Oleh Harmen Batubara
Perang Rusia–Ukraina yang dimulai pada 2022 awalnya
dipicu oleh persoalan keamanan, identitas, dan geopolitik. Rusia merasa
terancam oleh perluasan NATO ke wilayah timur, sementara Ukraina ingin
memperkuat kedaulatannya dan bergerak lebih dekat ke Eropa. Dua kepentingan ini
bertabrakan, lalu berubah menjadi konflik bersenjata yang menghancurkan.
Namun kini, setelah bertahun-tahun, alasan awal perang
itu justru semakin memudar. Yang tersisa adalah penderitaan rakyat dan dinamika
perang yang semakin sulit dihentikan. Banyak pengamat menilai konflik ini telah
berubah menjadi “bisnis perang”—situasi di mana perang terus berlangsung
karena memberi keuntungan politik, ekonomi, atau strategis bagi pihak tertentu,
sementara rakyatlah yang membayar harga paling mahal.
Asal Mula
Perang
Perang bermula dari ketegangan panjang antara Ukraina
dan Rusia sejak 2014, ketika Krimea diambil oleh Rusia dan wilayah Donbas menjadi
area konflik.
Ketegangan meningkat seiring niat Ukraina mendekat ke Eropa dan NATO. Rusia
menganggap itu ancaman langsung terhadap perbatasannya.
Pada Februari 2022, invasi besar-besaran dimulai.
Dinamika Perang
Seiring berjalannya waktu, perang menjadi semakin
kompleks:
- Bantuan militer mengalir dari berbagai negara, membuat konflik terus berkepanjangan.
- Sanksi ekonomi
terhadap Rusia membuat keadaan geopolitik semakin mengeras.
- Ukraina menderita kerusakan besar, jutaan orang mengungsi, dan infrastruktur hancur.
- Rusia mengalami isolasi politik, namun tetap melanjutkan operasi karena melihat perang
sebagai pertaruhan keamanan dan posisi global.
- Di sisi lain, banyak industri persenjataan dunia justru
mengalami lonjakan keuntungan. Di sinilah muncul istilah bahwa
perang telah menjadi komoditas.
Semakin lama perang berlangsung, semakin banyak aktor
yang mendapatkan manfaat—baik secara ekonomi, politik, maupun strategis.
Sementara itu, rakyat di kedua negara yang paling menderita.
Menghentikan
“Bisnis Perang”
Jika perang sudah menjadi bisnis, maka upaya
menghentikannya harus diarahkan pada memutus insentif untuk mempertahankan
konflik. Ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan dunia internasional:
1.
Mengembalikan Fokus pada Kemanusiaan
Negara-negara besar harus menekan kedua pihak untuk
mengutamakan nyawa manusia, bukan keuntungan geopolitik.
Gencatan senjata kemanusiaan dapat menjadi pintu masuk menuju dialog.
2.
Diplomasi yang Realistis, Bukan Idealistis
Perdamaian harus dibangun di tengah kenyataan bahwa
kedua pihak punya tuntutan yang tak sepenuhnya bisa dipenuhi.
Diplomasi yang mungkin:
- zona demiliterisasi,
- jaminan keamanan jangka panjang,
- mekanisme referendum terawasi PBB,
- atau perjanjian status khusus untuk wilayah tertentu.
3. Peran
Negara Netral dan Regional
Negara-negara netral—Asia, Timur Tengah, Afrika, Amerika
Latin—dapat menjadi mediator efektif karena tidak terlibat langsung dalam
politik blok.
Inisiatif damai harus keluar dari dominasi kekuatan besar.
4. Transparansi
Bantuan Militer dan Ekonomi
Dunia perlu memastikan bahwa bantuan luar tidak justru
memperpanjang perang tanpa batas.
Bantuan harus diarahkan pada pembangunan kembali, bukan hanya pembiayaan
konflik.
5.
Menguatkan Narasi Publik Anti-Perang
Perang berhenti ketika masyarakat internasional tidak
lagi melihat perang sebagai pilihan yang wajar. Tekanan publik global dapat
mengurangi ruang bagi “bisnis perang”.
Saya Ingin
Katakan
Perang Rusia–Ukraina adalah tragedi kemanusiaan yang
seharusnya tidak berkepanjangan. Alasan awal perang mungkin telah berubah,
tetapi kebutuhan untuk menghentikannya justru semakin mendesak.
Dengan memutus logika “bisnis perang”, memperkuat diplomasi realistis, dan
menempatkan manusia sebagai prioritas, dunia bisa membantu kedua negara kembali
pada meja perundingan.
Perang pada akhirnya bukan soal siapa yang menang,
tetapi siapa yang tersisa setelah semuanya hancur. Dan itu sebabnya perang ini
harus diakhiri.


Tidak ada komentar:
Posting Komentar