Hubungan antara Mahathir Mohamad dan Anwar Ibrahim adalah salah satu dinamika politik paling kompleks dan berdampak dalam sejarah Malaysia. Dari kolaborator dekat hingga musuh bebuyutan, dan kemudian sekutu sementara, kisah mereka mencerminkan pasang surut kekuasaan, ideologi, dan ambisi pribadi.
Awalnya, Anwar Ibrahim adalah anak didik Mahathir yang paling menonjol. Mahathir, yang kala itu menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia, membawa Anwar ke dalam UMNO (United Malays National Organisation) pada tahun 1982. Dengan cepat Anwar naik pangkat, memegang beberapa jabatan menteri penting, termasuk Menteri Pendidikan dan Menteri Keuangan. Puncaknya, pada tahun 1993, Anwar diangkat sebagai Wakil Perdana Menteri, diposisikan sebagai penerus Mahathir yang jelas. Keduanya digambarkan sebagai duet yang solid, memimpin Malaysia melalui periode pertumbuhan ekonomi yang pesat dan modernisasi.Namun,
keretakan mulai muncul seiring waktu. Krisis Keuangan Asia pada tahun 1997-1998
menjadi titik balik krusial. Mahathir memilih pendekatan yang berbeda dalam
menangani krisis, menolak saran IMF dan menerapkan kontrol modal. Anwar, di
sisi lain, yang saat itu menjabat Menteri Keuangan, menganjurkan kebijakan yang
lebih konvensional dan sesuai dengan rekomendasi IMF. Perbedaan pandangan ini
memicu ketegangan yang mendalam.
Ketika Mahathir Memenjarakan Anwar Ibrahim.
Pada
September 1998, Mahathir memecat Anwar dari semua jabatan pemerintahan dan dari
UMNO. Tak lama setelah itu, Anwar ditangkap dan didakwa dengan tuduhan korupsi
dan sodomi. Penangkapan dan persidangan Anwar memicu gelombang protes massal
yang dikenal sebagai gerakan "Reformasi". Banyak pendukung Anwar
percaya bahwa tuduhan tersebut bermotif politik dan bertujuan untuk
menyingkirkannya sebagai saingan Mahathir. Anwar kemudian dihukum dan dipenjara,
menandai akhir dari kemitraan politik mereka dan awal dari perseteruan pribadi
yang sengit.
Selama
hampir dua dekade berikutnya, Mahathir tetap berkuasa, sementara Anwar mendekam
di penjara atau menghadapi larangan politik. Namun, roda politik berputar. Pada
tahun 2016, Mahathir, yang telah pensiun dan kemudian keluar dari UMNO, membuat
langkah mengejutkan dengan bersekutu dengan oposisi, termasuk partai yang
didirikan oleh Anwar, Parti Keadilan Rakyat (PKR). Koalisi ini, Pakatan Harapan
(PH), dibentuk dengan tujuan menggulingkan pemerintahan Barisan Nasional yang
telah lama berkuasa.
Bersama Menggulingkan Lawan.
Dalam
Pemilihan Umum ke-14 pada tahun 2018, Mahathir dan Anwar, dengan Anwar yang
masih di penjara tetapi diberi pengampunan kerajaan jika PH menang, berhasil
menciptakan sejarah. PH memenangkan pemilu, mengakhiri dominasi Barisan
Nasional selama enam dekade. Mahathir kembali menjadi Perdana Menteri, dan
berjanji untuk menyerahkan tongkat estafet kepada Anwar setelah masa transisi.
Namun, janji ini tidak pernah sepenuhnya terwujud. Ketegangan kembali muncul di
antara faksi-faksi dalam koalisi, yang akhirnya menyebabkan runtuhnya
pemerintahan PH pada awal tahun 2020 dan membuka babak baru ketidakpastian
politik di Malaysia.
Perseteruan
antara Mahathir dan Anwar adalah kisah tentang dua tokoh politik raksasa yang,
meskipun memiliki visi yang berbeda, telah secara fundamental membentuk lanskap
politik Malaysia. Hubungan mereka, penuh dengan pasang surut dan intrik, terus
menjadi subjek analisis dan diskusi di kalangan pengamat politik.