![]() |
| Pertemuan Darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab |
Tanggal 12 September 2025
akan menjadi hari bersejarah. Pada hari itu, di markas besar Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di New York, suara hati nurani kemanusiaan internasional
akan kembali bergema. Pertemuan ini bukan sekadar acara diplomatik biasa,
melainkan sebuah panggung penting untuk menghidupkan kembali perjuangan
legitimasi rakyat Palestina dengan semangat baru: “Free Palestina Global”.
Gerakan ini harus menjadi motor penggerak yang tidak hanya berteriak di
jalanan, tetapi juga mendorong aksi politik nyata yang berpusat pada PBB.
Kemerdekaan Palestina
bukan hanya masalah sentimental atau historis semata, melainkan sebuah
keharusan rasional untuk stabilitas global, keadilan, dan penegakan hukum
internasional.
Landasan Hukum dan Moral
yang Tak Terbantahkan
Resolusi-resolusi PBB,
terutama “Resolusi Majelis Umum PBB No. 181 (1947)” yang mengusulkan pembagian
wilayah menjadi dua negara, merupakan dasar hukum yang jelas bagi berdirinya
Negara Palestina. Pendudukan militer Israel atas Tepi Barat, blokade atas Gaza,
dan ekspansi permukiman ilegal adalah pelanggaran berat terhadap hukum
humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa Keempat.
Deklarasi New York 2025
harus menjadi pengingat bagi dunia bahwa penundaan berlarut-larut atas
penegakan resolusi PBB ini telah mengakibatkan penderitaan manusiawi yang luar
biasa, merampas hak dasar suatu bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri, dan
mengikis kredibilitas sistem multilateral itu sendiri.
Adalah naif untuk tidak
mengakui fakta utama penghambat perdamaian: Amerika Serikat dan Israel secara
efektif menolak berdirinya negara Palestina yang berdaulat penuh.
Israel: Pemerintah
koalisi Israel yang didominasi sayap kanan dan ultra-nasionalis secara
terang-terangan menolak solusi dua negara. Kebijakan mereka difokuskan pada
ekspansi permukiman yang menggerogoti teritori Palestina, memecah-belah Tepi
Barat, dan memastikan bahwa negara Palestina di masa depan—jika ada—tidak akan
memiliki kontiguitas teritorial, kedaulatan udara, atau kontrol perbatasan yang
nyata.
Amerika Serikat: Meskipun
secara retorika kadang mendukung solusi dua negara, veto AS di Dewan Keamanan
PBB secara konsisten membatalkan setiap resolusi yang mengutuk kebijakan Israel
atau menyerukan penarikan diri yang berarti. Dukungan militer dan diplomatik
tanpa syarat AS kepada Israel telah membuat Israel kebal dari tekanan
internasional yang serius, sehingga menghilangkan insentif untuk bernegosiasi
dengan itikad baik.
![]() |
| Pertemuan Darurat Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) dan Liga Arab |
Dilema Sekutu Regional:
Negara-Negara GCC
Normalisasi (Abraham
Accords): Kesepakatan normalisasi yang dilakukan oleh UEA, Bahrain, dan secara
tidak langsung Arab Saudi, menunjukkan pergeseran prioritas. Keamanan regional
dari ancaman Iran dan keuntungan ekonomi sering kali dinilai lebih penting
daripada mendesak Israel untuk menyelesaikan konflik Palestina. Bagi mereka,
isu Palestina menjadi sekunder, sebuah alat tawar yang dikorbankan untuk
kepentingan strategis yang lebih besar.
Keterbatasan Pengaruh:
Meskipun negara-negara GCC kaya dan berpengaruh, mereka tidak memiliki
keinginan politik untuk menggunakan leverage ekonomi mereka (seperti minyak)
untuk memaksa perubahan kebijakan AS dan Israel secara drastis. Dukungan mereka
lebih banyak bersifat finansial (bantuan untuk UNRWA) dan diplomatik ringan,
bukan tekanan strategis yang transformatif.
Posisi Iran, Turki dan
Irak: Kompleksitas yang Berbeda
Irak: Pemerintah Irak
pasca-Saddam Hussein umumnya mendukung kemerdekaan Palestina. Namun, Irak
sendiri masih berjuang dengan instabilitas internal, rekonstruksi, dan pengaruh
dari berbagai kekuatan asing (termasuk AS dan Iran). Kapasitas dan pengaruhnya
untuk memimpin tekanan diplomatik internasional terhadap Israel sangat
terbatas.
Free Palestina Global :
Motor Penggerak yang Rasional
Dalam menghadapi realitas
politik yang suram ini, gerakan “Free Palestina Global” harus bangkit bukan
sebagai gerakan emosional semata, tetapi sebagai kekuatan rasional yang cerdas.
2. Menggunakan Instrument Hukum Internasional:
Mendukung langkah-langkah di International Criminal Court (ICC) dan
International Court of Justice (ICJ) untuk meminta pertanggungjawaban Israel
atas kejahatan perang dan pelanggaran HAM.
3. Boikot yang Terarah dan Cerdas: Kampanye BDS
(Boycott, Divestment, Sanctions), meskipun kontroversial, telah terbukti
efektif secara simbolis dalam merusak citra Israel dan menimbulkan kekhawatiran
ekonomi. Gerakan global dapat mempopulerkan dan mengarahkan boikot ini secara
lebih strategis.
4. Mengedepankan Narasi Kemanusiaan dan HAM: Mengalihkan fokus perbincangan dari perselisihan agama dan sejarah yang rumit kepada pelanggaran HAM yang jelas dan dokumentasi penderitaan warga sipil. Ini adalah bahasa universal yang dapat mempersatukan berbagai pihak di dunia.
Deklarasi New York pada
September 2025 harus menjadi titik balik. Dengan memahami peta politik yang
sebenarnya—ketidakberpihakan AS, keterbatasan sekutu Arab, dan kompleksitas
dukungan Iran—para pendukung Palestina dapat merancang strategi yang lebih
cerdas dan efektif.
Semangat “Free Palestina
Global” harus menjadi kekuatan penggerak yang memastikan bahwa suara Palestina
tidak lagi tenggelam oleh veto di Dewan Keamanan atau kepentingan geopolitik
yang egois. Kemerdekaan Palestina adalah prasyarat untuk perdamaian yang abadi
dan stabilitas di Timur Tengah, serta ujian terbesar bagi konsistensi dunia
dalam menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia yang selama ini selalu
dikumandangkan.



Tidak ada komentar:
Posting Komentar