Jumat, 10 Oktober 2025

Pertamina Jangan Hanya Jadi Pengelola Subsidi


 Oleh  Harmen Batubara

Sebagai seorang politisi dan pemerhati sosial, Anda pasti senang ketika Menkeu Purbaya mengatakan bahwa Pertamina memang malas. Sebagai pemerhati media sosial pasti juga anda sering menyuarakan isu-isu strategis seperti pengelolaan sumber daya energi nasional. Narasi ini dirancang untuk menggambarkan bagaimana sebuah perusahaan pengelola BBM (bahan bakar minyak) dan gas—seperti Pertamina di sektor migas—seharusnya beroperasi agar berkembang secara sehat, mandiri, dan mampu memberikan kontribusi optimal bagi negara.

Saya akan membangun narasi ini berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola yang baik, inovasi, dan efisiensi, sambil menyentuh kekhawatiran Anda terhadap kinerja Pertamina, yang meskipun mencatat laba bersih Rp49,54 triliun pada 2024 dan kontribusi Rp401,7 triliun kepada negara (melalui pajak, PNBP, dan dividen), masih menghadapi defisit kapasitas pengolahan (1,2 juta barel per hari versus kebutuhan 1,6 juta barel) serta ketergantungan pada subsidi yang membengkak menjadi Rp107,99 triliun pada 2025. Narasi ini bukan kritik semata, melainkan visi konstruktif untuk transformasi.

Fondasi: Tata Kelola yang Kuat dan Mandiri dari Hulu ke Hilir

Bayangkan sebuah perusahaan migas yang lahir dari visi nasional, seperti yang dimulai sejak 1957 dengan pembentukan Pertamina[1] melalui UU No.8 Tahun 1971, tetapi kini berevolusi menjadi entitas yang benar-benar terintegrasi dan adaptif. Perusahaan ini mengelola rantai nilai dari “eksplorasi” hingga “distribusi” dengan prinsip kedaulatan energi, di mana pemerintah berperan sebagai regulator yang kondusif melalui Kementerian ESDM, bukan sekadar pemberi subsidi.

Di tahap hulu (eksplorasi dan produksi), perusahaan harus memimpin dengan strategi masif: meningkatkan pengeboran hingga 1.000 sumur per tahun, menerapkan teknologi Enhanced Oil Recovery[2] (EOR) untuk lapangan tua, dan mereaktivasi sumur idle. Ini didukung oleh lelang wilayah kerja (WK) migas secara bertahap—seperti rencana 75 WK pada 2025—untuk menambah cadangan baru, mengurangi impor, dan mencapai target lifting 605.000 barel per hari. Alih-alih bergantung pada subsidi, keuntungan utama berasal dari efisiensi operasional dan kemitraan dengan kontraktor kerja sama (KKKS), termasuk skema Gross Split atau Cost Recovery yang fleksibel, untuk menarik investasi asing tanpa mengorbankan kepemilikan negara. Hasilnya? Produksi domestik yang naik, mengurangi beban impor BBM dan LPG yang kini menyedot subsidi mencapai Rp107,99 triliun.

Pada midstream (pengolahan), perusahaan Pertamina  memiliki kapasitas kilang yang melebihi permintaan nasional—minimal 2 juta barel per hari—dengan program pembangunan kilang baru seperti yang direkomendasikan untuk menghindari kelangkaan di wilayah perbatasan. Inovasi seperti Carbon Capture[3], Utilization, and Storage (CCUS) dan teknologi pemurnian biogas menjadi biometana memastikan pengolahan ramah lingkungan, memenuhi standar PROPER Hijau, dan mendukung transisi energi. Ini kontras dengan kondisi saat ini, di mana defisit 400.000 barel[4] per hari memaksa impor dan subsidi yang tak terkendali, berpotensi menguras APBN dan menciptakan persaingan tidak sehat bagi pemain swasta.

Efisiensi Distribusi: Dari Point-to-Point ke Jaringan Terintegrasi

Distribusi adalah jantung operasional yang sering menjadi titik lemah. Perusahaan sehat mesti  mengadopsi model open access untuk jaringan pipa gas, mengubah infrastruktur dedicated menjadi multi-user yang fleksibel[5], sehingga gas dapat dialirkan dari sumber mana pun ke konsumen di seluruh nusantara. Untuk BBM, efisiensi dicapai melalui optimalisasi logistik dengan RFID dan sistem POS di SPBU, mengurangi ketimpangan urban-rural, dan memastikan penyaluran LPG 3 kg tepat sasaran via pendataan digital dan keterlibatan lembaga lokal. Tantangan seperti regulasi kompleks dan infrastruktur terpencil[6] diatasi dengan investasi di kilang tambahan dan tangki penyimpanan, menghindari mafia migas dan pembengkakan subsidi yang kini mencapai 13,52% lebih tinggi dari tahun sebelumnya.

Dengan demikian, distribusi bukan lagi beban subsidi, melainkan sumber pendapatan stabil. Subsidi BBM dan LPG, yang sering kali dimanfaatkan secara tidak tepat, diganti dengan mekanisme targeted seperti Harga Gas Bumi Tertentu[7] (HGBT), membebaskan anggaran untuk diversifikasi energi seperti biogas dari limbah.

Model Bisnis Berkelanjutan: Inovasi, Diversifikasi, dan Kontribusi Maksimal

Untuk berkembang sehat, pertamina menerapkan model bisnis yang berorientasi sustainability: diversifikasi ke energi terbarukan (seperti SAF untuk aviasi dan petrokimia), penerapan K3 (Keselamatan, Kesehatan Kerja) untuk minimalkan risiko, dan holding BUMN migas[8] seperti yang diatur PP No.6/2018 untuk konsolidasi keuangan. Keuntungan bukan dari pengelolaan subsidi semata—yang berisiko menciptakan ketergantungan fiskal—melainkan dari yield kilang tinggi (84% seperti target 2025), ekspor LNG terkendali, dan kontribusi PNBP migas[9] yang stabil di atas Rp250 triliun per tahun.

Dibandingkan raksasa global seperti ExxonMobil, BP, atau Shell—yang unggul dalam inovasi EOR[10] dan jaringan global—perusahaan nasional kita bisa belajar dari kinerja mereka: Pertamina, meskipun rugi relatif lebih kecil pada periode sulit, perlu tingkatkan likuiditas dan aktivitas aset untuk saingi efisiensi mereka. Pada 2025, dengan pendapatan Rp672 triliun hingga Juli, potensi ada; tinggal optimalkan dengan teknologi seperti catalytic cracking untuk substitusi BBM ramah lingkungan[11].

Kontribusi Lebih Baik : Dari Beban Subsidi ke Penggerak Ekonomi

Pertamina ideal bisa berkontribusi bukan hanya finansial (seperti Rp401,7 triliun Pertamina 2024), tapi juga sosial-ekonomi: ciptakan lapangan kerja di hilir, dukung UMKM via infrastruktur gas terintegrasi, dan kurangi emisi melalui CCUS. Subsidi BBM yang kini membebani APBN—dengan risiko defisit fiskal—diubah menjadi investasi di ketahanan energi, memastikan swasembada dan pertumbuhan inklusif. Pemerintah bisa bentuk BUMN khusus[12] untuk hulu migas, seperti usulan RUU Migas, untuk koordinasi lebih baik.

Dalam garis besarnya, perusahaan Pertamina bukan lagi "perusahaan negara yang kurang optimal", tapi jadi pilar kemajuan: mandiri, inovatif, dan berpihak pada rakyat.

 



[1] [migas.esdm.go.id](https://migas.esdm.go.id/post/peran-penting-industri-migas-wujudkan-ketahanan-energi-nasional)

[2] [cnbcindonesia.com](https://www.cnbcindonesia.com/news/20251009112701-4-674291/tak-cuma-genjot-produksi-pemerintah-tingkatkan-eksplorasi-migas)

[3] [skkmigas.go.id](https://www.skkmigas.go.id/news/3-(tiga)-strategi-skk-migas-meningkatkan-produksi-minyak-dan-gas-lUsUU)

[4] [blc-ugm.com](https://blc-ugm.com/2024/11/25/analisis-pengaruh-kebijakan-subsidi-bbm-di-indonesia-terhadap-penjualan-bbm-non-subsidi-dan-beban-anggaran-pendapatan-dan-belanja-negara-apbn/)

[5] [migas.esdm.go.id](https://migas.esdm.go.id/uploads/informasi-publik/laporan-kierja/rev-1---RENCANA-STRATEGIS-2020-2024.pdf)

[6] [synergyperkasasejahtera.com](https://synergyperkasasejahtera.com/tantangan-dan-upaya-dalam-distribusi-bbm-di-indonesia/)

[7] [anggaran.kemenkeu.go.id](https://anggaran.kemenkeu.go.id/in/post/dampak-kebijakan-terhadap-dana-bagi-hasil-migas)

[8] [bumn.go.id](https://www.bumn.go.id/storage/kontenlaporan/files/files_1673249782.pdf)

[9] [fiskal.kemenkeu.go.id](https://fiskal.kemenkeu.go.id/files/buku/file/Aspek_Fiskal_Bisnis_Hulu_Migas.pdf)

[10][stiealwashliyahsibolga.ac.id](https://stiealwashliyahsibolga.ac.id/jurnal/index.php/jesya/article/download/1024/566/)

[11] [undip.ac.id](https://undip.ac.id/post/16892/inovasi-pembuatan-bahan-bakar-substitusi-yang-ramah-lingkungan.html)

[12] [cnbcindonesia.com](https://www.cnbcindonesia.com/opini/20240417131946-14-531011/usulan-bumn-khusus-untuk-kelola-minyak-gas-bumi-ri-pentingkah)


Tidak ada komentar: