Minggu, 09 November 2025

Gerakan Politik Dibalik Roy Suryo Cs Terkait Tuduhan Izasah Jokowi

 


Oleh  Harmen Batubara

A. Latar Belakang Isu dan Kontekstualisasi Politik

Isu dugaan pemalsuan ijazah Presiden Republik Indonesia ke-7, Joko Widodo (Jokowi), merupakan salah satu skandal politik digital paling berlarut-larut dalam sejarah politik kontemporer Indonesia. Fenomena ini tidak hanya menantang integritas personal seorang pemimpin nasional, tetapi juga menunjukkan tantangan besar yang dihadapi demokrasi modern di era disinformasi terorganisir. Kasus ini mencuat ke publik sejak tahun 2022 dan terus menjadi perbincangan, terutama melalui media sosial dan kanal digital.1

Serangan terhadap integritas personal Jokowi muncul di tengah periode kepemimpinannya yang ditandai oleh popularitas yang konsisten tinggi, seringkali di atas 75 persen, dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan strategis yang masif dan seringkali kontroversial. Kebijakan-kebijakan ini mencakup pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, implementasi kebijakan BBM satu harga di seluruh Indonesia untuk mewujudkan keadilan sosial, hingga langkah tegas membubarkan organisasi kemasyarakatan yang dianggap bertentangan dengan ideologi negara, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI). Dalam konteks politik, serangan terhadap kredibilitas pribadi seorang pemimpin seringkali menjadi strategi alternatif ketika kritik terhadap kebijakan atau upaya meruntuhkan popularitas melalui jalur konvensional mengalami kegagalan. Tujuan utama tuduhan ijazah palsu adalah meruntuhkan etos kepemimpinan Jokowi, mengimplikasikan bahwa seluruh karier politiknya, mulai dari Walikota hingga Presiden, didasarkan pada penipuan.

B. Metodologi Analisis

Laporan ini menyajikan analisis komprehensif untuk membedah kasus tuduhan ijazah palsu Jokowi. Pendekatan yang digunakan adalah multidisipliner, mencakup aspek hukum, forensik digital, dan komunikasi politik. Analisis bertujuan untuk menjawab pertanyaan krusial: mengapa gerakan tuduhan ini terus dipertahankan dan disebarkan meskipun institusi negara yang berwenang, baik akademik (UGM) maupun penegak hukum (Polri), telah memberikan klarifikasi faktual dan hasil investigasi yang definitif? Analisis ini akan mengidentifikasi "garis merah" yang membuktikan bahwa perpanjangan tuduhan ini merupakan upaya memaksakan narasi alternatif (disinformasi) yang memiliki motif politik, bukan upaya pencarian kebenaran faktual.

Klarifikasi UGM dan Audit Forensik Bareskrim Polri

Landasan fundamental yang membuat tuduhan pemalsuan ijazah menjadi tidak logis terletak pada konsensus institusional yang definitif. Dua pilar otoritas tertinggi, yakni institusi akademik yang menerbitkan ijazah dan lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan uji forensik, telah membantah klaim tersebut secara mutlak.

A. Konsensus Akademik dari Universitas Gadjah Mada (UGM)

Universitas Gadjah Mada (UGM), sebagai institusi akademik yang mengeluarkan ijazah, memegang otoritas primer dalam verifikasi keaslian dokumen tersebut. Pihak UGM telah berulang kali menyampaikan klarifikasi resmi dan tegas mengenai status akademik Joko Widodo.

UGM memastikan bahwa Ir. H. Joko Widodo merupakan mahasiswa yang telah menyelesaikan seluruh proses tridharma perguruan tinggi di UGM. Beliau adalah alumni sah dari Fakultas Kehutanan dan dinyatakan lulus pada tanggal 5 November 1985.1 Klarifikasi ini bukan hanya berupa pernyataan lisan. UGM menegaskan posisi mereka didasarkan pada dokumen resmi yang dimiliki kampus, termasuk catatan lengkap akademik, salinan ijazah, serta skripsi asli yang tersimpan di perpustakaan fakultas.1 Keaslian ini bahkan diperkuat dengan kehadiran sejumlah alumni angkatan 1985 yang membawa dokumentasi wisuda dan foto-foto kegiatan kampus sebagai bukti tambahan.2

Penting untuk dicatat, UGM menegaskan bahwa posisi kampus adalah menjaga netralitas dan hanya memberikan penjelasan berdasarkan dokumen yang dimiliki, bukan dalam rangka membela pihak mana pun.2 UGM juga menyatakan kesiapan untuk bersaksi dan menunjukkan dokumen yang dimiliki kepada pihak yang sah secara hukum, seperti pengadilan.3 Berdasarkan otoritas akademik yang tidak terbantahkan, klarifikasi UGM harusnya menjadi bantahan pertama dan terakhir terhadap sengketa faktual mengenai kelulusan dan dokumen tersebut.

B. Verifikasi dan Audit Forensik Bareskrim Polri

Pilar kebenaran institusional kedua berasal dari proses investigasi mendalam yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri. Proses ini menjamin aspek legalitas dan forensik, melampaui sengketa dokumen semata.

Penyelidikan kasus dugaan ijazah palsu Jokowi dilakukan secara komprehensif dan ilmiah (komprehensif, ilmiah).4 Dalam proses penyidikan, penyidik Polda Metro Jaya berhasil menyita total 723 barang bukti.5 Proses ini melibatkan gelar perkara dan asistensi yang melibatkan berbagai ahli dari internal dan eksternal, termasuk ahli pidana, ahli sosiologi hukum, ahli komunikasi sosial, ahli bahasa, dan ahli ITE.4 Selain itu, penyidik juga memeriksa 39 saksi dari Fakultas Kehutanan UGM dan teman-teman studi Jokowi untuk mengumpulkan keterangan faktual.6

Puncak dari verifikasi ini adalah hasil uji forensik yang dilakukan oleh Pusat Laboratorium Forensik (Puslabfor) Polri. Hasil pemeriksaan terhadap dokumen ijazah Jokowi, baik dari aspek analog maupun digital, menguatkan bahwa ijazah Ir. H. Joko Widodo adalah asli dan sah.1 Pengujian forensik materiil ini melibatkan analisis terhadap tinta, jenis kertas, dan tanda tangan, dan hasilnya menyatakan "tidak ada indikasi pemalsuan".1

Berdasarkan hasil uji Puslabfor dan keterangan saksi yang lengkap, polisi menyimpulkan tidak menemukan unsur pidana dalam kasus dugaan pemalsuan ijazah tersebut, sehingga penyelidikan dihentikan.6

C. Konsensus Institusional sebagai Garis Merah Logika

Ketika klaim penipuan terhadap sebuah dokumen resmi dibantah secara simultan oleh (1) institusi penerbit (UGM) yang memegang arsip primer, dan (2) lembaga penegak hukum (Polri) setelah audit forensik ilmiah yang menyeluruh, secara logika rasional, sengketa faktual harus berakhir. Institusi negara telah mencapai konsensus faktual dan legal. Oleh karena itu, kelanjutan tuduhan yang dilancarkan setelah konsensus ini dicapai secara logis tidak lagi dapat dianggap sebagai upaya mencari kebenaran. Sebaliknya, hal ini harus dibaca sebagai upaya memaksakan narasi alternatif (disinformasi) yang bertujuan merusak kredibilitas institusi resmi.

Tabel 1 merangkum kontras antara klaim penuduh dan hasil verifikasi resmi yang definitif.

Tabel 1: Kontras Faktual dan Legal Ijazah Jokowi

Aspek Verifikasi

Klaim Penuduh (Roy Suryo Cs)

Hasil Klarifikasi UGM/Polri (Fakta Penelitian)

Status Logis

Institusi Penerbit

Diragukan keasliannya

UGM memastikan Jokowi lulus Fakultas Kehutanan, 5 November 1985 1

Definitif/Tidak Terbantahkan

Metode Analisis Klaim

Identik Error Analysis (Ijazah not match, foto rusak/tidak identik) 8

Uji Puslabfor Polri (tinta, kertas, tanda tangan) menyatakan dokumen asli dan sah 1

Gagal/Tidak Diakui Ilmiah (Analisis ad hoc vs. Forensik Negara)

Barang Bukti

Hanya berdasarkan analisis digital salinan

Polri menyita 723 BB, termasuk dokumen asli UGM 5

Kredibilitas Bukti Jauh Berbeda

Status Hukum

Menuntut audit ad hoc independen 9

8 orang ditetapkan sebagai tersangka fitnah/disinformasi 4

Pidana (Tuduhan dianggap fitnah dan manipulasi data)

Mengurai Logika yang Tidak Rasional

Untuk mempertahankan narasi palsu di hadapan fakta institusional, kelompok penuduh memerlukan kemasan yang tampak teknis dan ilmiah. Dalam kasus ini, peran tersebut dimainkan oleh Roy Suryo yang menobatkan dirinya sebagai “Pakar Telematika,” bersama timnya termasuk Dr. Tifa dan Rismon Hasiholan Sianipar.

A. Basis Tuduhan Pseudo-Ilmiah

Roy Suryo secara berlebihan menyatakan keyakinannya bahwa ijazah Jokowi 99,9% palsu.10 Keyakinan absolut yang disajikan di ruang publik ini, meskipun tanpa didukung audit institusional resmi, efektif menciptakan narasi yang kredibel di mata publik awam.

Metode yang mereka gunakan disebut Identik Error Analysis. Berdasarkan analisis ini, Roy Suryo dan timnya menyatakan bahwa ijazah Jokowi "tidak match" atau "rusak" jika dibandingkan dengan ijazah pembanding milik tiga rekan Jokowi, yaitu Hari Mulyono, Frono Jiwo, dan Sri Murtiningsih, yang hasilnya dianggap "match".8 Poin spesifik yang menjadi fokus klaim digital forensik mereka adalah adanya foto pada ijazah yang tampak rusak dan tidak identik dengan foto asli Jokowi.8

Upaya untuk memberikan otoritas pada tuduhan ini diwujudkan melalui publikasi buku berjudul Jokowi's White Paper. Penerbitan buku ini, yang dilakukan oleh Roy Suryo dkk., bertujuan memberikan kesan bahwa temuan mereka adalah hasil analisis otoritatif dan ilmiah.11

B. Analisis Kekeliruan Logika Forensik

Klaim yang didasarkan pada Identik Error Analysis dan analisis digital salinan ijazah menunjukkan kekeliruan fundamental karena mengabaikan konteks arsip non-digital dan mengesampingkan uji forensik materiil yang kredibel.

Pertama, fokus pada "kerusakan" atau ketidakidentikan foto/format ijazah mengabaikan realitas dokumentasi arsip yang diterbitkan pada era 1980-an (sebelum era digital). Ijazah lama rentan terhadap degradasi fisik, kerusakan tinta atau kertas, serta adanya perbedaan kecil dalam proses pencetakan yang bersifat manual antar-angkatan. Menggunakan perbandingan digital modern (pixel-by-pixel) terhadap dokumen lama yang telah beredar di media sosial sebagai dasar klaim pemalsuan adalah metodologi yang cacat tanpa pengujian materi primer yang sesungguhnya.

Kedua, hasil analisis digital yang diklaim Roy Suryo tidak dapat menandingi uji forensik materiil yang dilakukan oleh Puslabfor Polri. Ketika Puslabfor menguji dokumen fisik ijazah dari UGM dengan menganalisis tinta, jenis kertas, dan tanda tangan—yang merupakan bukti fisik otentikasi dokumen 1—klaim Roy Suryo dkk. yang hanya berfokus pada salinan digital dianggap "tidak ilmiah dan menyesatkan publik" oleh penyidik.5

Ketiga, tuntutan kelompok penuduh agar dilakukan audit forensik melalui lembaga ad hoc yang inklusif, independen, dan kredibel 9 muncul setelah UGM dan Bareskrim telah memberikan kesimpulan resmi. Tindakan ini disinyalir bukan untuk mencari bukti baru (novum), melainkan untuk menciptakan keraguan publik terhadap hasil resmi negara dan menunda proses hukum yang mulai menyasar mereka. Kelompok ini secara efektif mengubah cacat arsip (misalnya, foto lama yang rusak) menjadi dalih untuk disinformasi massal, memanfaatkan kredibilitas digital Roy Suryo.

C. Mengubah Keraguan Teknis Menjadi Senjata Politik

Dalam strategi disinformasi, argumen yang efektif bukanlah yang mudah dibantah secara universal, melainkan argumen yang tampak 'teknis' dan 'ilmiah'. Roy Suryo, dengan latar belakangnya, berhasil menggunakan jargon forensik digital (seperti Identik Error Analysis) untuk menciptakan fuzziness (ketidakjelasan) di mata publik awam. Jika publik bingung, mereka cenderung memilih untuk tidak percaya (skeptis) terhadap versi resmi, meskipun versi resmi didukung oleh fakta akademik dan forensik.

Keberadaan dua klaster tersangka (Klaster II sebagai produsen narasi dan Klaster I sebagai penyebar konten) 4 mengindikasikan bahwa tuduhan ijazah palsu adalah rantai produksi dan distribusi disinformasi yang terorganisir. Operasi ini beroperasi di ranah teknis untuk memproduksi keraguan, dan di ranah publik untuk mendistribusikannya secara masif, menegaskan bahwa tujuannya adalah fungsional politik, bukan kebenaran faktual.

 Analisis Komunikasi Politik Delegitimasi

Garis merah yang menjelaskan mengapa tuduhan ijazah palsu ini dipertahankan meski tidak logis secara faktual adalah bahwa seluruh gerakan ini berakar pada motif politik delegitimasi yang sistematis. Tuduhan tersebut merupakan hoaks yang sengaja dirancang sebagai alat komunikasi politik.

A. Anatomi Hoaks Politik dan Skandal Kepercayaan

Isu dugaan pemalsuan ijazah Jokowi telah diidentifikasi sebagai alat komunikasi politik yang disebarkan secara sistematis, terutama sebagai bagian dari upaya narasi politik menjelang Pemilu 2024.1 Tujuannya melampaui sengketa dokumen; tujuannya adalah merusak integritas demokrasi dan menciptakan keresahan publik.13 Ketua Umum Pasbata Prabowo, David Febrian, bahkan menyebut isu ini sebagai bentuk pembodohan rakyat yang sangat berbahaya, karena tidak hanya menyerang pribadi, tetapi juga merusak martabat bangsa dan kepercayaan terhadap sistem pendidikan nasional.13

Meskipun UGM dan Polri telah memberikan konfirmasi yang sah, opini publik tetap terpecah. Analisis sentimen berbasis algoritma terhadap ribuan komentar di media sosial menunjukkan bahwa sekitar 47,6% sentimen cenderung negatif terhadap isu ijazah tersebut.1 Survei Indikator Politik mengonfirmasi bahwa terdapat sekitar 4.8 persen responden sangat percaya dan 14.3 persen percaya bahwa ijazah Jokowi palsu, menunjukkan total sekitar 19.1% populasi telah berhasil ditanamkan keraguan oleh hoaks ini.14

Persebaran tuduhan ini juga dimungkinkan oleh rendahnya literasi arsip masyarakat, di mana publik sulit membedakan dokumen arsip lama dari dokumen modern, serta rendahnya literasi digital terhadap hoaks yang diproduksi menggunakan teknologi seperti artificial intelligence (AI), yang dapat memproduksi disinformasi secara masif dan berulang.1

B. Konsekuensi Hukum dan Kredibilitas Penuduh

Dalam menghadapi serangan disinformasi ini, Presiden Jokowi mengambil langkah hukum dengan melaporkan dugaan fitnah dan pencemaran nama baik terkait tuduhan ijazah palsu ke Polda Metro Jaya.4 Laporan ini ditindaklanjuti dengan proses penyidikan yang komprehensif.

Hasil penyidikan Polda Metro Jaya berujung pada penetapan delapan orang sebagai tersangka, yang dibagi menjadi dua klaster 4:

1.      Klaster I (Penyebar Konten): Terdiri dari ES, KTR, MRF, RE, dan DHL.

1.      Klaster II (Analisis dan Produsen Narasi): Terdiri dari Roy Suryo (RS), Rismon Hasiholan Sianipar (RHS), dan Tifauziah Tyassuma (TT).

Para tersangka dijerat dengan pasal berlapis, termasuk Pasal 310 dan/atau Pasal 311 KUHP (Pencemaran Nama Baik/Fitnah), Pasal 160 KUHP (Penghasutan), serta Pasal 27A, 28, 32, dan 35 juncto pasal terkait dalam Undang-Undang ITE.4 Kesimpulan penyidik adalah para tersangka telah menyebarkan tuduhan palsu, mengedit, serta melakukan manipulasi digital terhadap dokumen ijazah Jokowi menggunakan "metode analisis yang tidak ilmiah dan menyesatkan publik".5 Penetapan tersangka ini menguatkan bahwa tuduhan ini bukan lagi kritik, melainkan fitnah dan kejahatan siber terorganisir.

Kredibilitas penuduh utama, Roy Suryo, juga perlu dipertimbangkan dalam konteks ini. Sebelumnya, Roy Suryo pernah divonis 9 bulan penjara dan denda sebesar Rp 150 juta dalam kasus penyebaran meme stupa Candi Borobudur yang diedit wajah Jokowi.16 Pola perilaku hukum Roy Suryo, yang berulang kali menggunakan medium digital untuk kontroversi yang berujung pada tindak pidana pencemaran nama baik dan manipulasi digital, memperkuat dugaan bahwa tuduhan ijazah palsu ini adalah bagian dari strategi politik berkelanjutan yang menggunakan disinformasi digital.


C. Hoaks sebagai Model Bisnis Politik Digital

Garis merah utama dari gerakan ini adalah bahwa tujuannya bukan untuk memenangkan sengketa fakta (karena UGM dan Polri telah bersuara), melainkan untuk mempertahankan discourse keraguan. Dalam politik post-truth, narasi yang kontroversial, terutama yang dikemas dengan istilah ilmiah semu (White Paper, Identik Error Analysis), memiliki nilai politik yang tinggi karena mampu menghasilkan polarisasi dan engagement digital.

Kasus ijazah palsu Jokowi ini secara jelas menunjukkan bagaimana hoaks dan disinformasi telah berevolusi menjadi model bisnis politik digital yang terorganisir. Tuduhan tersebut dipertahankan karena secara fungsional, hal itu berhasil mencapai tujuan delegitimasi dengan menggerogoti kredibilitas pemimpin, yang pada akhirnya merusak kehormatan negara.13 Tuduhan tersebut, walaupun tidak logis, secara strategis efektif dalam menciptakan krisis kepercayaan dan memecah belah opini publik.

Tabel 2: Dinamika Hukum dan Komunikasi Para Tersangka Klaster

Klaster Tersangka

Tokoh Kunci

Peran Komunikasi/Metode

Pasal Kunci yang Dikenakan (Implikasi Hukum)

Klaster II (Analisis/Produsen Narasi)

Roy Suryo (RS), Rismon Sianipar (RHS), Tifauziah Tyassuma (TT) 4

Memproduksi dan mengklaim analisis ‘ilmiah’ (Jokowi's White Paper, Analisis Foto Rusak), menggunakan metode yang disimpulkan penyidik sebagai tidak ilmiah 5

UU ITE Pasal 32 & 35 (Manipulasi/Perubahan Data Elektronik) dan KUHP 310/311 4

Klaster I (Penyebar Konten)

ES, KTR, MRF, RE, DHL 4

Menyebarkan tuduhan dan konten manipulatif, termasuk penghasutan, di ruang publik dan media sosial 5

UU ITE Pasal 27A & 28 (Penyebaran Informasi Palsu) dan KUHP 160 (Penghasutan) 4

Konsensus Polri

Total 8 Tersangka

Menyebarkan tuduhan palsu, mengedit, serta melakukan manipulasi digital dengan metode yang tidak ilmiah dan menyesatkan publik 5

Penegasan bahwa tindakan ini adalah fitnah dan kejahatan siber terorganisir.

Kesimpulan dan Rekomendasi

A. Rekapitulasi Definitif

Analisis data penelitian menegaskan bahwa tuduhan pemalsuan ijazah Presiden Joko Widodo oleh Roy Suryo Cs adalah tuduhan yang secara faktual dan legal tidak logis dan tidak dapat diterima oleh akal sehat. Ketidaklogisan ini berpangkal pada dua fakta yang tidak terbantahkan:

Universitas Gadjah Mada (UGM) telah memastikan bahwa Jokowi adalah alumni sah Fakultas Kehutanan, lulus pada 5 November 1985, berdasarkan arsip akademik primer.1

Bareskrim Polri melalui uji forensik Puslabfor terhadap tinta, kertas, dan tanda tangan, menyimpulkan bahwa dokumen tersebut adalah asli dan sah, serta menyingkirkan dugaan pemalsuan pidana.1

B. Garis Merah Politik Delegitimasi

Garis merah di balik gerakan Roy Suryo Cs adalah tujuan politik fungsional untuk delegitimasi. Ketika bukti faktual absolut (UGM dan Puslabfor) menyatakan keaslian dokumen, kelompok penuduh merespons dengan strategi Identik Error Analysis yang secara ilmiah cacat, semata-mata untuk menciptakan narasi keraguan yang sulit dibantah oleh publik awam.

Ketidakberhasilan penuduh untuk menunjukkan cacat dalam penyelidikan Bareskrim atau memberikan bukti baru (novum), ditambah dengan pola perilaku hukum Roy Suryo yang berulang dalam kasus disinformasi digital sebelumnya, menguatkan kesimpulan bahwa gerakan ini adalah operasi disinformasi terorganisir, dirancang untuk merusak integritas pemimpin di tengah tingginya popularitas dan keberanian dalam mengambil kebijakan-kebijakan strategis negara. Penetapan delapan tersangka dalam dua klaster menunjukkan adanya rantai produksi dan distribusi yang sistematis.

C. Prospek Demokrasi Indonesia

Kasus ijazah Jokowi ini menjadi studi kasus penting mengenai bagaimana hoaks dijadikan alat politik sistematis di Indonesia. Perluasan tuduhan ke ranah teknis, yang kemudian dibungkus dalam narasi 'ilmiah' seperti White Paper, adalah taktik baru dalam perang narasi digital.

Untuk melindungi integritas demokrasi Indonesia dari ancaman disinformasi terorganisir, diperlukan sinergi yang kuat antara lembaga hukum, media, dan sistem pendidikan. Peningkatan literasi digital dan literasi hukum masyarakat menjadi benteng pertahanan terakhir agar publik tidak mudah terprovokasi oleh narasi yang secara mendasar tidak logis dan bertentangan dengan konsensus institusional negara.1 Ketegasan penegakan hukum terhadap para produsen dan distributor hoaks, seperti yang ditunjukkan oleh penetapan delapan tersangka, merupakan langkah penting untuk memastikan perlindungan nama baik pejabat publik dan integritas institusi negara.