Rabu, 29 Oktober 2025

Kolaborasi Yang Menjamin Kebebasan Bernavigasi di Laut China Selatan

 


Oleh Harmen Batubara

Pendahuluan: Strategi Hedging ASEAN dan Ujian Tatanan Maritim

 Kawasan Asia Tenggara, yang berada di jantung Indo-Pasifik, terus menghadapi tantangan geopolitik yang mendalam. Kemampuan regional untuk mempertahankan perdamaian dan stabilitas menjadi penentu arah tatanan maritim global. Bukti kemampuan dialog dan konsensus ASEAN terlihat dari keberhasilan para pemimpinnya dalam memediasi dan mendamaikan sengketa perbatasan, seperti yang terjadi antara Thailand dan Kamboja, menegaskan kredibilitas ASEAN sebagai penengah regional [Konteks Awal Query]. Kredibilitas ini menjadi landasan mengapa sentralitas ASEAN tetap diakui dalam arsitektur regional yang lebih luas.1

Namun, Laut China Selatan (LCS) menawarkan ujian yang jauh lebih kompleks dan fundamental: apakah kawasan ini akan diatur oleh norma hukum internasional—khususnya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982—atau oleh kekuatan militer (might makes right).2 Bagi negara-negara anggota ASEAN, termasuk Indonesia, isu ini merupakan kepentingan nasional yang vital, bukan hanya karena perlindungan kedaulatan, tetapi juga karena peran LCS sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional utama.3 Indonesia, meskipun secara resmi menegaskan tidak memiliki klaim sengketa teritorial di LCS, memiliki kepentingan yang besar dalam menjaga stabilitas keamanan pelayaran dan melindungi hak-hak berdaulatnya di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).3

 Mengelola Risiko Melalui Strategi Lindung Nilai (Hedging) ASEAN

 ASEAN telah mengadopsi strategi hedging (lindung nilai) yang canggih untuk mengelola persaingan kekuatan besar antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok. Strategi ini dicirikan oleh fragmentasi kerja sama, memisahkan domain keamanan dan normatif dari domain ekonomi dan resiliensi, untuk memastikan bahwa gangguan di satu sektor tidak melumpuhkan hubungan secara keseluruhan.

 Kemitraan Strategis Komprehensif (CSP) dengan AS: Perisai Normatif

Pembentukan Kemitraan Strategis Komprehensif (CSP) ASEAN-AS bertujuan untuk memperkuat arsitektur regional yang berpusat pada ASEAN dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip hukum internasional.1 CSP berfungsi sebagai jangkar normatif dan keamanan yang kuat. Kemitraan ini menegaskan kembali dukungan terhadap ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP), yang menekankan tatanan terbuka, inklusif, dan berbasis aturan.1

Dalam kerangka ini, kerja sama maritim dipromosikan melalui mekanisme yang dipimpin ASEAN (seperti ASEAN Defence Ministers’ Meeting Plus/ADMM-Plus) dengan fokus pada peningkatan kesadaran domain maritim (maritime domain awareness/MDA), pencarian dan penyelamatan, dan keselamatan maritim.1 AS juga berkomitmen untuk mendukung peningkatan kapasitas maritim negara-negara pesisir.4 Pendekatan ini merupakan upaya kolektif untuk menjaga status quo yang diatur oleh hukum internasional, sekaligus menguji kredibilitas strategi Indo-Pasifik yang Bebas dan Terbuka (FOIP) AS.4 Dengan dukungan finansial dan program yang signifikan, CSP memperkuat norma ASEAN di tengah tekanan kekuatan besar.

 ASEAN Plus Three (APT) dengan Tiongkok: Insentif Ekonomi

 Di sisi lain, ASEAN memperkuat kerja sama dengan Tiongkok melalui kerangka ASEAN Plus Three (APT), yang juga mencakup Jepang dan Korea Selatan.5 Fokus kerja sama APT adalah pada ketahanan ekonomi, keuangan, dan pangan, seperti yang disoroti dalam KTT APT 2025.5

Pendekatan ini sangat strategis. Meskipun Tiongkok menolak mekanisme yang dipimpin AS untuk menyelesaikan sengketa kedaulatan, Tiongkok sangat bergantung pada stabilitas ASEAN untuk rantai pasoknya. Stabilitas perairan LCS merupakan prasyarat bagi rantai pasok global; bahkan gangguan non-kinetik dapat menciptakan "pajak logistik" yang merugikan ekonomi regional.4 Oleh karena itu, melalui APT, ASEAN memberikan insentif ekonomi kepada Tiongkok untuk menjaga stabilitas jalur pelayaran niaga. Strategi hedging ini bertujuan untuk mengisolasi isu keamanan (yang ditangani dengan CSP) dari isu ekonomi vital (yang ditangani dengan APT), sehingga secara efektif mencegah isu LCS mencemari seluruh hubungan Tiongkok-ASEAN.



Anatomis Ancaman: Skenario Konflik Paling Realistis di Laut China Selatan

Skenario konflik yang paling realistis di LCS bukanlah perang konvensional berskala penuh, melainkan eskalasi koersi zona abu-abu yang bertujuan untuk membangun kontrol de facto secara bertahap, yang berpotensi memicu konfrontasi militer terbatas.

Karakteristik Koersi Zona Abu-Abu Tiongkok

Tiongkok secara konsisten menggunakan instrumen semi-negara, terutama Penjaga Pantai Tiongkok (China Coast Guard/CCG) dan Milisi Maritim Tiongkok (China Maritime Militia/CMM), untuk melakukan koersi bertingkat rendah.4 Taktik ini dirancang untuk mencapai tujuan strategis—memperluas strategic depth dan mempertahankan core interests—tanpa memicu respons militer konvensional yang setara dari negara-negara klaiman atau sekutu eksternal seperti AS.4

Strategi Tiongkok adalah konflik intensitas lambat (slow intensity conflict) atau koersi intensitas rendah (low-intensity coercion), di mana langkah-langkah bertahap digunakan untuk memperluas kendali de facto atas wilayah sengketa.7 Dalam konteks ini, Tiongkok berupaya memaksakan tatanan maritimnya sendiri.4

Eskalasi Taktis: Kasus Filipina di Tahun 2024

 Tahun 2024 menunjukkan peningkatan signifikan dalam intensitas taktis koersi Tiongkok. Insiden-insiden di West Philippine Sea (nama Filipina untuk ZEE-nya di LCS) menjadi fokus utama. Tiongkok meningkatkan intimidasi, pelecehan, dan koersi terhadap kapal-kapal Angkatan Laut, Penjaga Pantai Filipina (PCG), dan kapal sipil.8

Eskalasi paling parah terjadi di Second Thomas Shoal (terkait dengan BRP Sierra Madre). Untuk menghalangi misi rotasi dan pasokan ulang (RORE) Filipina, Tiongkok menggunakan manuver berbahaya, penabrakan yang disengaja (ramming), dan meriam air bertekanan tinggi.8 Tingkat kekerasan mencapai titik kritis pada Juni 2024, di mana personel Tiongkok dipersenjatai dengan senjata tajam seperti kapak dan tombak untuk secara fisik menghalangi operasi Filipina.8 Selain itu, Tiongkok menyempurnakan taktik pengerahan massa, mengerahkan jumlah kapal yang sangat besar—mencapai 207 kapal dari PLAN, CCG, dan CMM—setelah konfrontasi di Sabina Shoal.8

Peningkatan intensitas koersi ini, meskipun tetap berada di bawah ambang batas perang, berfungsi untuk mengikis moral dan kemampuan logistik negara-negara klaiman secara bertahap, memaksa mereka menerima kontrol de facto Tiongkok. Analisis menunjukkan bahwa Tiongkok dengan sadar meningkatkan koersinya tetapi menjaga konflik di bawah ambang batas yang akan memicu respons militer penuh dari AS. Tujuannya adalah mencapai kontrol teritorial melalui kelelahan (wear down) tanpa mempertaruhkan konflik kinetik langsung.

Strategi Penegasan Hukum (Lawfare) Tiongkok

 Upaya Tiongkok untuk memperluas kendali de facto didukung oleh kebijakan lawfare, yaitu penggunaan hukum domestik untuk melegitimasi agresi di perairan internasional. Tindakan ini menciptakan tatanan maritim yang terfragmentasi, di mana Tiongkok mengklaim yurisdiksi berdasarkan hukum domestik, yang secara eksplisit bertentangan dengan prinsip-prinsip UNCLOS.4

1.    Undang-Undang Coast Guard (2021): Undang-undang ini memberikan wewenang kepada CCG untuk menggunakan kekuatan mematikan (lethal force) terhadap kapal asing yang beroperasi di "perairan di bawah yurisdiksi Tiongkok," termasuk wilayah sengketa. Hal ini memberikan kedok hukum (ostensible legal cover) bagi tindakan agresif CCG.7

2.    Undang-Undang Keselamatan Lalu Lintas Maritim (Amandemen 2024/2025): Amandemen yang mulai berlaku pada akhir tahun 2025 ini secara ilegal membatasi hak lintas damai (innocent passage) di laut teritorial Tiongkok. Lebih lanjut, amandemen ini secara tidak sah membatasi hak komunitas internasional untuk melakukan survei hidrografi dan militer di luar laut teritorial.9

Tindakan lawfare ini menciptakan hubungan sebab-akibat yang langsung: hukum domestik Tiongkok bertindak sebagai landasan bagi koersi zona abu-abu yang bertujuan merusak norma UNCLOS, mengubah LCS menjadi medan uji perang narasi hukum dan penegakan. Langkah Tiongkok untuk mengeluarkan koordinat garis pangkal di sekitar Scarborough Shoal (Huangyan Dao) dan mendaftarkannya ke PBB 8 adalah bagian dari upaya memformalisasi klaim kedaulatan ini.

Skenario Konflik Paling Realistis: Kegagalan De-Eskalasi

Konflik yang paling realistis adalah insiden maritim kecil yang gagal diredakan, sehingga meningkat menjadi konfrontasi militer terbatas.

Pemicu krisis yang mungkin terjadi adalah insiden di mana nelayan atau kapal penjaga pantai kecil ditembak oleh kapal Coast Guard Tiongkok di perairan sengketa.11 Jika mekanisme de-eskalasi dan hotline komunikasi gagal berfungsi atau tidak dipercaya, insiden ini dapat dengan cepat memicu pengerahan kapal perang (PLAN dan Angkatan Laut AS/sekutu) untuk melindungi aset mereka atau sekutu.4 Eskalasi semacam ini dapat menyebabkan penutupan atau pemblokiran jalur laut vital (sea-lane closure), bahkan jika hanya melalui gangguan non-kinetik yang ekstrem, dan pada akhirnya menimbulkan "pajak logistik" yang merugikan ekonomi global.4

 Paradigma Kebebasan Navigasi: Batasan yang Dapat Diterima Tiongkok

Kebebasan Bernavigasi (FON) menjadi inti perselisihan normatif di LCS, di mana interpretasi universal UNCLOS bertentangan langsung dengan klaim restriktif yang dipaksakan oleh Tiongkok.

Hak Navigasi Universal di Bawah UNCLOS 1982

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 diakui secara luas sebagai kerangka hukum utama untuk mengatur batas maritim dan aktivitas laut.2 UNCLOS menjamin Kebebasan Bernavigasi dan Penerbangan bagi semua kapal, termasuk kapal perang, kapal dagang, dan kapal survei, di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE)—wilayah yang membentang dari 12 hingga 200 mil laut dari garis pangkal.2 Di ZEE, kapal tidak memerlukan izin atau notifikasi dari negara pesisir, dan yurisdiksi negara pesisir terbatas pada pemanfaatan sumber daya alam. Keputusan Arbitrase PCA 2016, meskipun ditolak oleh Tiongkok, memperkuat penolakan terhadap klaim garis sembilan-titik (Nine-Dash Line) yang tidak sesuai dengan UNCLOS.12

Interpretasi Restriktif Tiongkok (Conditional Navigation)

Tiongkok, dalam upaya memperluas yurisdiksi maritimnya dan membangun kedalaman strategis, menolak interpretasi kebebasan navigasi universal ini. Jurubicara Tiongkok secara eksplisit menyatakan bahwa kebebasan navigasi yang dimaksud oleh AS dan sekutu adalah "memasuki Laut China Selatan tanpa izin".13

Navigasi yang Diterima dan Ditolak

Tiongkok cenderung hanya menerima jenis navigasi yang murni komersial—kapal dagang, tanker, kapal ikan yang tidak melanggar yurisdiksi yang diklaim.2 Namun, Tiongkok secara tegas menolak dan secara aktif melawan kegiatan kapal militer asing, terutama yang melakukan survei hidrografi, operasi intelijen, atau manuver yang dianggap mengancam keamanan nasional Tiongkok secara umum.9

Upaya ini untuk membatasi pergerakan kapal militer asing di ZEE merupakan strategi untuk secara fungsional memperlakukan ZEE yang diklaimnya seolah-olah itu adalah laut teritorial yang diperluas. Jika Tiongkok berhasil memaksakan model "Navigasi Bersyarat" ini, ia akan menciptakan preseden global yang merusak UNCLOS, mengubah keseimbangan kekuatan maritim, dan secara efektif membatasi proyeksi kekuatan AS dan sekutunya di Indo-Pasifik. Konflik LCS, oleh karena itu, adalah pertarungan untuk mempertahankan keterbukaan maritim atau bergerak menuju tatanan maritim yang terfragmentasi di bawah pengaruh kekuatan besar.4

Tabel 1: Definisi Kebebasan Bernavigasi di Laut China Selatan: Kontras Hukum dan Praktik

Aspek Hukum

Interpretasi UNCLOS (Posisi Mayoritas ASEAN/AS)

Posisi dan Klaim Tiongkok

Implikasi Terhadap Stabilitas

Hak Lintas Kapal Militer di ZEE

Bebas (Freedom of Navigation), tidak memerlukan izin, tunduk pada kehati-hatian navigasi.2

Menolak FON untuk kapal militer/survei asing tanpa izin/notifikasi; menganggapnya ancaman keamanan.9

Peningkatan insiden koersi terhadap kapal militer AS dan sekutu (uji kredibilitas FOIP).4

Penerapan Hukum Domestik

Yurisdiksi terbatas pada ZEE terkait sumber daya dan lingkungan.

Penerapan UU Coast Guard (2021) dan UU Lalu Lintas Maritim (2025) di perairan sengketa, mengizinkan penggunaan kekuatan mematikan.7

Legalitas operasional untuk agresi zona abu-abu (Lawfare) terhadap negara-negara klaiman (misalnya Filipina).8

Penyelesaian Sengketa

Harus diselesaikan secara damai, menghormati hukum internasional (termasuk keputusan PCA 2016).12

Pendekatan "menunda sengketa" (shelving the disputes); menolak arbitrase 2016; konsultasi bilateral/regional.15

Menghambat kemajuan COC dan mencegah penyelesaian hukum yang mengikat.16

 

Kolaborasi Berbasis Aturan: Jalan Menuju Stabilitas Maritim

 Kolaborasi yang menjamin kebebasan navigasi harus berakar pada penegasan aturan internasional, seperti UNCLOS, sambil membangun mekanisme manajemen risiko operasional yang dapat meredam eskalasi secara cepat.

Menjaga Integritas UNCLOS dan AOIP

UNCLOS, yang menyediakan kerangka hukum yang jelas untuk batas maritim dan pengelolaan sumber daya, tetap menjadi solusi yang paling cocok dan sah dalam mengatasi permasalahan sengketa di LCS.2 ASEAN harus terus menggunakan UNCLOS sebagai dasar untuk semua pernyataan dan kerja sama eksternal, memastikan bahwa integritas hukum internasional tetap menjadi norma yang tak terhindarkan.

Inisiatif regional yang dipimpin Indonesia, seperti ASEAN Maritime Outlook (AMO) 17, dan dukungan terhadap ASEAN Outlook on the Indo-Pacific (AOIP) yang diperkuat oleh CSP AS, berfungsi sebagai kompas strategis. AOIP mempromosikan arsitektur regional yang terbuka dan berbasis aturan.1 Kolaborasi dalam kerangka CSP secara khusus mendukung tujuan ASEAN untuk mengimplementasikan AOIP dengan menjunjung tinggi prinsip UNCLOS, termasuk kebebasan navigasi.1

Memaksimalkan Nilai Code of Conduct (COC)

Negosiasi Code of Conduct (COC) antara ASEAN dan Tiongkok berupaya menciptakan seperangkat aturan perilaku maritim untuk mencegah insiden.15 Namun, kemajuan negosiasi ini berjalan lambat (slow progress) di tahun 2024.8 Hambatan politik utama yang menghambat penyelesaian COC adalah:

1.    Lingkup Geografis: Ketidaksepakatan mengenai wilayah LCS mana yang secara eksplisit akan dicakup oleh COC.16

2.    Keterlibatan Pihak Eksternal: Tiongkok secara konsisten berupaya membatasi peran atau kehadiran kekuatan luar (extra-regional powers) dalam kerangka kerja LCS, sebuah poin yang sangat penting bagi negara-negara klaiman ASEAN yang mencari penyeimbang kekuatan.16

Agar COC efektif, harus mencakup klausul yang minimal dapat ditegakkan (minimum enforceable clauses), dan bukan hanya sekadar deklarasi niat.4 Keterlambatan ini menunjukkan bahwa solusi komprehensif jangka panjang masih menemui jalan buntu politik yang besar.



Prioritas Manajemen Krisis dan CBMs

Mengingat kemacetan negosiasi COC, kolaborasi harus diarahkan pada mekanisme manajemen krisis dan Confidence-Building Measures (CBMs) operasional sebagai prioritas jangka pendek. Mekanisme "ASEAN Way," yang menekankan musyawarah dan toleransi, terlalu lambat dan tidak memadai untuk meredam konflik maritim berintensitas tinggi yang dapat berkembang cepat.11

CBMs adalah prosedur terencana yang bertujuan mencegah permusuhan dan mengurangi ketegangan militer.15 Mekanisme de-eskalasi teknis yang mendesak meliputi:

1.    Mekanisme Transparansi Insiden: Memprioritaskan mekanisme transparansi insiden (incident transparency mechanism) untuk memastikan semua pihak memiliki pengetahuan yang dapat dipercaya dan dapat ditindaklanjuti mengenai situasi di laut.4

2.    Hotline Operasional: Pembentukan dan pengujian hotline komunikasi yang operasional dan terpercaya antara lembaga penegak hukum maritim untuk de-eskalasi teknis.4

Tiongkok harus didorong untuk bersedia menguji mekanisme de-eskalasi teknis ini di luar kerangka formal COC, sebagai langkah mitigasi risiko dan sinyal niat baik.4 Keberhasilan dalam CBMs dapat membangun kepercayaan minimum yang diperlukan untuk membuka jalan negosiasi politik yang lebih sulit dalam COC. Solusi praktis saat ini terletak pada manajemen risiko operasional sehari-hari. 

Tabel 2: Sinergi Mekanisme ASEAN dalam Strategi Lindung Nilai (Hedging) untuk Stabilitas LCS

Mekanisme Kolaborasi

Fokus Mitra Utama

Peran Strategis di LCS

Kaitannya dengan Kebebasan Navigasi (FON)

Kemitraan Strategis Komprehensif (CSP)

Amerika Serikat 1

Peningkatan Kapasitas Keamanan Maritim (MDA, ADMM-Plus) dan Penegakan Hukum Normatif.1

Perisai Normatif: Menjunjung tinggi UNCLOS 1982 dan FON (sebagai penyeimbang terhadap koersi Tiongkok). Mendukung postur integrated deterrence AS.4

ASEAN Plus Three (APT)

Tiongkok, Jepang, Korea 5

Kerangka Ketahanan Ekonomi, Keuangan, Pangan, dan Rantai Pasok Regional.4

Insentif Ekonomi: Memastikan stabilitas pelayaran niaga dan logistik, memberikan insentif bagi Tiongkok untuk menghindari sea-lane closure.4

Code of Conduct (COC)

Tiongkok (dan ASEAN) 16

Kerangka Pengaturan Perilaku Maritim dan Mekanisme Pencegahan Insiden.15

Manajemen Krisis Jangka Panjang: Menciptakan mekanisme transparansi insiden dan saluran komunikasi resmi yang mengikat (jika berhasil disepakati).

Kesimpulan dan Rekomendasi Strategis

Laut China Selatan tetap menjadi medan uji utama apakah tatanan Indo-Pasifik akan mempertahankan keterbukaan atau bergerak menuju fragmentasi di bawah pengaruh kekuatan besar. Kolaborasi yang menjamin Kebebasan Bernavigasi adalah kolaborasi ganda. Pertama, FON harus dilindungi secara normatif melalui penegasan UNCLOS yang didukung oleh Kemitraan Strategis Komprehensif (CSP) ASEAN-AS. Kedua, FON harus didukung secara ekonomis melalui kerangka kerja sama ASEAN Plus Three (APT), yang menyediakan insentif bagi Tiongkok untuk menjaga stabilitas jalur pelayaran komersial.

Kebebasan navigasi yang dapat diterima oleh Tiongkok saat ini sangat terbatas (Conditional Navigation), yaitu hanya navigasi komersial murni yang tidak menantang klaim kedaulatan Tiongkok di ZEE.13 Jika Tiongkok terus memaksakan kehendaknya melalui intensifikasi koersi zona abu-abu dan legitimasi melalui lawfare (UU Coast Guard 2021 dan UU Lalu Lintas Maritim 2025), kawasan ini akan menghadapi tatanan maritim yang terfragmentasi, di mana aturan hukum berlaku secara diskresioner, tergantung pada kekuatan dan klaim kedaulatan Tiongkok. 

Rekomendasi Kebijakan bagi ASEAN

Untuk menjamin kebebasan bernavigasi dan stabilitas di tengah persaingan ini, ASEAN harus mengambil langkah-langkah strategis berikut:

1.    Memperkuat Sentralitas UNCLOS: ASEAN harus secara konsisten dan kolektif menggunakan UNCLOS 1982 dan keputusan Arbitrase PCA 2016 sebagai dasar untuk semua upaya diplomasi dan kerja sama eksternal, untuk menjaga integritas hukum internasional sebagai standar yang tak terhindarkan.12

2.    Prioritas De-Eskalasi Teknis (CBMs): Fokus harus dipindahkan dari negosiasi politik COC yang macet ke implementasi CBMs operasional dan teknis. Tiongkok harus didesak untuk menguji hotline operasional dan mekanisme transparansi insiden sebagai prasyarat untuk mencegah insiden zona abu-abu meningkat menjadi konfrontasi militer.4 Mendorong CBMs adalah "pajak" yang harus dibayar Beijing untuk menghindari coalition balancing yang lebih luas.4

3.    Peningkatan Kapasitas Penegakan Hukum Maritim: Melalui dukungan CSP, ASEAN harus memprioritaskan peningkatan maritime domain awareness (MDA) dan interoperabilitas antar lembaga penegak hukum maritim negara-negara pesisir. Kapasitas yang lebih besar memungkinkan negara-negara klaiman untuk merespons koersi zona abu-abu secara efektif tanpa segera bergantung pada aset militer penuh atau meminta intervensi militer eksternal.1

4.    Membangun Resiliensi Logistik Regional: ASEAN dan mitra eksternalnya harus mendukung resiliensi logistik dan pengembangan rute alternatif (alternative routing) untuk memitigasi risiko penutupan jalur laut. Langkah ini memperkuat daya tawar ekonomi ASEAN terhadap pihak manapun yang mengancam stabilitas maritim global.4

Referensi yang Dikutip

1.    ASEAN-U.S. Leaders' Statement on the Establishment of the ASEAN ..., diakses Oktober 29, 2025, https://asean.usmission.gov/asean-u-s-leaders-statement-on-the-establishment-of-the-asean-u-s-comprehensive-strategic-partnership/

2.    Implementasi Peraturan dan Peran UNCLOS Dalam Mengatasi Permasalahan Laut China Selatan - ResearchGate, diakses Oktober 29, 2025, https://www.researchgate.net/publication/375639985_Implementasi_Peraturan_dan_Peran_UNCLOS_Dalam_Mengatasi_Permasalahan_Laut_China_Selatan

3.    Respons Indonesia Terhadap Sengketa Laut China Selatan Semasa Pemerintahan Joko Widodo - Jurnal DPR RI, diakses Oktober 29, 2025, https://jurnal.dpr.go.id/index.php/politica/article/download/2149/949

4.    Strategi Amerika Serikat Menghadapi Gangguan Cina di Laut Cina Selatan: Perspektif Indo-Pacific Security - KBA13 INSIGHT, diakses Oktober 29, 2025, https://www.kba13.com/strategi-as-vs-cina-laut-cina-selatan-indo-pacific-security/

5.    ASEAN Plus Three Leaders' Statement on Strengthening Regional Economic and Financial Cooperation, diakses Oktober 29, 2025, https://asean.org/asean-plus-three-leaders-statement-on-strengthening-regional-economic-and-financial-cooperation/

6.    ASEAN Plus Three, diakses Oktober 29, 2025, https://aseanplusthree.asean.org/

7.    How China's Coast Guard Law Has Changed the Regional Security Structure, diakses Oktober 29, 2025, https://amti.csis.org/how-chinas-coast-guard-law-has-changed-the-regional-security-structure/

8.    The State of the South China Sea: Coercion at Sea, Slow Progress ..., diakses Oktober 29, 2025, https://thediplomat.com/2025/01/the-state-of-the-south-china-sea-coercion-at-sea-slow-progress-on-a-code-of-conduct/

9.    China's Revised Maritime Traffic Safety Law - U.S. Naval War College Digital Commons, diakses Oktober 29, 2025, https://digital-commons.usnwc.edu/ils/vol97/iss1/39/

10.  China Tightens Maritime Rules as U.S. Fees on Chinese Ships Near, diakses Oktober 29, 2025, https://www.mallorygroup.com/china-tightens-maritime-rules-as-u-s-fees-on-chinese-ships-near/

11.  Maritime Confidence Building Measures in the South China Sea Conference - The Web site cannot be found, diakses Oktober 29, 2025, https://www.files.ethz.ch/isn/170342/Maritime%20Confidence%20Building%20Measures.pdf

12.  Kekuatan Normatif UNCLOS 1982 dalam Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan | Iuridica et Societas - Maranatha Journal, diakses Oktober 29, 2025, https://journal.maranatha.edu/index.php/iuridica/article/view/13330

13.  China: Kebebasan Navigasi yang Dimaksud AS adalah Memasuki Laut China Selatan Tanpa Izin - RMOL, diakses Oktober 29, 2025, https://rmol.id/dunia/read/2021/12/16/515601/china-kebebasan-navigasi-yang-dimaksud-as-adalah-memasuki-laut-china-selatan-tanpa-izin

14.  Konflik Laut China Selatan: Rivalitas China-AS dan ASEAN, diakses Oktober 29, 2025, http://download.garuda.kemdikbud.go.id/article.php?article=1464349&val=17712&title=Konflik%20Laut%20China%20Selatan%20Rivalitas%20China-AS%20dan%20ASEAN

15.  Two Paths for Confidence Building Measures in the South China Sea, diakses Oktober 29, 2025, https://www.scspi.org/en/dtfx/two-paths-confidence-building-measures-south-china-sea

16.  ASEAN's elusive code of conduct for the South China Sea | East Asia Forum, diakses Oktober 29, 2025, https://eastasiaforum.org/2024/11/21/aseans-elusive-code-of-conduct-for-the-south-china-sea/

17.  AMO: Inisiatif Indonesia Perkuat Kerja Sama Maritim ASEAN yang Komprehensif - Komdigi, diakses Oktober 29, 2025, https://www.komdigi.go.id/berita/artikel/detail/amo-inisiatif-indonesia-perkuat-kerja-sama-maritim-asean-yang-komprehensif

18.  (PDF) Upaya dan Peran ASEAN dalam Penyelesaian Sengketa Laut China Selatan, diakses Oktober 29, 2025, https://www.researchgate.net/publication/349002062_Upaya_dan_Peran_ASEAN_dalam_Penyelesaian_Sengketa_Laut_China_Selatan

19.  ASEAN, China, and the COC negotiation: How relevant is UNCLOS?, diakses Oktober 29, 2025, https://amti.csis.org/asean-china-and-the-coc-negotiation-how-relevant-is-unclos/