indonesia pada Konperensi Meja Bundar 27 Desember 1949? Waktu itu Belanda mengatakan bahwa Papua bukan bagian dari Indonesia karena perbedaan Etnis atau Ras. Nah sekarang? Setelah Belanda mengakui Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Itu berarti Papua sudah sah jadi NKRI sejak 1945. Jadi apa yang direncanakan Belanda pada Konperensi Meja Bundar 1949 tentu harus dilihat sebagai sesuatu yang tidak pernah terjadi.

Baca Juga : MengOptimalkan Pertahanan Ikn Nusantara

Pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 merupakan langkah penting untuk menyembuhkan luka masa lalu dan membangun hubungan yang lebih kuat antara kedua negara. Namun, penting untuk diingat bahwa ini hanyalah satu langkah dalam proses yang panjang. Pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia perlu bekerja sama untuk mengatasi warisan kolonialisme dan membangun hubungan yang lebih setara dan adil.

Bersama Membangun Papua Yang NKRI

Hubungan yang sudah baik antara Belanda dan Indonesia setelah kemerdekaan tentu perlu terus dikuatkan. Terlebih lagi setelah adanya pengakuan bahwa kemerdekaan Indonesia itu adalah pada tanggal 17 Agustus 1945. Artinya secara tersurat dan tersirat bahwa Papua memang adalah bagian dari NKRI secara utuh. Bahwa ada perbedaan etnis di sana, mestinya haruslah dilihat sebagai sesuatu yang bukan untuk memisahkan tetapi sebaliknya untuk memperkuatkan persatuan. Bahwa hal itu belum bisa diterima oleh beberapa pihak kiranya hal itulah yang perlu di bingkai ulang.

Dari kacamata seperti ini kita bisa melihat lebih jernih bahwa memang sejak awal pemerintah Kolonial Belanda sudah mempersiapkan sesuatunya agar Papua tetap menjadi bagian dari Belanda atau membentuk Negara Boneka Pro Belanda. Hal ini terlihat dari pernyataan Belanda pada Konperensi Meja Bundar 27 Desember 1949 yang akan mempersiapkan Manifesto bagi Papua pada 1 Desember 1961.

Merespon niat Belanda itu, kaum elit terdidikPapua Nicolaas Jouwe dkk merencanakan penentuan nasib sendiri melalui pembentukan Nieuw Guinea Raad yang diresmikan pada April 1951. Faktanya Manifesto itu tidak pernah diakui oleh Belanda, malah pada tanggal 15 Agustus 1962 pada New York Agreement Belanda justeru menyerahkan secara resmi Papua kepada PBB seterusnya jadi bagian NKRI. Artinya mereka juga tidak menepati janjinya terhadap Papua.

Kalau kita berkaca pada Fakta ini, maka boleh dikatakan Organisasi Papua Merdeka atau OPM tidak lagi punya “legalitas” untuk melakukan penentuan Referendum di Papua. Mereka kini tinggal mau menyadari atau tidak. Jalan terbuka adalah bergabung kembali dengan NKRI dan membangun Papua secara bersama.

Dengan pengakuan ini Belanda bisa melakukan sesuatu yang baik untuk NKRI. Secara kultural kita bisa melihat bahwa Belanda bisa jadi semacam Fasilitasi yang mempertemukan kembali  antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan Pemerintah Indonesia. Kita berharap Belanda bisa meyakinkan OPM bahwa Papua sudah menjadi bagian dari NKRI sejak 17 Agustus 1945. Juga Papua sudah menjadi NKRI sesuai dengan hasil Perjanjian NewYork 1962. NKRI tidak akan mungkin lagi mengubah status ini.OPM tidak lagi mempunyai “Legalitas Formal” untuk Cawi-Cawi terhadap Papua.  Berkaca dengan hal seperti itu. Menurut saya ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk menyelesaikan masalah separatism di Papua ini.

Baca Pula :  Gelar Kekuatan TNI di Perbatasan 

Pertama. Menegaskan kembali bahwa keinginan OPM sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutannya. Dalam hal seperti ini pihak Belanda diharapkan dapat membantu memperjelas permasalahannya dan memastikan bahwa kedua belah pihak bisa membangun Papua dengan semangat NKRI secara adil.

Kedua. Meningkatkan pembangunan ekonomi di Papua. Salah satu penyebab utama gerakan separatisme di Papua adalah ketimpangan ekonomi. Daerah ini jauh lebih miskin daripada daerah lain di Indonesia, dan hal ini menimbulkan kebencian dan rasa ketidakadilan. Peningkatan pembangunan ekonomi di Papua akan membantu mengatasi masalah ini dan mengurangi dukungan terhadap gerakan separatis.

Ketiga. Meningkatkan keterwakilan politik bagi orang Papua. Alasan lain dari gerakan separatis adalah kurangnya representasi politik bagi orang Papua. Mereka merasa bahwa mereka tidak diberi suara yang adil tentang bagaimana wilayah mereka diatur. Meningkatkan representasi politik bagi orang Papua akan membantu mengatasi masalah ini dan memberi mereka rasa kepemilikan yang lebih besar atas wilayah mereka.

Pada saat ini kita bisa melihat kebijakan pemerintah Indonesia yang telah memberikan hak-hak istimewa bagi warga Papua asli. Misalnya hanya warga Papua Asli yang bisa jadi Gubernur, Bupati dan Walikota. Begitu Juga dalam militer dan kepolisian.

Meski kalau dilihat dari sisi lain, saya khawatir bahwa kebijakan ini dapat dilihat sebagai diskriminatif. Kebijakan seperti ini juga dapat menimbulkan kebencian dari orang non-Papua, yang mungkin merasa bahwa mereka dikecualikan dari memperoleh peluang yang sama. Selain itu, kebijakan ini dapat menciptakan rasa ketergantungan di antara orang asli Papua, dan dapat mempersulit mereka untuk bersaing secara setara dengan orang non-Papua.

Menghormati HAM di Papua. Ada banyak laporan pelanggaran HAM di Papua, yang dilakukan baik oleh militer Indonesia maupun OPM. Pelanggaran ini semakin mengasingkan orang Papua dan membuat mereka lebih cenderung mendukung gerakan separatis. Pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah untuk mengatasi pelanggaran ini dan memastikan bahwa hak asasi manusia dihormati di Papua.

Berikut adalah beberapa pemikiran tambahan tentang masalah ini:

Pemerintah Indonesia harus bekerja untuk mengatasi penyebab yang mendasari gerakan separatis di Papua, seperti ketimpangan ekonomi dan kurangnya perwakilan politik.

Pemerintah Indonesia juga harus menghormati hak asasi manusia di Papua dan meminta pertanggungjawaban mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran.

Pemerintah Indonesia sebaiknya berdialog dengan OPM dan kelompok Papua lainnya untuk menemukan solusi damai dan langgeng atas konflik di Papua.