Rabu, 17 September 2025

Deklarasi New York 2025 Momentum Rasional untuk Kemerdekaan Palestina

 

Pertemuan Darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab

Tanggal 12 September 2025 akan menjadi hari bersejarah. Pada hari itu, di markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, suara hati nurani kemanusiaan internasional akan kembali bergema. Pertemuan ini bukan sekadar acara diplomatik biasa, melainkan sebuah panggung penting untuk menghidupkan kembali perjuangan legitimasi rakyat Palestina dengan semangat baru: “Free Palestina Global”. Gerakan ini harus menjadi motor penggerak yang tidak hanya berteriak di jalanan, tetapi juga mendorong aksi politik nyata yang berpusat pada PBB.

Kemerdekaan Palestina bukan hanya masalah sentimental atau historis semata, melainkan sebuah keharusan rasional untuk stabilitas global, keadilan, dan penegakan hukum internasional.

Landasan Hukum dan Moral yang Tak Terbantahkan

Resolusi-resolusi PBB, terutama “Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 (1947)” yang mengusulkan pembagian wilayah menjadi dua negara, merupakan dasar hukum yang jelas bagi berdirinya Negara Palestina. Pendudukan militer Israel atas Tepi Barat, blokade atas Gaza, dan ekspansi permukiman ilegal adalah pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat.

Deklarasi New York 2025 harus menjadi pengingat bagi dunia bahwa penundaan berlarut-larut atas penegakan resolusi PBB ini telah mengakibatkan penderitaan manusiawi yang luar biasa, merampas hak dasar suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, dan mengikis kredibilitas sistem multilateral itu sendiri.

Fakta Pahit: Posisi Amerika Serikat dan Israel

Adalah naif untuk tidak mengakui fakta utama penghambat perdamaian: Amerika Serikat dan Israel secara efektif menolak berdirinya negara Palestina yang berdaulat penuh.

Israel: Pemerintah koalisi Israel yang didominasi sayap kanan dan ultra-nasionalis secara terang-terangan menolak solusi dua negara. Kebijakan mereka difokuskan pada ekspansi permukiman yang menggerogoti teritori Palestina, memecah-belah Tepi Barat, dan memastikan bahwa negara Palestina di masa depan—jika ada—tidak akan memiliki kontiguitas teritorial, kedaulatan udara, atau kontrol perbatasan yang nyata.

Amerika Serikat: Meskipun secara retorika kadang mendukung solusi dua negara, veto AS di Dewan Keamanan PBB secara konsisten membatalkan setiap resolusi yang mengutuk kebijakan Israel atau menyerukan penarikan diri yang berarti. Dukungan militer dan diplomatik tanpa syarat AS kepada Israel telah membuat Israel kebal dari tekanan internasional yang serius, sehingga menghilangkan insentif untuk bernegosiasi dengan itikad baik.

Pertemuan Darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab


Dilema Sekutu Regional: Negara-Negara GCC

 Harapan bahwa negara-negara Teluk akan menjadi penyelamat utama adalah harapan yang keliru. Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA) adalah sekutu strategis utama Amerika Serikat. Kepentingan ekonomi, energi, dan keamanan mereka sangat terikat dengan Washington.

Normalisasi (Abraham Accords): Kesepakatan normalisasi yang dilakukan oleh UEA, Bahrain, dan secara tidak langsung Arab Saudi, menunjukkan pergeseran prioritas. Keamanan regional dari ancaman Iran dan keuntungan ekonomi sering kali dinilai lebih penting daripada mendesak Israel untuk menyelesaikan konflik Palestina. Bagi mereka, isu Palestina menjadi sekunder, sebuah alat tawar yang dikorbankan untuk kepentingan strategis yang lebih besar.

Keterbatasan Pengaruh: Meskipun negara-negara GCC kaya dan berpengaruh, mereka tidak memiliki keinginan politik untuk menggunakan leverage ekonomi mereka (seperti minyak) untuk memaksa perubahan kebijakan AS dan Israel secara drastis. Dukungan mereka lebih banyak bersifat finansial (bantuan untuk UNRWA) dan diplomatik ringan, bukan tekanan strategis yang transformatif.

Posisi Iran, Turki dan Irak: Kompleksitas yang Berbeda

 Iran : Teheran secara vokal menjadi pembela paling lantang perjuangan Palestina. Namun, dukungan ini bukannya tanpa masalah. Bagi banyak pihak di panggung internasional, terutama Barat, retorika anti-Israel Iran justru digunakan oleh Israel untuk menyamakan seluruh perjuangan Palestina dengan ancaman eksistensial dari Iran, sehingga mengalihkan perhatian dari pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan Israel. Dukungan Iran kepada kelompok seperti Hamas dan Islamic Jihad juga memecah-belah faksi Palestina dan memberikan justifikasi bagi Israel untuk melabeli semua perlawanan sebagai terorisme.

Irak: Pemerintah Irak pasca-Saddam Hussein umumnya mendukung kemerdekaan Palestina. Namun, Irak sendiri masih berjuang dengan instabilitas internal, rekonstruksi, dan pengaruh dari berbagai kekuatan asing (termasuk AS dan Iran). Kapasitas dan pengaruhnya untuk memimpin tekanan diplomatik internasional terhadap Israel sangat terbatas.

Free Palestina Global : Motor Penggerak yang Rasional

Dalam menghadapi realitas politik yang suram ini, gerakan “Free Palestina Global” harus bangkit bukan sebagai gerakan emosional semata, tetapi sebagai kekuatan rasional yang cerdas.

 1.  Mendorong Diplomasi Multilateral: Gerakan ini harus memobilisasi tekanan dari bawah ke atas (grassroots) terhadap pemerintah masing-masing negara, terutama di Eropa dan Global South, untuk mengambil tindakan nyata di PBB, seperti mendukung pengakuan penuh terhadap Palestina dan menjatuhkan sanksisanksi simbolis terhadap permukiman ilegal.

2.  Menggunakan Instrument Hukum Internasional: Mendukung langkah-langkah di International Criminal Court (ICC) dan International Court of Justice (ICJ) untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas kejahatan perang dan pelanggaran HAM.

3.  Boikot yang Terarah dan Cerdas: Kampanye BDS (Boycott, Divestment, Sanctions), meskipun kontroversial, telah terbukti efektif secara simbolis dalam merusak citra Israel dan menimbulkan kekhawatiran ekonomi. Gerakan global dapat mempopulerkan dan mengarahkan boikot ini secara lebih strategis.

4.  Mengedepankan Narasi Kemanusiaan dan HAM: Mengalihkan fokus perbincangan dari perselisihan agama dan sejarah yang rumit kepada pelanggaran HAM yang jelas dan dokumentasi penderitaan warga sipil. Ini adalah bahasa universal yang dapat mempersatukan berbagai pihak di dunia.

Deklarasi New York pada September 2025 harus menjadi titik balik. Dengan memahami peta politik yang sebenarnya—ketidakberpihakan AS, keterbatasan sekutu Arab, dan kompleksitas dukungan Iran—para pendukung Palestina dapat merancang strategi yang lebih cerdas dan efektif.

Semangat “Free Palestina Global” harus menjadi kekuatan penggerak yang memastikan bahwa suara Palestina tidak lagi tenggelam oleh veto di Dewan Keamanan atau kepentingan geopolitik yang egois. Kemerdekaan Palestina adalah prasyarat untuk perdamaian yang abadi dan stabilitas di Timur Tengah, serta ujian terbesar bagi konsistensi dunia dalam menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia yang selama ini selalu dikumandangkan.



 

 

 

Tidak ada komentar: