Oleh Harmen Batubara
A. Latar Belakang Isu dan
Kontekstualisasi Politik
Isu dugaan pemalsuan ijazah Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko
Widodo (Jokowi), merupakan salah satu skandal politik digital paling
berlarut-larut dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Fenomena ini tidak
hanya menantang integritas personal seorang pemimpin nasional, tetapi juga
menunjukkan tantangan besar yang dihadapi demokrasi modern di era disinformasi
terorganisir. Kasus ini mencuat ke publik sejak tahun 2022 dan terus menjadi
perbincangan, terutama melalui media sosial dan kanal digital.1
Serangan terhadap integritas personal Jokowi muncul di tengah periode
kepemimpinannya yang ditandai oleh popularitas yang konsisten tinggi,
seringkali di atas 75 persen, dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan strategis
yang masif dan seringkali kontroversial. Kebijakan-kebijakan ini mencakup
pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, implementasi kebijakan BBM satu
harga di seluruh Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial, hingga langkah
tegas membubarkan organisasi kemasyarakatan yang dianggap bertentangan dengan
ideologi negara, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam
(FPI). Dalam konteks politik, serangan terhadap kredibilitas pribadi seorang
pemimpin seringkali menjadi strategi alternatif ketika kritik terhadap
kebijakan atau upaya meruntuhkan popularitas melalui jalur konvensional
mengalami kegagalan. Tujuan utama tuduhan ijazah palsu adalah meruntuhkan etos kepemimpinan Jokowi, mengimplikasikan bahwa
seluruh karier politiknya, mulai dari Walikota hingga Presiden, didasarkan pada
penipuan.
B. Metodologi Analisis
Laporan ini menyajikan analisis komprehensif untuk membedah kasus
tuduhan ijazah palsu Jokowi. Pendekatan yang digunakan adalah multidisipliner,
mencakup aspek hukum, forensik digital, dan komunikasi politik. Analisis bertujuan
untuk menjawab pertanyaan krusial: mengapa gerakan tuduhan ini terus
dipertahankan dan disebarkan meskipun institusi negara yang berwenang, baik
akademik (UGM) maupun penegak hukum (Polri), telah memberikan klarifikasi
faktual dan hasil investigasi yang definitif? Analisis ini akan
mengidentifikasi "garis merah" yang membuktikan bahwa perpanjangan
tuduhan ini merupakan upaya memaksakan narasi alternatif (disinformasi) yang
memiliki motif politik, bukan upaya pencarian kebenaran faktual.
Klarifikasi UGM dan Audit Forensik
Bareskrim Polri
Landasan fundamental yang membuat tuduhan pemalsuan ijazah menjadi tidak
logis terletak pada konsensus institusional yang definitif. Dua pilar otoritas
tertinggi, yakni institusi akademik yang menerbitkan ijazah dan lembaga penegak
hukum yang berwenang melakukan uji forensik, telah membantah klaim tersebut
secara mutlak.
A. Konsensus Akademik dari
Universitas Gadjah Mada (UGM)
Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai institusi akademik yang
mengeluarkan ijazah, memegang otoritas primer dalam verifikasi keaslian dokumen
tersebut. Pihak UGM telah berulang kali menyampaikan klarifikasi resmi dan
tegas mengenai status akademik Joko Widodo.
UGM memastikan bahwa Ir. H. Joko Widodo merupakan mahasiswa yang telah
menyelesaikan seluruh proses tridharma perguruan tinggi di UGM. Beliau adalah
alumni sah dari Fakultas Kehutanan dan dinyatakan lulus pada tanggal 5 November 1985.1 Klarifikasi ini bukan hanya berupa
pernyataan lisan. UGM menegaskan posisi mereka didasarkan pada dokumen resmi
yang dimiliki kampus, termasuk catatan lengkap akademik, salinan ijazah, serta
skripsi asli yang tersimpan di perpustakaan fakultas.1 Keaslian ini
bahkan diperkuat dengan kehadiran sejumlah alumni angkatan 1985 yang membawa
dokumentasi wisuda dan foto-foto kegiatan kampus sebagai bukti tambahan.2
Penting untuk dicatat, UGM menegaskan bahwa posisi kampus adalah menjaga
netralitas dan hanya memberikan penjelasan berdasarkan dokumen yang dimiliki,
bukan dalam rangka membela pihak mana pun.2 UGM juga menyatakan kesiapan untuk
bersaksi dan menunjukkan dokumen yang dimiliki kepada pihak yang sah secara
hukum, seperti pengadilan.3 Berdasarkan otoritas akademik yang
tidak terbantahkan, klarifikasi UGM harusnya menjadi bantahan pertama dan
terakhir terhadap sengketa faktual mengenai kelulusan dan dokumen tersebut.
B. Verifikasi dan Audit Forensik
Bareskrim Polri
Pilar kebenaran institusional kedua berasal dari proses investigasi
mendalam yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri. Proses ini
menjamin aspek legalitas dan forensik, melampaui sengketa dokumen semata.
Penyelidikan kasus dugaan ijazah palsu Jokowi dilakukan secara
komprehensif dan ilmiah (komprehensif, ilmiah).4 Dalam proses
penyidikan, penyidik Polda Metro Jaya berhasil menyita total 723 barang bukti.5 Proses ini melibatkan gelar perkara
dan asistensi yang melibatkan berbagai ahli dari internal dan eksternal,
termasuk ahli pidana, ahli sosiologi hukum, ahli komunikasi sosial, ahli
bahasa, dan ahli ITE.4 Selain itu, penyidik juga memeriksa 39 saksi dari Fakultas Kehutanan UGM dan teman-teman
studi Jokowi untuk mengumpulkan keterangan faktual.6
Puncak dari verifikasi ini adalah hasil uji forensik yang dilakukan oleh
Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri. Hasil pemeriksaan terhadap
dokumen ijazah Jokowi, baik dari aspek analog maupun digital, menguatkan bahwa
ijazah Ir. H. Joko Widodo adalah asli dan sah.1 Pengujian forensik
materiil ini melibatkan analisis terhadap tinta, jenis kertas, dan tanda
tangan, dan hasilnya menyatakan "tidak ada indikasi pemalsuan".1
Berdasarkan hasil uji Puslabfor dan keterangan saksi yang lengkap,
polisi menyimpulkan tidak menemukan unsur pidana dalam kasus dugaan pemalsuan
ijazah tersebut, sehingga penyelidikan dihentikan.6
C. Konsensus Institusional sebagai Garis Merah Logika
Ketika klaim penipuan terhadap sebuah dokumen resmi dibantah secara
simultan oleh (1) institusi penerbit (UGM) yang memegang arsip primer, dan (2)
lembaga penegak hukum (Polri) setelah audit forensik ilmiah yang menyeluruh,
secara logika rasional, sengketa faktual harus berakhir. Institusi negara telah
mencapai konsensus faktual dan legal. Oleh karena itu, kelanjutan tuduhan yang
dilancarkan setelah konsensus ini dicapai secara logis tidak lagi dapat
dianggap sebagai upaya mencari kebenaran. Sebaliknya, hal ini harus dibaca
sebagai upaya memaksakan narasi alternatif (disinformasi) yang bertujuan
merusak kredibilitas institusi resmi.
Tabel 1 merangkum kontras antara klaim penuduh dan hasil verifikasi
resmi yang definitif.
Tabel 1: Kontras Faktual dan Legal Ijazah Jokowi
|
Aspek
Verifikasi |
Klaim
Penuduh (Roy Suryo Cs) |
Hasil
Klarifikasi UGM/Polri (Fakta Penelitian) |
Status
Logis |
|
Institusi Penerbit |
Diragukan keasliannya |
UGM memastikan Jokowi lulus Fakultas Kehutanan, 5 November 1985 1 |
Definitif/Tidak
Terbantahkan |
|
Metode Analisis Klaim |
Identik
Error Analysis (Ijazah not match, foto rusak/tidak
identik) 8 |
Uji Puslabfor Polri (tinta, kertas, tanda tangan) menyatakan dokumen
asli dan sah 1 |
Gagal/Tidak
Diakui Ilmiah (Analisis ad hoc vs. Forensik Negara) |
|
Barang Bukti |
Hanya berdasarkan analisis digital salinan |
Polri menyita 723 BB, termasuk dokumen asli UGM 5 |
Kredibilitas
Bukti Jauh Berbeda |
|
Status Hukum |
Menuntut audit ad hoc independen 9 |
8 orang ditetapkan sebagai tersangka fitnah/disinformasi 4 |
Pidana (Tuduhan
dianggap fitnah dan manipulasi data) |
Mengurai Logika yang Tidak Rasional
Untuk mempertahankan narasi palsu di hadapan fakta institusional,
kelompok penuduh memerlukan kemasan yang tampak teknis dan ilmiah. Dalam kasus
ini, peran tersebut dimainkan oleh Roy Suryo yang menobatkan dirinya sebagai
“Pakar Telematika,” bersama timnya termasuk Dr. Tifa dan Rismon Hasiholan
Sianipar.
A. Basis Tuduhan Pseudo-Ilmiah
Roy Suryo secara berlebihan menyatakan keyakinannya bahwa ijazah Jokowi 99,9% palsu.10 Keyakinan absolut yang disajikan di
ruang publik ini, meskipun tanpa didukung audit institusional resmi, efektif
menciptakan narasi yang kredibel di mata publik awam.
Metode yang mereka gunakan disebut Identik Error Analysis.
Berdasarkan analisis ini, Roy Suryo dan timnya menyatakan bahwa ijazah Jokowi
"tidak match" atau "rusak" jika dibandingkan dengan ijazah pembanding
milik tiga rekan Jokowi, yaitu Hari Mulyono, Frono Jiwo, dan Sri Murtiningsih,
yang hasilnya dianggap "match".8 Poin spesifik yang
menjadi fokus klaim digital forensik mereka adalah adanya foto pada ijazah yang tampak rusak dan tidak identik
dengan foto asli Jokowi.8
Upaya untuk memberikan otoritas pada tuduhan ini diwujudkan melalui
publikasi buku berjudul Jokowi's White Paper.
Penerbitan buku ini, yang dilakukan oleh Roy Suryo dkk., bertujuan memberikan
kesan bahwa temuan mereka adalah hasil analisis otoritatif dan ilmiah.11
B. Analisis Kekeliruan Logika
Forensik
Klaim yang didasarkan pada Identik Error Analysis
dan analisis digital salinan ijazah menunjukkan kekeliruan fundamental karena
mengabaikan konteks arsip non-digital dan mengesampingkan uji forensik materiil
yang kredibel.
Pertama, fokus pada "kerusakan" atau ketidakidentikan
foto/format ijazah mengabaikan realitas dokumentasi arsip yang diterbitkan pada
era 1980-an (sebelum era digital). Ijazah lama rentan terhadap degradasi fisik,
kerusakan tinta atau kertas, serta adanya perbedaan kecil dalam proses
pencetakan yang bersifat manual antar-angkatan. Menggunakan perbandingan
digital modern (pixel-by-pixel) terhadap dokumen
lama yang telah beredar di media sosial sebagai dasar klaim pemalsuan adalah
metodologi yang cacat tanpa pengujian materi primer yang sesungguhnya.
Kedua, hasil analisis digital yang diklaim Roy Suryo tidak dapat
menandingi uji forensik materiil yang dilakukan oleh Puslabfor Polri. Ketika
Puslabfor menguji dokumen fisik ijazah dari UGM dengan menganalisis tinta,
jenis kertas, dan tanda tangan—yang merupakan bukti fisik otentikasi dokumen 1—klaim Roy Suryo
dkk. yang hanya berfokus pada salinan digital dianggap "tidak ilmiah dan menyesatkan publik" oleh
penyidik.5
Ketiga, tuntutan kelompok penuduh agar dilakukan audit forensik melalui
lembaga ad hoc yang inklusif, independen, dan kredibel 9 muncul setelah UGM
dan Bareskrim telah memberikan kesimpulan resmi. Tindakan ini disinyalir bukan
untuk mencari bukti baru (novum), melainkan
untuk menciptakan keraguan publik terhadap hasil resmi negara
dan menunda proses hukum yang mulai menyasar mereka.
Kelompok ini secara efektif mengubah cacat arsip (misalnya, foto lama yang
rusak) menjadi dalih untuk disinformasi massal, memanfaatkan kredibilitas
digital Roy Suryo.
C. Mengubah Keraguan Teknis Menjadi
Senjata Politik
Dalam strategi disinformasi, argumen yang efektif bukanlah yang mudah
dibantah secara universal, melainkan argumen yang tampak 'teknis' dan 'ilmiah'.
Roy Suryo, dengan latar belakangnya, berhasil menggunakan jargon forensik
digital (seperti Identik Error Analysis) untuk
menciptakan fuzziness (ketidakjelasan) di mata publik awam. Jika
publik bingung, mereka cenderung memilih untuk tidak percaya (skeptis) terhadap
versi resmi, meskipun versi resmi didukung oleh fakta akademik dan forensik.
Keberadaan dua klaster tersangka (Klaster II sebagai produsen narasi dan
Klaster I sebagai penyebar konten) 4 mengindikasikan bahwa tuduhan ijazah
palsu adalah rantai produksi dan distribusi disinformasi yang terorganisir.
Operasi ini beroperasi di ranah teknis untuk memproduksi keraguan, dan di ranah
publik untuk mendistribusikannya secara masif, menegaskan bahwa tujuannya
adalah fungsional politik, bukan kebenaran faktual.
Analisis Komunikasi Politik Delegitimasi
Garis merah yang menjelaskan mengapa tuduhan ijazah palsu ini
dipertahankan meski tidak logis secara faktual adalah bahwa seluruh gerakan ini
berakar pada motif politik delegitimasi yang sistematis. Tuduhan tersebut
merupakan hoaks yang sengaja dirancang sebagai alat komunikasi politik.
A. Anatomi Hoaks Politik dan Skandal
Kepercayaan
Isu dugaan pemalsuan ijazah Jokowi telah diidentifikasi sebagai alat
komunikasi politik yang disebarkan secara sistematis, terutama sebagai bagian
dari upaya narasi politik menjelang Pemilu 2024.1 Tujuannya
melampaui sengketa dokumen; tujuannya adalah merusak integritas demokrasi dan
menciptakan keresahan publik.13 Ketua Umum Pasbata Prabowo, David
Febrian, bahkan menyebut isu ini sebagai bentuk pembodohan rakyat yang sangat
berbahaya, karena tidak hanya menyerang pribadi, tetapi juga merusak martabat
bangsa dan kepercayaan terhadap sistem pendidikan nasional.13
Meskipun UGM dan Polri telah memberikan konfirmasi yang sah, opini
publik tetap terpecah. Analisis sentimen berbasis algoritma terhadap ribuan
komentar di media sosial menunjukkan bahwa sekitar 47,6% sentimen cenderung
negatif terhadap isu ijazah tersebut.1 Survei Indikator Politik
mengonfirmasi bahwa terdapat sekitar 4.8 persen responden sangat percaya dan
14.3 persen percaya bahwa ijazah Jokowi palsu, menunjukkan total sekitar 19.1%
populasi telah berhasil ditanamkan keraguan oleh hoaks ini.14
Persebaran tuduhan ini juga dimungkinkan oleh rendahnya literasi arsip
masyarakat, di mana publik sulit membedakan dokumen arsip lama dari dokumen
modern, serta rendahnya literasi digital terhadap hoaks yang diproduksi
menggunakan teknologi seperti artificial intelligence
(AI), yang dapat memproduksi disinformasi secara masif dan berulang.1
B. Konsekuensi Hukum dan Kredibilitas
Penuduh
Dalam menghadapi serangan disinformasi ini, Presiden Jokowi mengambil
langkah hukum dengan melaporkan dugaan fitnah dan pencemaran nama baik terkait
tuduhan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya.4 Laporan ini ditindaklanjuti dengan
proses penyidikan yang komprehensif.
Hasil penyidikan Polda Metro Jaya berujung pada penetapan delapan orang
sebagai tersangka, yang dibagi menjadi dua klaster 4:
1. Klaster I (Penyebar
Konten): Terdiri dari ES, KTR, MRF, RE, dan DHL.
1. Klaster II
(Analisis dan Produsen Narasi): Terdiri dari Roy Suryo (RS), Rismon
Hasiholan Sianipar (RHS), dan Tifauziah Tyassuma (TT).
Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Pasal 310
dan/atau Pasal 311 KUHP (Pencemaran Nama Baik/Fitnah), Pasal 160 KUHP
(Penghasutan), serta Pasal 27A, 28, 32, dan 35 juncto pasal terkait
dalam Undang-Undang ITE.4 Kesimpulan penyidik adalah para
tersangka telah menyebarkan tuduhan palsu, mengedit, serta melakukan manipulasi
digital terhadap dokumen ijazah Jokowi menggunakan "metode analisis yang
tidak ilmiah dan menyesatkan publik".5 Penetapan tersangka ini menguatkan
bahwa tuduhan ini bukan lagi kritik, melainkan fitnah dan kejahatan siber
terorganisir.
Kredibilitas penuduh utama, Roy Suryo, juga perlu dipertimbangkan dalam
konteks ini. Sebelumnya, Roy Suryo pernah divonis 9 bulan penjara dan denda
sebesar Rp 150 juta dalam kasus penyebaran meme stupa Candi Borobudur yang
diedit wajah Jokowi.16 Pola perilaku
hukum Roy Suryo, yang berulang kali menggunakan medium digital untuk
kontroversi yang berujung pada tindak pidana pencemaran nama baik dan
manipulasi digital, memperkuat dugaan bahwa tuduhan ijazah palsu ini adalah
bagian dari strategi politik berkelanjutan yang menggunakan disinformasi
digital.
C. Hoaks sebagai Model Bisnis Politik
Digital
Garis merah utama dari gerakan ini adalah bahwa tujuannya bukan untuk
memenangkan sengketa fakta (karena UGM dan Polri telah bersuara), melainkan
untuk mempertahankan discourse keraguan. Dalam politik post-truth, narasi yang kontroversial, terutama yang
dikemas dengan istilah ilmiah semu (White Paper, Identik Error Analysis), memiliki nilai politik yang
tinggi karena mampu menghasilkan polarisasi dan engagement digital.
Kasus ijazah palsu Jokowi ini secara jelas menunjukkan bagaimana hoaks
dan disinformasi telah berevolusi menjadi model bisnis politik digital yang
terorganisir. Tuduhan tersebut dipertahankan karena secara fungsional, hal itu
berhasil mencapai tujuan delegitimasi dengan menggerogoti kredibilitas
pemimpin, yang pada akhirnya merusak kehormatan negara.13 Tuduhan tersebut,
walaupun tidak logis, secara strategis efektif dalam menciptakan krisis
kepercayaan dan memecah belah opini publik.
Tabel 2: Dinamika Hukum dan Komunikasi Para Tersangka Klaster
|
Klaster
Tersangka |
Tokoh
Kunci |
Peran
Komunikasi/Metode |
Pasal
Kunci yang Dikenakan (Implikasi Hukum) |
|
Klaster II (Analisis/Produsen Narasi) |
Roy Suryo (RS), Rismon Sianipar (RHS), Tifauziah Tyassuma (TT) 4 |
Memproduksi dan mengklaim analisis ‘ilmiah’ (Jokowi's White Paper, Analisis Foto Rusak),
menggunakan metode yang disimpulkan penyidik sebagai tidak ilmiah 5 |
UU ITE Pasal 32 & 35 (Manipulasi/Perubahan Data Elektronik) dan
KUHP 310/311 4 |
|
Klaster I (Penyebar Konten) |
ES, KTR, MRF, RE, DHL 4 |
Menyebarkan tuduhan dan konten manipulatif, termasuk penghasutan, di
ruang publik dan media sosial 5 |
UU ITE Pasal 27A & 28 (Penyebaran Informasi Palsu) dan KUHP 160
(Penghasutan) 4 |
|
Konsensus Polri |
Total 8 Tersangka |
Menyebarkan tuduhan palsu, mengedit, serta melakukan manipulasi
digital dengan metode yang tidak ilmiah dan menyesatkan publik 5 |
Penegasan
bahwa tindakan ini adalah fitnah dan kejahatan siber terorganisir. |
Kesimpulan dan Rekomendasi
A. Rekapitulasi Definitif
Analisis data penelitian menegaskan bahwa tuduhan pemalsuan ijazah
Presiden Joko Widodo oleh Roy Suryo Cs adalah tuduhan yang secara faktual dan
legal tidak logis dan tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Ketidaklogisan ini berpangkal pada dua fakta yang tidak terbantahkan:
Universitas Gadjah Mada (UGM) telah memastikan bahwa Jokowi adalah
alumni sah Fakultas Kehutanan, lulus pada 5 November 1985, berdasarkan arsip
akademik primer.1
Bareskrim Polri melalui uji forensik Puslabfor terhadap tinta, kertas,
dan tanda tangan, menyimpulkan bahwa dokumen tersebut adalah asli dan sah,
serta menyingkirkan dugaan pemalsuan pidana.1
B. Garis Merah Politik Delegitimasi
Garis merah di balik gerakan Roy Suryo Cs adalah tujuan politik fungsional untuk delegitimasi. Ketika
bukti faktual absolut (UGM dan Puslabfor) menyatakan keaslian dokumen, kelompok
penuduh merespons dengan strategi Identik Error Analysis
yang secara ilmiah cacat, semata-mata untuk menciptakan narasi keraguan yang
sulit dibantah oleh publik awam.
Ketidakberhasilan penuduh untuk menunjukkan cacat dalam penyelidikan
Bareskrim atau memberikan bukti baru (novum), ditambah
dengan pola perilaku hukum Roy Suryo yang berulang dalam kasus disinformasi
digital sebelumnya, menguatkan kesimpulan bahwa gerakan ini adalah operasi
disinformasi terorganisir, dirancang untuk merusak integritas pemimpin di
tengah tingginya popularitas dan keberanian dalam mengambil kebijakan-kebijakan
strategis negara. Penetapan delapan tersangka dalam dua klaster menunjukkan
adanya rantai produksi dan distribusi yang sistematis.
C. Prospek Demokrasi Indonesia
Kasus ijazah Jokowi ini menjadi studi kasus penting mengenai bagaimana
hoaks dijadikan alat politik sistematis di Indonesia. Perluasan tuduhan ke
ranah teknis, yang kemudian dibungkus dalam narasi 'ilmiah' seperti White Paper, adalah taktik baru dalam perang narasi
digital.
Untuk melindungi integritas demokrasi Indonesia dari ancaman
disinformasi terorganisir, diperlukan sinergi yang kuat antara lembaga hukum,
media, dan sistem pendidikan. Peningkatan literasi digital dan literasi hukum
masyarakat menjadi benteng pertahanan terakhir agar publik tidak mudah
terprovokasi oleh narasi yang secara mendasar tidak logis dan bertentangan
dengan konsensus institusional negara.1 Ketegasan penegakan hukum terhadap
para produsen dan distributor hoaks, seperti yang ditunjukkan oleh penetapan
delapan tersangka, merupakan langkah penting untuk memastikan perlindungan nama
baik pejabat publik dan integritas institusi negara.



