Selasa, 25 November 2025

Menghentikan “Bisnis Perang” dari Konflik Rusia–Ukraina

 


Oleh  Harmen Batubara

Perang Rusia–Ukraina yang dimulai pada 2022 awalnya dipicu oleh persoalan keamanan, identitas, dan geopolitik. Rusia merasa terancam oleh perluasan NATO ke wilayah timur, sementara Ukraina ingin memperkuat kedaulatannya dan bergerak lebih dekat ke Eropa. Dua kepentingan ini bertabrakan, lalu berubah menjadi konflik bersenjata yang menghancurkan.

Namun kini, setelah bertahun-tahun, alasan awal perang itu justru semakin memudar. Yang tersisa adalah penderitaan rakyat dan dinamika perang yang semakin sulit dihentikan. Banyak pengamat menilai konflik ini telah berubah menjadi “bisnis perang”—situasi di mana perang terus berlangsung karena memberi keuntungan politik, ekonomi, atau strategis bagi pihak tertentu, sementara rakyatlah yang membayar harga paling mahal.

Asal Mula Perang

Perang bermula dari ketegangan panjang antara Ukraina dan Rusia sejak 2014, ketika Krimea diambil oleh Rusia dan wilayah Donbas menjadi area konflik.
Ketegangan meningkat seiring niat Ukraina mendekat ke Eropa dan NATO. Rusia menganggap itu ancaman langsung terhadap perbatasannya.
Pada Februari 2022, invasi besar-besaran dimulai.

Dinamika Perang

Seiring berjalannya waktu, perang menjadi semakin kompleks:

  • Bantuan militer mengalir dari berbagai negara, membuat konflik terus berkepanjangan.
  • Sanksi ekonomi terhadap Rusia membuat keadaan geopolitik semakin mengeras.
  • Ukraina menderita kerusakan besar, jutaan orang mengungsi, dan infrastruktur hancur.
  • Rusia mengalami isolasi politik, namun tetap melanjutkan operasi karena melihat perang sebagai pertaruhan keamanan dan posisi global.
  • Di sisi lain, banyak industri persenjataan dunia justru mengalami lonjakan keuntungan. Di sinilah muncul istilah bahwa perang telah menjadi komoditas.

Semakin lama perang berlangsung, semakin banyak aktor yang mendapatkan manfaat—baik secara ekonomi, politik, maupun strategis. Sementara itu, rakyat di kedua negara yang paling menderita.

Menghentikan “Bisnis Perang”

Jika perang sudah menjadi bisnis, maka upaya menghentikannya harus diarahkan pada memutus insentif untuk mempertahankan konflik. Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dunia internasional:

1. Mengembalikan Fokus pada Kemanusiaan

Negara-negara besar harus menekan kedua pihak untuk mengutamakan nyawa manusia, bukan keuntungan geopolitik.
Gencatan senjata kemanusiaan dapat menjadi pintu masuk menuju dialog.

2. Diplomasi yang Realistis, Bukan Idealistis

Perdamaian harus dibangun di tengah kenyataan bahwa kedua pihak punya tuntutan yang tak sepenuhnya bisa dipenuhi.
Diplomasi yang mungkin:

  • zona demiliterisasi,
  • jaminan keamanan jangka panjang,
  • mekanisme referendum terawasi PBB,
  • atau perjanjian status khusus untuk wilayah tertentu.

3. Peran Negara Netral dan Regional

Negara-negara netral—Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika Latin—dapat menjadi mediator efektif karena tidak terlibat langsung dalam politik blok.
Inisiatif damai harus keluar dari dominasi kekuatan besar.

4. Transparansi Bantuan Militer dan Ekonomi

Dunia perlu memastikan bahwa bantuan luar tidak justru memperpanjang perang tanpa batas.
Bantuan harus diarahkan pada pembangunan kembali, bukan hanya pembiayaan konflik.

5. Menguatkan Narasi Publik Anti-Perang

Perang berhenti ketika masyarakat internasional tidak lagi melihat perang sebagai pilihan yang wajar. Tekanan publik global dapat mengurangi ruang bagi “bisnis perang”.



Saya Ingin Katakan

Perang Rusia–Ukraina adalah tragedi kemanusiaan yang seharusnya tidak berkepanjangan. Alasan awal perang mungkin telah berubah, tetapi kebutuhan untuk menghentikannya justru semakin mendesak.
Dengan memutus logika “bisnis perang”, memperkuat diplomasi realistis, dan menempatkan manusia sebagai prioritas, dunia bisa membantu kedua negara kembali pada meja perundingan.

Perang pada akhirnya bukan soal siapa yang menang, tetapi siapa yang tersisa setelah semuanya hancur. Dan itu sebabnya perang ini harus diakhiri.

 


Tidak ada komentar: